x

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 23 Mei 2021 10:45 WIB

Program Digital Literasi Nasional, Siapa Sasarannya?

Selama ini siapa yang telah memberi contoh mengisi ruang digital dengan konten dan narasi negatif? Bisa dijawab dengan mudah, kan? Semoga hadirnya PLDN, terutama menyasar mereka dulu. Bila mereka tertib rakyat pun tentu ikut tertib. Jadi, prioritas hadirnya PLDN, adalah untuk mereka yang selama ini menjadi pegiat dan pengisi ruang digital dengan konten negatif karena ada beban kepentingan, bukan amanah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut bahwa konten negatif terus bermunculan, kejahatan di ruang digital terus meningkat, hoaks. Juga penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, ujaran kebencian, hingga radikalisme berbasis digital perlu terus diwaspadai. Bila Jokowi sampai khusus menyebut ada sejumlah ancaman di ruang digital, dan meminta publik mengisi ruang digital dengan konten yang positif, pertanyaannya, mengapa baru sekarang hal tersebut diungkap?

Padahal selama ini ruang digital justru dimanfaatkan pihak-pihak yang berkepentingan di negeri ini, dengan isi hal-hal negatif. Isu yang memang sudah diskenario pihak tertentu dengan tujuan menggiring opini publik agar terperangkap di dalamnya.

Mengapa Program Literasi Digital Nasional (PLDN) baru dibuat sekarang, setelah ruang digital malah menjadi sarang pihak tertentu untuk bermain intrik, taktik, politik? Apakah PLDN juga dimaksudkan untuk menekan para influenser dan buzzer yang juga diciptakan oleh pihak tertentu itu? Pun dengan tujuan mengalihkan isu?

PLDN untuk siapa?

Sejatinya, peluncuran PLDN menjadi angin segar bagi dunia pendidikan nasional pada khususnya dan kehidupan humaniora di Indonesia pada umumnya. Pendidikan Indonesia yang terus terpuruk dan tercecer bahkan di Asia Tenggara, titik benang kusut terbesarnya adalah pada masalah membaca, literasi mulai dari mulai anak-anak usia dini hingga orang dewasa.

Sehingga bangsa ini terus menjadi bangsa yang mulai dari rakyat jelata hingga para pemimpin bangsa terus menggunakan cara dan pola berpikir parsial dan deduktif dalam melangkah di berbagai hal dan bidang.

Ironisnya, tatkala dalam situasi normal saja terus terpuruk dan tertinggal dalam membaca dan literasi karena sebabnya juga sangat kompleks. Terutama karena kegagalan dalam dunia pendidikan formal. Masyarakat yang semakin jauh dari kompeten dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan karena gagal dalam literasi. Hal itu berakibat tak terasah dan tak berkembangnya kecerdasan intelegensi dan emosi. Pun tak kuasa membendung kemajuan zaman khususnya dunia maya dan digital.

Akibatnya, masyarakat benar-benar terjun bebas terperangkap dalam dunia maya dan digital yang persiapan keilmuan dan pengalamannya tak cukup.

Pendidikan literasi di dunia formal gagal, imbasnya lemah kecerdasan intelegensi dan emosi. Sebab asupan keilmuan dan pengalaman berbagai hal menyangkut kehidupan tak mampu mengisi ruang kognisi, ruang afektif, dan ruang psikomotor masyarakat. Mata rantai berikutnya adalah tak lahir masyarakat yang mampu menganalisis setiap sebab, konflik, dan akibat dari setiap masalah dan tak mampu berpikir kreatif, imajinatif, serta inovatif.

Di saat kondisi masyarakat yang seperti demikian, ternyata dunia maya dan digital hadir bak air bah. Masyarakat yang diibaratkan sebagai pondasi bendungan, tapi pondasinya saja belum dibikin secara kokoh, langsung diserbu air dunia maya dan digital. Jebollah pondasi itu.

Saat pondasi terus jebol, dan masyarakat terus hanyut terbawa arus air tanpa mampu melawan. Ternyata air yang arusnya dikendalikan oleh suatu kekuatan  justru terus mengisi ruang-ruang di segala lini masyarakat yang terseret arus banjir dunia maya dan digital.

Hasilnya, seperti apa yang dikemukakan oleh Jokowi. Konten negatif terus bermunculan, kejahatan di ruang digital terus meningkat, hoaks, penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, ujaran kebencian, hingga radikalisme berbasis digital. Semua itu perlu terus diwaspadai. Maka, terbitlah PLDN.

Identifikasi pelaku


Pertanyaannya, bila kita identifikasi:
1) Siapa yang selama ini jahat bikin hoaks. Untuk kepentingan apa dan siapa?
2) Siapa yang selama ini jahat bikin penipuan daring? Untuk kepentingan siapa juga?
3) Siapa yang berjudi di dunia digital?
4) Siapa pelaku dan korban eksploitasi sek?
5) Siapa pelaku dan korban perundungan siber?
6) Siapa pelaku dan korban ujaran kebencian?
7) Siapa pelaku dan korban radikalisme?
8) Siapa yang bikin UU ITE dan siapa sasaran dan korbannya?
9) Siapa yang terus membikin keruh suasana, kisruh, dan perpecahan di dunia maya, digital?

Apakah rakyat yang menjadi otak dan pelaku dari semua masalah ruang digital yang negatif? Pastinya, selama ini rakyat yang masih lemah literasi formal dan masih banyak yang sangat lemah dalam literasi digital hanya menjadi korban dari yang punya skenario dan kepentingan.

Bila yang punya skenario dan kepentingan meneladani mengisi ruang-ruang digital dengan konten positif, narasi positif, apakah rakyat akan menjadi terbudaya negatif? Selama ini, siapa yang telah memberi contoh mengisi ruang digital dengan konten dan narasi negatif? Bisa dijawab dengan mudah, kan?

Semoga hadirnya PLDN, terutama menyasar mereka dulu. Bila mereka tertib  rakyat pun tentu ikut tertib. Jadi, prioritas hadirnya PLDN, adalah untuk mereka yang selama ini menjadi pegiat dan pengisi ruang digital dengan konten negatif karena ada beban kepentingan, bukan amanah.






Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler