x

Iklan

Fathimia Munaya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 April 2021

Jumat, 9 April 2021 08:38 WIB

Maimunah radiallahu ‘anha Ummul Mukminin

Artikel ini merupakan tugas mata kuliah komunikasi dakwah #shahabiyah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Fathimia Munaya*

            Maimunah binti Harits radiallahu’anha adalah wanita yang paling bertakwa dan gemar menyambung tali silaturahmi. Aisyah radiallahu’anha pun menuturkan kata-kata monumental setelah wafatnya Maimunah radiallahu’anha, “Demi Allah, Maimunah telah pergi. Ketahuilah! Ia termasuk salah satu yang paling bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan yang paling menyambung tali kekeluargaan di antara kami.”

            Maimunah radiallahu’anha merupakan sebuah nama pemberian dari suaminya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sebelumnya adalah Barrah. Nasabnya bersambung kepada Al-Harits bin Hazm bin Bujair bin Al-Huzm bin Ruwaibah bin Abdillah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah Al-Hilaliyyah. Ibunda Maimunah radiallahu’anha ialah wanita tua yang berasal dari Harasy, Hindun binti ‘auf bin Zuhair bin Huthamah. Beliau disebut-sebut sebagai besan paling mulia karena putrinya menjadi istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga memiliki saudari sekandung, Ummu Fadhl binti Harits yang merupakan istri Abbas paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Sebelum menjadi istri dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam Maimunah radiallahu‘anha pernah menikah dengan Mas’ud bin Amr Ats-Tsaqafi yang berakhir dengan perceraian karena perbedaan keimanan dan keyakinan diantara keduanya. Berikutnya beliau dinikahi oleh Abu Ruhm bin Abdul Uzza yang kemudian ia meninggal dunia. Sungguh tidak pernah terbesit di pikirannya bahwa ia akan menjadi Ummul Mukminin, ibu dari orang-orang yang beriman.

            Pada bulan Dzulqo’dah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk mengqhada umrah dan bagi siapa pun yang telah hadir dalam peristiwa Hudaibiyah jangan sampai tertinggal. Umroh Qadha yang mereka laksanakan ini merupakan umroh yang telah lama dinantikan oleh kaum muslimin terutama kaum Muhajirin, mereka sangat merindukan halaman rumah mereka, tidak ada yang mereka harapkan selain kembali ke Mekkah, bertemu dengan sanak keluarga, dan thawaf di Baitullah. Pada umroh inilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminang Maimunah radhiallahu‘anha sebagai istri terakhir beliau.

            Setelah empat hari menetap di Makkah, orang-orang musyrik menemui Ali Radiallahu ‘anhu dan berkata, “Sampaikan pada kawanmu itu agar meninggalkan tempat kami, karena waktunya sudah habis.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun akhirnya meninggalkan Makkah dan memerintahkan Abu Raf’i untuk membawa istrinya, Maimunah Radiallahu ‘anha hingga bertemu di Sharf yang kemudian beliau menggaulinya di sana.

            Diriwayatkan dari Yazid bin Asham, ia berkata, “Beliau meminangnya dalam kondisi halal (tidak berihram), dan menggaulinya dalam keadaan halal (tidak berihram).” (Hadits riwayat Muslim).

            Cahaya iman telah memenuhi hati dan seluruh raga Maimunah radiallahu‘anha, beliau tidak mendambakan rumah megah, kekayaan dunia maupun seisinya, karena beliau tahu bahwasanya kehidupan di dunia ini bersifat fana, tidak kekal abadi dan tempat kembalinya orang mukmin itu lebih baik dari segala yang ada di alam semesta dan seisinya yaitu surga. Karena itulah beliau termasuk orang yang lebih dulu masuk islam dengan beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau juga termasuk wanita beriman yang diakui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam keimanannya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Empat wanita bersaudara; Maimunah, Ummul Fadhl, Salma, dan Asma binti Umais -saudara seibu mereka- adalah wanita-wanita mukminah.”

            Rumah tangga Maimunah radiallahu‘anha dibangun atas dasar keimanan dan ketakwaan, beliau hidup dalam rumah tangga nubuwwah dan mempelajari banyak sekali kebaikan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, mulai dari perilaku, tingkah laku, akhlak dan ilmu beliau, sehingga makin bertambahlah keimanannya. Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentangnya, “Ia termasuk pemimpin kaum wanita dan meriwayatkan sejumlah hadits.” Hadistnya diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Abdullah bin Syaddad bin Had, Ubaid bin Sabbaq, Abdurrahman bin Sa’ib Al-Hilali, Yazid bin Asham, Kuraib maula Ibnu Abbas, Sulaiman bin Yasar, Atha’ bin Yasar, dan lainnya.  

            Sebagai umat muslim kita patut untuk mencontoh suri tauladan yang baik, meniru akhlak para nabi dan rasul serta sahabat dan shahabiyahnya. Seorang muslim pun harus menjaga tali kekeluargaan antara saudaranya sesama muslim sebagaimana yang telah dilakukan Maimunah radiallahu‘anha.

            Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sangat tidak mungkin jika ada sosok manusia di alam semesta ini yang hidup sendirian tanpa berinteraksi dengan penduduk di sekitarnya. Sebagai makhluk sosial kita harus memperhatikan etika/ perilaku dalam berinteraksi dengan manusia lainnya, dan jangan sampai kita melontarkan kata yang tidak pantas diucapkan atau berperilaku tidak sopan dan semena-mena, terlebih lagi jika tetangga kita adalah seorang muslim maka wajib hukumnya bagi kita untuk mengucapkan salam kepadanya, dan memenuhi undangannya jika ia mengundang kita dalam acara yang ia selenggarakan sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh Abu Hurairah

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: حقّ المسلم على المسلم ستّ: إذا لقيته فسلّم عليه و إذا دعاك فأجبه و إذا استنصحك فانصحه و إذا عطس فحمد الله فشمّته و إذا مرض فعده و إذا مات فاتبعه –رواه مسلم-

“Dari Abi Hurairah radiallahu‘anhu berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Haq seorang muslim terhadap muslim yang lain itu ada enam; apabila kamu bertemu dengannya ucapkanlah salam kepadanya, apabila ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, apabila ia minta nasihatmu nasihatilah ia, apabila ia bersin dan ia membaca alhamdulillah, maka do’akanlah ia, dan apabila ia mati antarkanlah jenazahnya.”(Hadits Riwayat Muslim).

            Memahami yang telah dijelaskan di atas bahwa Maimunah radiallahu‘anha merupakan seorang shahabiyah yang tidak mendambakan kehidupan yang megah di dunia, karena beliau paham bahwa yang di dunia ini fana. Ditambah beliau merupakan salah satu dari istri Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, tentu seorang Rasul tidak akan sembarangan dalam meminang istri. Terlebih juga Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam merupakan manusia yang mulia, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala saja memerintahkan kepada seluruh umat manusia untuk mengikuti segala sesuatu yang baik dalam hidupnya, sebagaimana yang telah tertera dalam Alquran dan Hadits. Salah satunya dalam surat Al-Ahzab ayat 21.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.

Melihat perkembangan zaman sekarang yang di mana modernisasi dan hedonism begitu marak di mana-mana, sehingga umat muslim ikut tersangkut di dalamnya. Yang di mana tidak sedikit dari umat muslim ikut terlena dalam kehidupan yang mewah dan megah. Islam tidak melarang untuk menjadi kaya, akan tetapi dengan kekayaan tersebut kita harus lebih meng-investasikannya untuk sebuah cita-cita di akhirat kelak yaitu surga, misalnya dengan sedekah, infaq, membantu orang yang membutuhkan, dan yang lainnya. Kita juga harus mampu menahan segala ego hawa nafsu yang mampu menjerumuskan pada kehidupan yang hedonism, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan untuk hidup secara sedehana sebagaimana dalam firmannya dalam surat Al-Qashash ayat 79-82.

فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِه فِيْ زِيْنَتِه قَالَ الَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا يٰلَيْتَ لَـنَا مِثْلَ مَاۤ اُوْتِيَ قَارُوْنُ اِنَّه لَذُوْحَظٍّ عَظِيْمٍ (79) وَقَالَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ وَيْلَـكُمْ ثَوَابُ اللّٰهِ خَيْرٌ لِّمَنْ اٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًـا وَلَا يُلَقّٰٮهَاۤ اِلَّا الصّٰبِرُوْنَ (80) فَخَسَفْنَا بِه وَبِدَارِهِ الْاَرْضَ فَمَا كَانَ لَه مِنْ فِئَةٍ يَّـنْصُرُوْنَه مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِيْنَ (81) وَاَصْبَحَ الَّذِيْنَ تَمَـنَّوْا مَكَانَه بِالْاَمْسِ يَقُوْلُوْنَ وَيْكَاَنَّ اللّٰهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَآءُ مِنْ عِبَادِه وَيَقْدِرُ لَوْلَاۤ اَنْ مَّنَّ اللّٰهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَاَنَّه لَا يُفْلِحُ الْكٰفِرُوْنَ(82)

“Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan kemegahannya. Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata, Mudah-mudahan kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar(79)Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar(80)Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam Bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri(81)Dan orang-orang yang kemarin mengangan-angankan kedudukannya (Qarun) itu berkata, Aduhai, benarlah kiranya Allah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya). Sekiranya Allah tidak melimpahkan karunia-Nya pada kita, tentu Dia telah membenamkan kita pula. Aduhai, benarlah kiranya tidak akan beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)(82)

            Dengan begitu sebagai seorang muslim sudah seharusnya melaksanakan perintah dari Rabbnya untuk hidup sederhana, atau bisa diartikan juga hidup yang berbasis sesuai dengan kebutuhan, bukan yang sesuai dengan keinginan, karena keinginan tidak akan pernah ada habisnya. Maka dari itu kehidupan rumah tangga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan Maimunah radiallahu‘anha merupakan contoh yang tepat untuk diteladani.

            Berbicara rumah tangga berarti berbicara dua insan yang dipersatukan dalam satu ikatan atau bisa juga dari yang dua menjadi satu. Dalam rumah tangga tentu tidak akan selamanya tenang, di dalamnya sudah pasti ada dinamika, oleh karena itu yang telah berumah tangga harus mampu memainkan perannya. Memaknai kisah seorang shahabiyah yang luar biasa yaitu Maimunah radiallahu‘anha, beliau patut dicontoh untuk para istri di zaman sekarang yang tidak sedikit banyak menuntut kepada para suaminya dengan tuntutan kemegahan. Tidak sedikit perceraian terjadi karena ekonomi keluarga yang tidak mampu memenuhi hasrat keinginan yang begitu membabi buta, sehingga dengan adanya permasalahan tersebut akhirnya timbul pertengkaran dan berakhir dengan perceraian.

Salah satu contohnya di masa wabah ini yang tidak berkesudahan, sempat geger ada kasus yang di mana seorang istri berbondong-bondong ke kantor pengadilan agama untuk mengugat cerai suaminya dengan alasan perekonomian keluarga. Tentu akan sedikit masuk akal jika yang diambil alasannya adalah masalah perekonomian karena terhambat oleh wabah, sehingga penghasilan si suami tidak seperti biasanya, atau bisa dikatakan menjadi seadanya. Dengan penghasilan yang seadanya itu mungkin tidak memenuhi keinginannya yang selalu ada atau bahkan serba ada.

Bagi siapa saja tidak hanya terfokus kepada istri, sangat perlu memahami sekaligus memaknai pribadi Maimunah radiallahu‘anha ini. Perlu diteladani karena Maimunah radiallahu‘anha ini tidak mendambakan kehidupan yang mewah sekaligus megah, dengan begitu ia telah melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk hidup sederhana. Beliau sadar yang di dunia ini fana, semua yang dimilkinya hanya sebatas titipan dan bersifat sementara. Tentu, semuanya milik sang Maha Kuasa, hingga akhirnya salah satu akan meninggalkan, entah itu kita meninggalkan harta, atau harta yang meninggalkan kita,  yang  terpenting bersyukurlah sebisa-bisanya. Maka dari itu hiduplah dengan sederhana yang berbasis kebutuhan sesuai dengan perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala.

 

*Mahasiswi Semester 4 Prodi Komunikasi Penyiaran Islam STIBA Ar-Raayah Sukabumi

 

Referensi

                                                        

Abu Ammar, Mahmud Al-Mishri. (2014). Biografi 35 Shahabiyah Nabi. Jakarta: Ummul Qura.

Zakaria, Aceng. (2003). Etika Hidup Seorang Muslim. Garut: Ibn Azka Press.

https://umma.id/post/biografi-maimunah-binti-al-harits-istri-rasulullah-244805?lang=id, diakses pada 23 maret 2021 Pukul 18.43 WIB

Ikuti tulisan menarik Fathimia Munaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

18 menit lalu

Terpopuler