x

Tapi tamparan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 23 April 2021 12:42 WIB

Kasus Singkatan SD, Sekolah Dihapus atau Sekolah Duduk, Guyonan atau Tamparan?

Mustahil di dalam cermin tersenyum, bila saat bercermin menangis. (Supartono JW.23042021) Konten anak usia SD menyebut singkatan SD, Sekolah Dihapus atau Sekolah Duduk, guyonan atau tamparan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mustahil di dalam cermin tersenyum, bila saat bercermin menangis. (Supartono JW.23042021)

Tepat di Hari Kartini, Rabu, 21 April 2021, ada peristiwa yang bila ditarik lebih dalam ke hati dan pikiran kita masing-masing, tentu akan ada satu pilihan kata yang mewakili hati dan pikiran kita masing-masing. Satu kata itu bisa saja miris atau sedih atau prihatin dan atau-atau yang lainnya.

Singkatan SD, cermin pendidikan kita

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana tidak, anak-anak yang usianya masuk duduk di Sekolah Dasar (SD), ternyata tidak bisa menyebut singkatan SD dengan benar dalam konten di medsos yang viral dan tranding topik. Meski, banyak yang berpikir konten yang mengungkap gambaran pendidikan nyata di Indonesia ini hanya untuk hiburan, candaan, bahan tertawaan hingga settingan hanya untuk menarik viewers, saat kita tertawa melihat tontonan itu, pasti setelahnya kita berpikir, hancur benar pendidikan di Indonesia, bila itu tak settingan. 

Tapi terlepas adanya tuduhan settingan, masyarakat sendiri dapat menjawab fakta bahwa kejadian semacam itu ada dan nyata tidak di Indonesia?

Pasalnya, saat kita semua berpikir tentang Kartini, tentu akan teringat tentang Kartini yang terkungkung atau terkekang, namun tetap berupaya dapat berkomunikasi dengan dunia luar dengan cara membaca dan menulis surat. Dengan membaca dan menulis surat, maka Kartini pun terus mendapat asupan informasi dan pengetahuan dari luar dari jawaban-jawaban surat yang ditulisnya. Artinya, hanya dengan membaca dan menulis surat yang isinya di antaranya menulis tentang keadaan dirinya, Kartini mendapat jawaban atas permasalahan yang dihadapai pada masa itu, dan akhirnya menemukan jawaban, dia harus berbuat apa.

Setelah 57 tahun Hari Kartini di peringati di Indonesia, ternyata di saat semua rakyat Indonesia tahu bahwa pendidikan di Indonesia terus terpuruk dan tertinggal bahkan di kawasan Asia Tenggara, lalu ditambah dengan hadirnya pandemi Covid-19, yang membuat Kegiatan Belajar  Mengajar (KBM) tatap muka di sekolah terhenti, ada pihak yang kembali membukakan mata pada kita semua, bahwa pendidikan di Indonesia tambah memprihatinkan.

Dari pondasi bermasalah, masyarakat berbaur

Ibarat bangunan rumah, anak usia SD itu sama dengan pondasi rumah. Bila pondasi rumah di seluruh Indonesia (baca: anak SD), tak terbuat dari adonan bahan pondasi yang benar, tak diproses dengan benar saat dibentuk menjadi pondasi, tidak mengikuti teori yang benar saat membentuk pondasi, dan ujungnya tak layak berposisi sebagai pondasi, maka bagaimana mungkin bangunan rumah di atasnya akan kuat.

Itulah mengapa Indonesia selalu mendapat peringkat rendah dalam survei kinerja siswa dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sesuai hasil survei Programme for International Student Assesment (PISA).

Pasalnya Kurikulum pendidikan dasar kita terus bermasalah. Karenanya, PISA yang melakukan survei evaluasi sistem pendidikan di dunia dan mengukur kinerja siswa kelas pendidikan menengah, yaitu membaca atau literasi, matematika, dan sains, untuk Indonesia selalu terpuruk. Sebab pondasinya, anak-anak SD di negeri kita diproses dan dibentuk tak sesuai harapan. Akibatnya, saat di pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), baru ketahuan, sesuai survei PISA.

Andai PISA juga mensurvei siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan mahasiswa di Perguruan Tinggi (PT), mungkin juga akan terbuka dan terbukti bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia yang sebenarnya.

Bila anak-anak mulai dari SD sudah tak dibentuk sebagai pondasi yang benar, lalu sudah terbukti di SMP sesuai survei PISA terpuruk, bagaimana dengan anak-anak yang sejak lahir hingga dewasa tak pernah mengenyam pendidikan formal? Lalu, mereka juga bergabung bersama dalam kehidupan nyata sejak anak-anak hingga menjadi orang dewasa.

Mereka pun berbaur dalam masyarakat dan lingkungan yang sama, grup-grup media sosial yang sama, grup-grup sosial yang sama meski pendidikannya berbeda dan tak sama. Pondasinya pun tak kuat. Termasuk misalnya ada dalam grup suporter sepak bola yang sama. Apa yang akhirnya terus terjadi? Tawuran siswa dan bentrok suporter pun terus terulang dan terulang. Sulit terputus mata rantainya dari setiap generasi, karena yang diwariskan justru hal-hal yang membikin mudarat dan membikin bangsa ini terus terpuruk.

Siswa yang menempuh pendidikan formal saja, masih banyak yang gagal dalam perkembangan intelektualnya, sosialnya, emosionalnya, analisisnya, kreatif-imajinatifnya, dan imannya (ISEAKI). Bagaimana dengan anak-anak hingga orang dewasa yang tak pernah tersentuh pendidikan formal?

Siswa yang tawuran atau suporter yang bentrok, semisal pemimpinnya jelas memiliki intelegensi cerdas, mampu mempengaruhi emosi anggotanya, bisa menganalisis keadaan, tentunya kreatif dan imajinatif karena bisa merancang tawuran dengan berbagai cara dan model. Tapi imannya tak kuat atau tak ada. Hasilnya, kita terus dapat menyaksikan sajian aksi mereka di Indonesia hingga sebelum pandemi corona datang karena sekolah masih tatap muka dan masih ada kompetisi sepak bola. Meski corona sudah datang, toh kita masih sering membaca dan menonton berita tentang tawuran dan korbannya.

Lebih dari itu, lihat, dalam konten yang mengungkap singkatan SD, Sekolah Dihapus atau Duduk, bagaimana jawaban orang dewasa ketika ditanya apa kepanjangan singkatan narkoba dan SPBU?

Cermati ISEAKI

Sejatinya, tanpa harus hadir corona, ISEAKI orang-orang di Indonesia mulai dari rakyat jelata hingga para pemimpin bangsa, memang perlu dicermati. Masih terlalu banyak masyarakat yang ISEAKInya terus terpuruk dibanding yang ISEAKInya berkembang.

Sayang yang memiliki ISEAKI baik dan berkembang justru banyak yang memanfaatkan masyarakat yang ISEAKInya rendah. Dan, terus tampil di panggung sandiwara berebut kekuasaan, jabatan, dan saling berkolabirasi dalam kepentingan untuk memperkuat dinasti politik, oligarki, dan terus mengantar mereka di dunia hedon, terus mengeruk keuntungan menguasai negeri demi bergelimang harta dan kekayaan di atas penderitaan rakyat.

Pandemi corona yang seharusnya menjadi kesempatan untuk semua masyarakat bangsa ini semakin memahami arti kehidupan, lalu melakukan instrospeksi, mawas diri, dan merefleksi diri, nyata tetap membuat membutakan mata dan hati hingga tetap ada korupsi.

Yang sangat memiriskan, selain kegagalan dunia pendidikan yang bertubi-tubi, ada anak usia SD tak tahu kepanjangan singkatan SD, orang dewasa tak tahu kepanjangan narkoba dan singkatan SPBU, pemilihan menteri pendidikan yang tidak tepat, mencla-menclenya kebijakan pemerintah dalam hal corona, mudik dilarang tapi ada WNA bisa masuk wilayah RI. Lalu, ada revisi larangan mudik yang ditambah harinya, karena kegagalan pendidikan selama ini, maka masyarakat pun terus jauh dari harapan nawa cita tentang lahirnya manusia Indonesia yang berkarakter.

Sekolah dan masyarakat gagal bentuk budi pekerti

Sebelum corona hadir, sekolah pun gagal membentuk para siswa berbudi pekerti luhur dengan fakta setelah para siswa lulus menjadi orang dewasa dan menjadi mssyarakat pada umumnya, masalah dan keluhan tentang nilai-nilai kehidupan pun terus menggaung, yaitu terus rendah dan menipisnya sikap peduli, simpati, empati, tahu diri, sopan-santun, etika, karena tak terbentuk karakter rendah hati dan luhur budi. Gagal dalam perkembangan ISEAKI, dan terus diteladani oleh para pemimpin negeri dan para elite yang tak amanah.

Anak-anak hingga orang dewasa, terdidik atau tidak terdidik, kini semua memegang gawai. Malah, jumlah gawai di Indonesia lebih banyak dari jumlah penduduk di Indonesia. Mereka semua berbaur dalam masyarakat yang sama, grup sosial yang sama, grup medsos yang sama. Bagaimana tidak terjadi kekacauan secara intelektual dan sosial?

Maka, tak salah bila warganet atau netizen Indonesia sesuai hasil survei yang pernah dipublikasi menjadi warganet atau netizen terburuk bahkan di Asia Tenggara.

Sudah begitu, jejak penjajah yang sengaja membikin rakyat Indonesia tetap bodoh agar mudah dikibuli dan terus dijajah, pun kini banyak diwarisi oleh pemimpin di +62.

Mereka butuh suara rakyat demi dapat kursi kekuasaan, dengan cara menggiring opini, karena tahu masih banyak rakyat yang mudah dibodohi dan ditunggangi. Lahirlah buzzer dan influenser. Sebelumnya, masyarakat yang cerdas juga sudah tahu, adanya lembaga survei yang sekadar cari keuntungan pribadi, itu bekerja untuk kepentingan siapa tergantung siapa yang membayar.

Lihat, bagaimana Kamus Sejarah Indonesia? Parah dan akhirnya ditarik. Apa maksudnya, apa tujuannya, Kamus sampai diselewengkan! Sebelumnya, bagaimana ada orang yang tak tahu malu mengkudeta partai? Dan, lihat bagaimana kisah reshuffle kabinet terus menjadi gawean, karena hanya menjadi wadah bagi-bagi jatah kursi kekuasaan elite partai, bukannya kursi itu diduduki oleh orang yang berpengalaman, kompeten, dan profesional di bidangnya. Hanya bagi-bagi kursi dan uang rakyat dan tak penting bagaimana ISEAKI yang diberikan tanggungjawab dan amanah. Inilah akibat yang diterima rakyat, terus menderita dan jadi korban kebijakan yang tak sesuai amanah Pembukaan UUD 1945.

Rasanya, meski sudah mau berusia 76 tahun setelah merdeka, bila Indonesia masih dikelola dengan cara seperti sekarang, malah terus ada yang mengendalikan dan menyutradarai, dan dunia pendidikan dan agama terus menjadi ranah yang tak pernah menuai perdebatan, maka jangan harap anak-anak yang tak tahu singkatan SD dan orang dewasa yang tak tahu akronim narkoba dan singkatan SPBU bertambah sedikit.

Nilai PISA pun akan terus konsisten terpuruk, tawuran pelajar atau suporter sepak bola akan masih laku, predikat warganet terburuk bisa kekal, nawa cita lahirnya manusia Indonesia berkarakter, berbudi pekerti luhur dan rendah hati hanya sekadar mimpi. 

ISEAKI pada setiap individu manusia, wajib menancap kuat dan menjadi pondasi yang proses dan pembentukannya benar. Sayang, yang di jalur formal masih tak tergarap dengan benar, apalagi di jalur nonformal.

Mungkin,  bila saya yang ditanya apa singkatan dari SD, tanpa ada awalan dan pengantar menyoal SD, maka saya boleh jawab Susah Diatur dan lainnya. Boleh, dong?

Mungkin bila saya yang ditanya apa singkatan SPBU, saya dengan tegas akan jawab, Selalu Penuh Berita Utopia. Boleh, dong? Pusing, kan?

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler