x

Berkali-kali

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 22 April 2021 07:26 WIB

Banjir, Budaya Meneruskan Informasi di Medsos

Setop terlihat bodoh, gara-gara latah dan hobi meneruskan informasi. Lalu, siapa yang seharusnya mengedukasi budaya meneruskan informasi yang bak air bah. Banjir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa yang saya lakukan, menunjukkan siapa diri saya. (Supartono JW. 21042021).

Apa yang kita lakukan melalui sikap, perbuatan, pembicaraan, hingga tulisan, adalah ukuran diri kita. Di situlah langsung dapat dinilai seberapa berkembang intelektual, sosial, emosional, analisis, kreatif, imajinati, dan iman (ISEAKI) si pelaku. Dan, ada yang alami, pun ada yang sudah ditumpangi penyutradaraan dan sandiwara kepentingan.

Ingat budaya salin tempel (copy paste) yang melegenda di negeri kita? Ingat tradisi nyontek yang menjadi budaya mulai dari anak Sekolah Dasar (SD) sampai orang dewasa dalam setiap ujian? Ingat budaya salam tempel (nyogok) demi mendapatkan atau memperoleh sesuatu dengan mudah? Kini, ada budaya sejenis yang bahkan setiap detik terjadi di media sosial, semisal whatsApp (wa).

Tradisi dan budaya baru itu adalah meneruskan informasi berupa chat, artikel, berita, gambar, foto, video, dan lainnya di media sosial (medsos). Hal ini nyatanya melengkapi fakta bahwa masyarakat bangsa ini memang hobi jadi pemakai karya cipta atau produk orang lain. Bahkan, saya sudah menulis artikel menyoal masyarakat bangsa kita yang hanya gemar jadi bangsa pemakai karya orang lain. Tak mau berpikir, tak kreatif, tak inovatif, apalagi menginspirasi, tapi malah dengan gaya sok hedon, bangga menggunakan produk luar negeri untuk gaya-gayaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Asal meneruskan

Sejak hadirnya medsos, sebab saya menyimpan nomor kontak handphone (hp) atau ponsel dan wa dari keluarga hingga rekan kerja dan grup-grup wa yang cukup banyak, maka hp saya sering kepenuhan data. 

Bila selama ini ada kisah ponsel sering hang karena software atau hardware Android mengalami kesalahan dalam pengoperasiannya, maka ponsel bisa benar-benar bengong alias tidak ada respon sama sekali saat layar atau tombol fisik disentuh, tapi akibat dari budaya meneruskan informasi yang bertubi-tubi, ponsel pun kepenuhan data dan hang pula.

Yang menyedihkan, masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, hingga kini pun belum teredukasi menyoal budaya meneruskan informasi yang bukan hanya bikin masalah pada ponsel, tetapi membikin masalah pada orang yang melakukan budaya meneruskan informasi di medsos.

Harus dipahami bahwa budaya meneruskan informasi di medsos, sangat rentan sekali berakibat orang yang melakukannya terjerat UU ITE. Pasalnya, banyak sekali warganet atau netizen yang hanya sekadar membaca judul informasi dalam berbagai bentuk, tak membaca, tak menonton, tak menyimak, dan tak memahami informasi secara utuh, lalu merasa bahwa informasi itu bagus dan penting sesuai judulnya, langsung saja berjiwa satria, bermaksud berbagi kebaikan dengan langsung meneruskan informasi ke keluarganya, temannya, hingga di grup-grup wa padahal dirinya saja belum memahami sepenuhnya dan tak melalukan kros chek apakah informasi itu benar, fakta, dan valid. Bukan hoaks.

Namun, lebih dari itu, seperti budaya copy paste, nyontek, bangga menjadi pemakai produk dan karya orang lain dan bangsa lain, tradisi meneruskan informasi di media sosial, juga setali tiga uang. Setali tiga uangnya adalah mencerminkan semakin kentalnya karakter pemalas di negeri ini. 

Bagi warganet terdidik, tentu meneruskan informasi di media sosial akan lebih dahulu memahami apa dan bagaiamana isi dan manfaat informasi itu. Baru, kemudian, sekiranya bermanfaat bagi keluarganya, tetangganya, masyarakat, dan bermaslahat bagi umat,  maka akan terlebih dahulu permisi dan santun numpang berbagi. Tidak asal slonong langsung meneruskan.

Tetapi perbandingan warganet yang santun dengan yang tak santun, yang terdidik dan tak terdidik, masyarakat di Indonesia tentu dapat mengkalkulasi sendiri, karena selama ini juga langsung menjadi subyek pemakai medsos yang sangat aktif.

Dalam setiap grup wa, tentu warganet pernah memiliki pengalaman anggota grup lain meneruskan informasi dan anggota grup lainnya ada yang merespon atau pasif. Malah ada informasi yang diteruskan berkali-kali, meski bila grup wa di scroll (gulir) ke atas, akan ditemukan informasi yang sudah diteruskan sebelumnya. Bila kejadiannya seperti itu, maka warganet dapat menilai si warganet yang meneruskan informasi yang sama dengan penilaian masing-masing dan diam. Tetapi ada juga yang responsif dan marah.

Tujuan medsos

Budaya dan tradisi meneruskan informasi di medsos, pada hakikatnya jelas sesuai tujuan lahirnya medsos. Tapi, bagi warganet yang tak paham, menjadikan mereka ikut-ikutan sekaligus terlihat membunuh dirinya sendiri di depan publik, karena jadi ketahuan tak cerdas, nampak bodoh dan tak memahami apa informasi yang diteruskannya. Apa penting, apa hoaks, apa informasi yang kadaluarsa, dll.

Wajib dicamkan, hadirnya medsos, satu di antaranya, awalnya memiliki peran penting bagi masyrakat yang sedang menekuni Bisnis Online. Hal ini dilatari oleh pengguna medsos yang aktif setiap harinya dan mencapai ratusan juta pengguna. Karenanya, hal tersebut  dimanfaatkan sebagai media promosi produk yang dijual. 

Pasalnya, penguna sosial media bisa menjadi target utama untuk menghasilkan uang dengan cara berjualan di dunia maya, untuk bisnis.

Tujuan lainnya, hadirnya medsos adalah sebagai tempat pertemanan dengan orang lain yang ada di Indonesia, atau bahkan di seluruh dunia, sehingga siapa pun bisa berkenalan dengan pengguna medsos  lainnya melalui fitur pesan yang ada.

Lebih dari itu,  medsos juga berperan dalam membangun hubungan dengan teman, keluarga secara jarak jauh karena media sosial memiliki jangkauan yang luas dan global.

Terkini, fungsi medsos bertambah menjadi media untuk meneruskan infomasi yang pada awalnya diinisiasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama di bidang politik, untuk menggiring opini publik dan menarik simpati publik sesuai tujuan informasi yang sengaja diciptakan dengan intrik dan taktik, penuh sandiwara.

Bahkan, turunannya, lahir profesi influlenser dan buzzer yang dipekerjakan oleh pihak tertentu, namun ongkos mereka dari uang rakyat.

Kembali ke copy paste yang hingga kini masih tumbuh subur di kalangan siswa dan mahasiswa. Meski, sudah ada teknologi canggih yang mampu membaca copy paste, namun masih ada tugas-tugas sekolah dan kuliah yang tetap lolos ke meja guru dan dosen, sebab siswa dan mahasiswa banyak yang lebih melek teknologi dari guru dan dosennya. Banyak siswa dan mahasiswa yang terbahak setelah berhasil mengibuli guru dan dosennya atas tugas pelajaran atau mata kuliah yang bukan karya sendiri, cuma njiplak dari temannya atau sekadar copy paste.

Tapi banyak guru dan dosen yang tahu bahwa siswa atau mahasiswanya mengumpulkan tugas bukan dari karya sendiri, dan secara individu siswa atau mahasiswa langsung dipanggil, tidak dipermalukan di depan siswa atau mahasiswa lainnya. Begitu pun pada perlakuan pada siswa atau mahasiswa yang nyontek. 

Yang miris, justru guru atau sekolah ada yang membantu siswa memperoleh nilai tinggi meski dengan cara copy paste, nyontek, hingga memberi kunci jawaban tes atau ujian agar guru atau sekolah dianggap dan dinilai berhasil.

Budaya ini jelas semakin membikin siswa dan mahasiswa tertradisi dimudahkan. Ujungnya membuat siswa dan mahasiswa malas. Dan, ini terjadi dari generasi ke generasi. Ujungnya lahirlah generasi malas. Tak lahir pemikir, tak lahir inovator, tak lahir inspirator. Bangsa ini terus terpuruk dalam karya cipta dan kemajuan zaman. Pendidikan terus gagal.

Dan, bangsa kita akhirnya dikenal sebagai bangsa pemakai produk dan karya cipta dari bangsa lain. Semisal, anak-anak sudah terbudaya merengek pada orang tuanya bila keluar ponsel terbaru dan tinggal minta beli dan lainnya.

Kini, anak kecil hingga orang tua juga terbudaya meneruskan infornasi dari orang lain atau pihak lain yang bisa berakibat kena hoaks, membikin tak nyaman anggota grup lain, membuat ponsel kepenuhan data, ponsel hang, hingga ketahuan si penerus informasi tak cerdas intelegensi dan emosi.

Ayo, bagi siapa saja yang hingga kini masih latah suka meneruskan informasi di medsos terutama melalui wa jaringan pribadi maupun grup, cermati dulu apa isi informasi itu. Baca, simak, tonton, sampai dapat menyimpulkan informasi tersebut penting untuk diteruskan. Sebab, meski penting, bisa jadi orang lain atau anggota grup sudah dapat info yang sama dari teman atau grup lainnya.

Setop terlihat bodoh, gara-gara latah dan hobi meneruskan informasi. Lalu, siapa yang seharusnya mengedukasi budaya meneruskan informasi yang bak air bah. Banjir.

 

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler