Memanjat Eiger North Face Saat Hamit 5 Bulan; Mengapa Tidak?

Kamis, 18 Maret 2021 06:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Alison Jane Hargreaves
Iklan

Ini adalah profil seorang pendaki gunung wanita pemberani di dunia, yang memuncaki Everest melalui jalur utara secara solo, tanpa tabung oksigen dan tanpa sherpa. Beberapa tahun sebelumnya, perempuan ini juga bahkan memanjat tebing Eiger North Face yang legendaris dalam kondisi hamil 5 bulan. Mari berkenalan.

Hari perempuan sedunia belum begitu jauh berlalu, jadi membicarakan profil perempuan paling tangguh di dunia dalam pendakian gunung rasanya tidak akan berlebihan. Dengan segala dedikasi dan pencapaiannya dalam mountaineering, sosok ini layak untuk dikenal sebagai salah satu pejuang emansipasi dan kesetaraan gender. Terutama di atas gunung-gunung tinggi.

Adalah Alison Jane Hargreaves, pendaki gunung Inggris yang berhasil mencapai puncak Everest secara solo, tanpa tabung oksigen dan tanpa sherpa. Namun sebelum itu, Alison juga pernah membuat gempar publik pendakian gunung dunia dengan merayapi tebing Eiger North Face di Swiss dalam kondisi hamil 5 bulan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu dibutuhkan banyak sudut pandang dalam melihat hal-hal semacam ini. Namun, dari kacamata sejarah mountaineering dunia tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang dilakukan Alison adalah sebuah pencapaian tinggi sekaligus kegilaan. Dan atas dasar dedikasi dan pencapaiannya itulah, profilnya ini layak untuk ditulis.

Oya, artikel ini merupakan kutipan dari buku Dewi Gunung yang ditulis oleh Anton Sujarwo dan terbit pada tahun 2020. Informasi lebih lengkapnya mengenai bukunya dapat Anda lihat disini.

>>> 

pendaki gunung wanita

Prestasi puncak dari seorang Alison Hargreaves adalah ia merupakan perempuan pertama di dunia yang mendaki Everest secara solo, tanpa tabung oksigen, tanpa sherpa, dan juga tanpa fix line. Namun sebenarnya selain prestasi itu, Alison juga membuat banyak pendakian lain yang membuat namanya melambung.

Bahkan pada tahun 1988, Alison yang saat itu tengah mengandung anak pertamanya, pernah menyelesaikan pemanjatan di Eiger North Face bersama James Ballard, suaminya. Dan tidak hanya Eiger, Alison juga kemudian mengukir namanya dalam 5 tebing utara lain di Eropa dalam waktu satu musim, dan secara solo.

Alison Jane Hargreaves lahir pada tanggal 17 Februari 1962 di Belper, Derbyshire, Inggris. Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya di Belper High School, Alison kemudian meninggalkan rumahnya untuk mengejar impiannya sebagai seorang pendaki gunung profesional. Ia kemudian berkenalan dengan James Ballard dan tak lama kemudian keduanya memutuskan untuk menikah.

Baik James Ballard mau pun Alison Hargreaves adalah lulusan Universitas Oxford jurusan mate-matika. Namun seperti pada banyak pendaki gunung besar lainnya, Alison lebih tertarik pada gunung daripada rangkaian rumus dalam sains dan mate-matika.

Kisaran tahun 1990-an, Alison dan James Ballard memutuskan untuk pindah ke Spean Bridge, sebuah tempat di Dataran Tinggi Skotlandia. Spean Bridge kemudian menjadi tempat yang ideal bagi keluarga Ballard, terutama Alison, untuk memperdalam minat dan bakatnya dalam mountaineering.

Alison adalah generasi pendaki gunung yang kuat, satu generasi dengan nama-nama besar seperti Doug Scott dan Chris Bonington. Dan sebagai wanita, Alison cukup komplek menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dalam karirnya sebagai pendaki gunung. Ia pada dasarnya tidak begitu suka dengan popularitas, namun prestasi dan pencapaiannya di atas gunung tidak dapat menyembunyikan dirinya dari sorotan media yang penasaran.

Dan media yang penasaran, publik yang kadang melihat suatu objek berdasarkan sudut pandang yang terbatas, pada banyak kondisi lebih sering melontarkan kritik dan cercaan pedas kepada siapa pun yang dianggap layak menerimanya. Termasuk pula dalam kasus ini, Alison Jane Hargreaves.

“Orang-orang akan selalu menemukan kesalahan pada dirimu, tidak peduli apa pun yang akan kamu lakukan” Ucap Alison suatu ketika, saat diminta tanggapannya mengenai kritik yang ia terima. Kritik itu terjadi saat ia yang hamil 5 bulan memutuskan untuk mendaki Eiger North Face bersama suaminya.

Dalam kacamata yang objektif, kita pun harus memahami bahwa kritik yang diterima Alison dengan mendaki Eiger North Face pada saat mengandung bukanlah hal yang tidak beralasan. Tindakan itu meskipun dilakukan bersama suaminya sendiri tentu sangat berisiko dan berbahaya.

Eiger North Face adalah salah satu tebing paling atraktif di muka bumi, panjang lintasan vertikalnya hampir dua kilomoter, perpaduan antara batu-batu, salju, dan juga es. Hal ini tentu saja sangat rentan bagi dirinya dan bayi yang dikandungnya. Jadi pada point ini kita memiliki persetujuan dengan nada kritik yang menganggap apa yang dilakukan Alison dengan memanjat Eiger North Face pada saat hamil, bukanlah tindakan bijaksana.

<--more-->

Namun kritik seperti ini juga pada dasarnya harus objektif, tidak hanya pada Alison yang notabene adalah wanita. Kritik senada juga harusnya dilontarkan pada para pendaki pria yang melakukan hal serupa, misalnya pergi mendaki gunung di saat isterinya sedang hamil. Bukankah risiko dan kesengsaraan yang diterima juga kurang lebih sama jika kemudian terjadi musibah dalam pendakian tersebut?

Ini seperti kita kemudian membandingkan Alison Hargreaves yang mendaki Eiger North Face saat hamil dengan Rob Hall yang tewas di Everest saat isterinya juga sedang hamil. Adakah kesamaan persepsi terkait risiko kehamilan dan potensi yang akan dialami sang bayi jika membandingkan dua kondisi ini? Mengapa Alison dihujani kritik sementara Rob Hall tidak terkait dengan keputusannya meninggalkan isterinya yang sedang hamil untuk mendaki Everest?

Membandingkan antara Alison Hargreaves yang mendaki Eiger North Face saat hamil dengan Rob Hall yang meninggalkan isterinya yang sedang hamil untuk mendaki Everest tentu bukan perbandingan yang apple to apple. Meskipun demikian, dua kasus ini sudah cukup jelas untuk melihat bahwa memang kesenjangan dan diskriminasi antara pendaki gunung perempuan dan pendaki gunung laki-laki masih terus ada. Meskipun teknologi dan zaman sudah jauh berkembang, perjuangan untuk menghilangkan hal semacam ini masih akan menempuh jalan yang panjang.

Bagian paling menarik dari seorang Alison Jane Hargreaves terkait dengan jati dirinya sebagai salah satu alpinis perempuan terkemuka dunia bagi saya adalah konsistensi yang tetap ia pegang teguh sebagai seorang ibu dan juga seorang isteri. Meskipun mendaki gunung adalah prioritas dalam hidup Alison, namun naluri sebagai seorang wanita membuat ia tetap mengambil keputusan yang tidak mudah dengan menjadi ibu dari anak-anaknya.

Pada profil Fanny Bullock Workman, atau pada profil Wanda Rutkiewicz, kita telah menemukan sebuah dilematis yang berbeda. Fanny meskipun memiliki dua orang anak di Amerika, memilih untuk menitipkannya pada pengasuh. Fanny lebih memilih berlepas tangan dengan pertumbuhan dua orang anaknya.

Sementara untuk Wanda Rutkiewicz sendiri meskipun tidak sama persis, namun memiliki garis merah yang hampir mirip. Wanda memang tidak memiliki anak, dua pernikahannya gagal, suaminya ia tinggalkan untuk memilih gunung yang lebih ia cintai.

Akan tetapi dalam pribadi seorang Alison Jane Hargreaves kita menemukan sebuah pribadi yang lebih menarik. Ia tetap memilih memiliki anak, tetap memilih hidup bersama suaminya, namun di lain sisi Alison juga konsisten dengan nalurinya sebagai seorang mountaineer sejati. Ia tetap memiliki obsesi besar untuk menaklukkan 3 puncak gunung tertinggi di dunia (Everest, K2 dan, Kangchenjunga). Menyelaraskan kehidupan sebagai seorang pendaki gunung dengan kehidupan normal sebagai seorang ibu rumah tangga tentu adalah sebuah profesi yang tidak mudah. Dan atas pilihannya ini, sudah selayaknya Alison mendapat apreasiasi.

Jangan salah, beberapa orang justru bahkan tidak berani memiliki komitmen berumah tangga saat terlibat dalam urusan pendakian gunung atau alpinisme. Jangankan seorang wanita yang memiliki konsekuensi mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan anak ketika ia memutuskan untuk menjadi seorang ibu. Seorang pendaki laki-laki saja yang tidak akan melewati fase hamil dan melahirkan, tidak semua memiliki keberanian untuk berumah tangga ketika kehidupan sebagai pendaki gunung menjadi pilihan mereka.

pendaki gunung wanita

Alison Hargreaves dalam ekspedisinya di K2 tahun 1995, foto ini diambil beberapa hari sebelum ia mencapai puncak dan kemudian tewas dalam perjalanan turun. Sumber foto: www.arcopodojournal.com

Gunung Everest, K2 dan Kangchenjunga adalah rangkaian 3 gunung tertinggi di dunia yang menjadi target Alison tahun 1995. Setelah sukses besar di Everest dengan pendakiannya yang solo, tanpa tabung oksigen, dan tanpa sherpa, Alison kemudian berencana untuk meneruskan pendakiannya di K2 untuk kemudian dilanjutkan ke Kangchenjunga.

Namun sayang di K2, gunung kedua tertinggi di dunia yang terletak di atas perbatasan antara China dan Pakistan ini, obsesi Alison harus terkubur bersama dengan tubuhnya yang juga menghilang.

Berdasarkan laporan kejadian pada saat itu, Alison dan beberapa rekan pendakinya yang lain, termasuk juga seperti pendaki Amerika Serikat bernama Rob Slater, tewas digulung badai gunung K2 yang ganas. Tubuh Alison tak pernah ditemukan hingga hari ini. Saat tewas di K2, Alison meninggalkan anaknya pertamanya yang bernama Tom Ballard dalam pada usia 6 tahun, sedangkan Kate Ballard berusia 3 tahun.

Bagikan Artikel Ini
img-content
anton sujarwo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Travel

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Travel

Lihat semua