x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 17 Mei 2021 06:23 WIB

Kematian KPK, MK, dan Hati Nurani

Ketika para hakim dengan kualifikasi keilmuan demikian tinggi telah memperlihatkan kualitas integritas yang sebenarnya, maka rakyat tidak tahu lagi harus berpaling kepada siapa. Tinggal hati nurani rakyat yang menjerit tanpa seorang pun hakim mau mendengarkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, dalam sebuah diskusi mengatakan bahwa bukan hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mati, tapi juga Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai lembaga negara, KPK dan MK memang masih ada, namun ruh dan jiwa kedua institusi penegak kebenaran dan keadilan tersebut sudah padam.

Putusan-putusan yang ditelurkan MK, menurut Zainal, memperlihatkan bahwa para hakim konstitusi kikuk dan gagu manakala berhadapan dengan kepentingan politik. Tidak heran bila sebagian akademisi menduga bahwa putusan penolakan uji formil terhadap UU KPK hasil revisi merupakan buah dari barter antara pemerintah-DPR dengan para hakim MK terkait perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi yang diatur dalam UU MK hasil revisi beberapa waktu lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada politisi yang membantah bahwa telah terjadi barter kepentingan dengan pasal di undang-undang MK. Menurut politisi ini, yang terjadi adalah lobi-lobi, dan menurutnya lobi-lobi merupakan hal yang lumrah. Namun, bila lobi-lobi kemudian mengorbankan prinsip fundamental institusi hukum tentu merupakan tindakan yang sukar dipahami secara etis. Sungguh di luar kepatutan bila prinsip fundamental yang menjadi ruh dan jiwa MK ditabrak hanya demi perpanjangan masa jabatan para hakim.

Para politisi, baik yang duduk di pemerintahan maupun parlemen serta di partai, tampaknya lebih menyukai institusi KPK dan MK yang tidak galak, garang, dan tangguh. Mengapa? KPK mengurus perkara korupsi, suap, maupun pengutilan, sedangkan pemerintah, parlemen, maupun politisi berurusan dengan sumber-sumber keuangan. Lagi pula, kebanyakan politisi adalah juga pebisnis dan pengusaha yang tentu saja berurusan dengan uang dan aturan. Rapuhnya ruh dan jiwa KPK jelas memberi keuntungan.

Pelemahan MK juga penting, sebab institusi ini merupakan pemberi kata putus mengenai keabsahan suatu aturan, baik yang dikeluarkan pemerintah maupun produk bersama pemerintah-parlemen alias undang-undang. Jika MK lemah dan tidak setangguh seperti yang diharapkan oleh rakyat sebagai benteng terakhir keadilan, maka aturan apapun yang dibuat pemerintah bersama DPR akan aman dari gugatan berbagai unsur masyarakat. Sejauh mana lobi-lobi antara pemerintah, parlemen, dan para hakim konstitusi merupakan kisah di balik panggung yang mungkin baru akan terungkap di kemudian hari.

Para penentang KPK yang tangguh dan berintegritas adalah mereka yang kepentingannya terganggu, yang kemudahan serta previlese yang sudah lama mereka nikmati juga terganggu. Langkah sistematis untuk melemahkan KPK tampak tersusun rapi, tahap demi tahap, hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi yang diharapkan dapat menjadi benteng terakhir masyarakat untuk menyelamatkan KPK ternyata telah kehilangan ruh dan jiwanya. Sebagian hakim konstitusi semula dikenal sebagai orang-orang yang ikut bersuara agar Presiden Jokowi menyelamatkan KPK, namun entah kenapa setelah menjadi hakim berubah pendirian.

Ketika beberapa waktu lalu pemerintah mempersilakan masyarakat yang tidak puas terhadap undang-undang KPK hasil revisi untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, masih belum terlihat jelas situasinya. Namun kini, putusan MK yang menolak permohonan uji formil undang-undang oleh Agus Rahardjo, mantan ketua KPK, dkk. telah memperlihatkan dengan gamblang mengapa waktu itu pemerintah begitu percaya diri. Para hakim MK telah bertindak sebagai pemukul gong di bagian tahap akhir upaya pelemahan KPK. 

Akhirnya, kematian—istilah yang digunakan Zainal Arifin Mochtar—kedua institusi tersebut, KPK dan MK, sesungguhnya merupakan manifestasi dari kematian hati nurani. Pertanyaannyya, apakah sebelum ini para pemegang kekuasaan—eksekutif, legislatif, maupun yudikatif—masih menggunakan hati nurani mereka dalam mengambil keputusan? Apakah para pejabat publik, pimpinan dan anggota parlemen, serta para hakim masih mendengarkan suara hati mereka?

Kenyataannya, para hakim konstitusi yang diharapkan oleh rakyat dapat menjadi benteng perlindungan terakhir ternyata tidak berkutik. Ketika para hakim dengan kualifikasi keilmuan demikian tinggi telah memperlihatkan kualitas integritas yang sebenarnya, maka rakyat tidak tahu lagi harus berpaling kepada siapa. Tinggal hati nurani rakyat yang menjerit tanpa seorang pun hakim mau mendengarkan. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler