x

Iklan

Jessica Elisabeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 Maret 2021

Selasa, 16 Maret 2021 11:27 WIB

Wujudkan Infrastruktur Terhadap Ketahanan Air di Indonesia Menjadi Salah Satu Wujud Dalam Menghargai Air

Artikel untuk Lomba Hari Air Dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti yang diketahui, dilansir United Nations (UN) Water pada tanggal 22 Desember 1992 bahwa Hari Air Dunia diperingati setiap tanggal 22 Maret. Dalam memperingati hari air dunia ini, kita diingatkan kembali untuk lebih menghargai sumber kekayaan alam yaitu air. Air merupakan salah satu sumber kehidupan dan kebutuhan terpenting untuk banyak manusia di dunia.

Seperti yang kita ketahui bersama, akhir-akhir ini terjadi perubahan iklim (climate changes) yang mengakibatkan curah hujan diatas 100 mm/hari di Indonesia serta adanya curah hujan yang kurang dari 100 mm/hari di wilayah Timur di Indonesia. Sepenggal kalimat pada surat terbuka yaitu ““Meskipun Anda memiliki pilihan untuk mengabaikan krisis iklim, itu bukan pilihan bagi kami, anak-anak Anda. Saat ini, tidak ada tempat di dunia dimana anak-anak menghadapi masa depan dalam lingkungan yang aman.” yang disampaikan oleh aktivis iklim cilik, Greta Thunberg, kepada para pemimpin dunia seharusnya sudah cukup menyadarkan kita bahwa saat ini iklim dunia sedang tidak baik-baik saja.

Bumi semakin memanas, pola curah hujan secara ekstrim mulai berubah, pola tanam tak lagi sama, serta kenaikan muka air laut yang semakin jelas terlihat. Pada skala global, NASA menyatakan bahwa perubahan temperatur dunia memiliki tren yang semakin meningkat sebesar 0,990C per tahun, dimana suhu sekecil itu sanggup mencairkan lebih dari 11 miliar ton es di kutub utara setiap hari.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada skala nasional, observasi BMKG yang dilaksanakan mulai dari tahun 1981 hingga 2018 menunjukkan bahwa terjadi tren peningkatan temperatur rata-rata di Indonesia sebesar 0,030C per tahun. Seakan tak cukup, tutupan hutan diperkirakan akan terus menurun dari 50 persen luas lahan total Indonesia (188 juta Ha) pada tahun 2017 menjadi sekitar 38 persen di tahun 2045 yang berdampak pada kelangkaan air.

Jika dilihat dari sisi ekonomi, Mr. Hitoshi Baba (JICA) dalam seminarnya di lingkungan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air menjelaskan bahwa terjadi peningkatan angka kemiskinan akibat perubahan iklim yang ditunjukkan pada kejadian 20 tahun terakhir. Dimana peningkatan economi losses secara dramatis terjadi sebesar 151% akibat bencana yang berhubungan dengan iklim.

Pada bulan November tahun 2019, tim JICA di bawah naungan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air telah merampungkan penelitiannya dalam project Assessing and Integrating Climate Change Impacts into The Water Resources Management Plans dan dapat diketahui bahwa trend forecasting curah hujan di Pulau Jawa meningkat sebesar 14 persen pada tahun 2020-2024 dan 16 persen pada tahun 2040 hingga 2060 serta peningkatan muka air laut setinggi 0,5 cm per tahun.

Pembangunan infrastruktur yang merespon secara adaptif terhadap perubahan pola hujan yang menjadi lebih ekstrim adalah hal penting yang perlu diimplementasikan. Keberlangsungan umur aset, dalam hal ini infrastruktur, sangatlah vital bagi negara berkembang khususnya Indonesia guna meningkatkan konektivitas dan memenuhi kebutuhan esensial masyarakat, dimana kualitas dari tindakan antisipatif terhadap perubahan iklim sangat mempengaruhi keberlanjutan infrastruktur.

Memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun memiliki ketahanan yang baik terhadap perubahan iklim juga merupakan bentuk dukungan pencapaian Paris Agreement, dimana tiga elemen penting yang harus dipenuhi dalam perjanjian tersebut meliputi upaya mitigasi, adaptasi dan pendanaan. Aksi mitigasi bertujuan untuk mengurangi emisi karbon yang cukup cepat untuk mencapai tujuan pembatasan kenaikan temperatur global dan mencapai upaya dalam membatasi kenaikan temperatur rata-rata global hingga setidaknya 1.50C. Aedangkan aksi adaptasi ditujukan untuk memperkuat kemampuan negara dalam menangani dampak perubahan iklim serta memulihkan lingkungan.

Adanya dukungan pendanaan oleh negara dalam melaksanakan pembangunan yang rendah emisi dan jangka panjang merupakan elemen ketiga dari perjanjian tersebut. Fenomena perubahan iklim dalam bentuk perubahan pola curah hujan, khususnya kejadian hujan dengan instensitas rendah secara signifikan berdampak pada peningkatan kebutuhan air baku. Hal tersebut sejalan dengan major project yang tertuang dalam rencana teknokratik RPJMN 2020-2024 yaitu pengembangan waduk multiguna sehingga peningkatan kapasitas tampungan air dapat terpenuhi.

Sisi lain dari dampak perubahan pola curah hujan adalah kelebihan air akibat peningkatan intensitas curah hujan yang dapat mengakibatkan peningkatan risiko bencana alam seperti overtopping tanggul sungai maupun bendungan akibat kelebihan air, kehilangan harta benda akibat banjir yang menyapu rumah penduduk, serta jalan dan jembatan yang tidak dapat difungsikan dengan baik akibat adanya genangan air yang tinggi.

Peningkatan kejadian bencana alam akibat perubahan iklim dapat dikurangi dengan meningkatkan ketahanan infrastruktur yang dapat dicapai apabila segala risiko telah dipertimbangkan dan dikelola dengan baik. Infrastruktur yang baru direncanakan harus mengakomodir segala risiko dari awal dengan memprioritaskan perencanaan, desain, konstruksi dan operasi yang memperhatikan dampak perubahan iklim baik di sepanjang maupun di saat berakhirnya usia guna. Sebagai contoh, salah satu bentuk antisipasi yang saat ini tengah dilaksanakan Kementerian PUPR guna menghadapi dampak perubahan iklim adalah melalui pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) di Teluk Jakarta guna mengakomodir risiko peningkatan tinggi muka air laut untuk mengamankan pesisir Jakarta dari air pasang serta menghindari intrusi air laut.

Beberapa upaya struktural sebagai strategi adaptasi atau penyesuaian sistem alam dan sosial dalam menghadapi dampak negatif perubahan iklim yang dapat dilaksanakan di Kementerian PUPR guna mencapai ketahanan infrastruktur diantaranya dengan meningkatkan tinggi jembatan untuk mengantisipasi kenaikan muka air laut, membuat komposisi perkerasan jalan yang tidak mudah rusak oleh tingginya temperatur, menggunakan paving block ramah lingkungan untuk mengurangi limpasan permukaan selama hujan lebat, serta peningkatan monitoring aset eksisting untuk menurunkan risiko kerusakan bangunan akibat perubahan iklim sehingga infrastruktur tetap berfungsi secara optimal dengan cara retrofitting infrastruktur eksisting.

Upaya struktural juga perlu diimbangi dengan upaya ekohidraulik atau bioengineering, seperti penggunaan kombinasi blok beton atau geocell yang diisi tanaman seperti vetiver di bagian tengahnya untuk perlindungan tebing dari erosi sekaligus menerapkan infrastruktur yang ramah lingkungan. Selain adaptasi, diperlukan strategi mitigasi guna meminimalkan risiko bencana akibat perubahan iklim.

Beberapa tindakan mitigasi di bidang sumber daya air dapat berupa penghijauan pada DAS kritis dan kawasan hulu sungai, manajemen tata air pada lahan gambut untuk mengurangi kerentanan terhadap kejadian kebakaran serta pengembangan peta rawan bencana secara lebih spesifik. Strategi mitigasi di bidang Bina Marga dan Cipta Karya dapat berupa menghindari pembangunan jalan yang melewati kawasan hutan lindung serta menerapkan kode etik bangunan yang harus didesain hemat energi.

Investasi untuk adaptasi perubahan iklim pada infrastruktur merupakan hal yang juga penting untuk menurunkan tingkat economic losses. Contoh investasi yang telah dilaksanakan di Indonesia adalah project “Supporting Sustainable and Efficient Energy Policies and Investments” guna mengurangi pertumbuhan emisi gas melalui infrastruktur energi yang berkelanjutan melalui loan ADB antara Kementerian ESDM dan Pertamina.

Investasi melalui penelitian, pembuatan kebijakan dan kegiatan pembangunan di Kementerian PUPR dapat menjadi alternatif kegiatan antisipasi perubahan iklim guna mencapai ketangguhan infrastruktur. Ketangguhan infrastruktur terhadap perubahan iklim untuk masa depan adalah bentuk perjuangan penting yang harus dicapai oleh generasi muda PUPR, dimana hal tersebut sejalan dengan salah satu jati diri insan PUPR, yaitu visioner.

Sehingga dapat disimpulkan kuantitas air yang sedikit akan menyebabkan kekeringan dan sebaliknya dalam kuantitas yang besar akan dapat berpotensi pada banjir. 2 hal tersebut tentunya menjadi masalah yang perlu diatasi. Oleh karena itu perlu adanya tindakan-tindakan nyata dalam menghargai air berupa pembangunan waduk, sumur resapan, PAH dan alternatif lainya.

Di era pandemik ini tentunya tetap perlu langkah-langkah real berupa antisipasi dan mitigasi terhadap adanya kekeringan dan ke. Semoga dengan ini, para generasi muda PUPR tetap memiliki IPROVE dalam membangun infrastruktur di Indonesia.

 

Jessica Sitorus

Direktorat Bendungan dan Danau

Kementerian PUPR

 

Sumber :

UN water Website

JICA

Ikuti tulisan menarik Jessica Elisabeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler