x

Erick

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 31 Mei 2021 13:54 WIB

Mau Tahu Beda Politik Etis-Balas Budi Zaman Kolonial dan Zaman Sekarang, Ini Lho?

Apa bedanya politik etis atau balas budi di zaman kolonial Belanda dan zaman pemerintahan Jokowi? Meski di zaman kolonial tetap merupakan siasat Belanda, namun mereka melakukan politik etis, balas budi kepada rakyat pribumi. Beda dengan rezim sekarang. Melakukan balas budi bukan kepada rakyat. Tetapi kepada para pendukung dan relawan Jokowi. Mirisnya, mereka lakukan sesuka hati. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun diam seribu bahasa, dan rakyat hanya bisa jadi penonton. Uang negara pun hanya dibagi-bagi untuk pendukung dan relawan Jokowi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bila membaca lagi tentang kisah politik etis atau politik balas budi zaman penjajahan kolonial Belanda, rasanya berbeda sekali dengan politik balas budi di zaman pemerintahan RI sekarang.

Malah, bila di zaman penjajahan kolonial Belanda, politik balas budi dikenal dengan  istilah politik etis karena ditujukan untuk kaum pribumi. Namun, di zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), politik balas budi tak justru tak etis. Sebab, hanya ditujukkan untuk para kolega dan pendukungnya. Hanya bagi-bagi kursi jabatan untuk kelompok pendukungnya dengan gratis, pun menggaji mereka dengan uang rakyat pula.

Terbaru, politik balas budi rezim sekarang pun, tak malu-malu membagi kursi jabatan gratis kepada pendukung Presiden. Berbagai pihak, rakyat, hingga media massa pun akhirnya mengungkit kembali siapa saja deretan pendukung Jokowi yang telah tuntas dibayar balas budinya dengan dikasih kursi jabatan gratis, tanpa tes, mendapat gaji besar dari uang rakyat, dipertanyakan kompetensi dan kemampuannya di bidang yang dibagi gratis.

Karenanya, meski dibela dan dicari-cari alasannya oleh Kantor Staf Presiden (KSP) atau para pendukung Jokowi lainnya, penunjukkan musisi menjadi Komosaris PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) diyakini oleh berbagai pihak tidak akan meningkatkan kinerja bisnis perseroan.

Tak bisa dipungkiri dan memang tak bisa mengelak juga para pendukung Jokowi hingga KSP, bahwa pemilihan musisi sebagai komisaris hanya sebagai politik balas jasa karena telah melakukan dukungan politik, dan bukan politik yang etis.

Selain itu, masyarakat pun sudah tak ambil pusing lagi bila yang diberikan kursi jabatan balas budi, apakah memiliki jam terbang, tak berpengalaman di bidangnya,
tidak sesuai kebutuhan, dan lainnya.

Kisah politik etis, balas budi

Kembali ke masalah politik etis atau politik balas budi. Masyarakat mungkin masih banyak yang belum tahu atau malah belum pernah membaca. Ada lho, politik balas budi yang disebut politik etis.

Politik ini digaungkan oleh pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi yang dijajahnya. Sejatinya, pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C. van Deventer (politikus) dan membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.

Karenanya, pada 17 September 1900, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda.

Lalu, Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang juga sudah akrab di telinga pribumi dan bangsa Indonesia, yaitu tentang irigasi, transmigrasi, edukasi.

Untuk irigasi atau pengairan, mereka membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian. Meski sebenarnya juga untuk kepentingan Belanda sendiri.

Berikutnya,  melakukan penyebaran penduduk, transmigrasi  penduduk dari satu tempat ketempat lainnya. Serta memperluas bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi), tapi juga hanya untuk kelompok tertentu.

Apa bedanya politik etis atau balas budi di zaman kolonial Belanda dan zaman pemerintahan Jokowi? Meski di zaman kolonial tetap merupakan siasat Belanda, namun mereka melakukan politik etis, balas budi kepada rakyat pribumi.

Beda dengan rezim sekarang. Melakukan balas budi bukan kepada rakyat. Tetapi kepada para pendukung dan relawan Jokowi. Mirisnya, mereka lakukan sesuka hati. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun diam seribu bahasa, dan rakyat hanya bisa jadi penonton. Uang negara pun hanya dibagi-bagi untuk pendukung dan relawan Jokowi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler