x

Tukang nyinyir

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 2 Juli 2021 06:10 WIB

Mengapa Tukang Nyinyir Dibiarkan Nyinyir Semakin Masif?

Wahai stakeholder yang berkepentingan di negeri ini, apakah penyinyir di medsos yang sudah dikenal dan diidentifikasi masyarakat dan media massa, akan terus dibiarkan menjalankan aksi nyinyirnya di Republik ini yang semakin masif, hingga meneladani seluruh lapisan masyarakat untuk terbudaya menjadi penyinyir juga? 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekolah dan kuliah, dan jejak ilmiah lainnya.

Karenanya, para akademisi, para ahli, para praktisi, para pengamat, dalam berdebat, memberi kritik, saran, dan masukan sesuai bidangnya masing-masing baik dalam diskusi atau tulisan artikelnya, tentu akan ada jejak struktur latar belakangnya, identifikasi masalahnya, tujuannya,  sasarannya, solusi dan masukan alternatif pemecahan masalahnya, hingga kesimpulannya. Tidak asal njeplak.

Nyinyir jadi teladan sangat negatif

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak hadirnya media sosial (medsos) dan zaman digital, kini masyarakat bangsa ini benar-benar tak terkendali dalam berperilaku di medsos, khususnya dalam hal berdebat, memberi kritik, masukan, dan saran dalam semua hal.

Jangankan masyarakat yang belum mengenyam bangku pendidikan, masyarakat yang sudah terdidik saja mengabaikan tata krama berdebat, memberi kritik, saran, dan masukan sesuai teori keilmuan yang benar. 

Sudah begitu, medsos bernama Twitter juga malah menjadi media yang seolah hanya untuk nyinyir bagi masyarakat di negeri ini. Sebab, setiap warganet mengepos Tweet, satu tweet maksimal 280 karakter. Jelas tak cukup untuk membikin warganet lain menginterpretasi secara benar Tweet yang dimaksud. Kondisi Tweet yang terbatas hanya 280 karakter ini pun justru dijadikan peluang bagi pihak yang berkepentingan, memanfaatkan Twitter untuk memancing dan menggoreng isu, karena informasinya  seolah jadi sepotong-potong.

Maka, jadilah medsos ini, khususnya meneladani masyarakat yang belum terdidik di semua kelompok umur untuk menjadi terampil nyinyir, cerewet tanpa memperhatikan teori ilmiah dan tata krama berkomunikasi dalam dunia maya. Sementara masyarakat yang sudah terdidik, memanfaatkan medsos untuk nyinyir sebagai pekerjaan dan dapat bayaran.

Di Republik ini, kini setiap saat ada beberapa warganet yang nyinyir di medsos terutama di Tiwtter dan bangga  ketika nyinyirannya lantas diretweet, dikutip tweet, dan disuka oleh followers. Lalu, di kutip oleh berbagai media massa untuk dijadikan bahan gorengan berita.

Tak masuk akalnya, warganet dan media massa ini masih dibiarkan terus nyinyir dan menayangkan berita. Nampak mereka memang sengaja diberikan ruang oleh medsos bersangkutan dan media massanya juga sengaja dibebaskan, padahal dari setiap twitt dan pemberitaannya benar-benar hanya nyinyir, terus memancing kisruh dan mengancam perpecahan anak bangsa.

Malah warganet ini, mungkin menyadari bahwa dirinya sudah menjadi social justice warrior, atau lebih populer disebut SJW, yaitu pejuang keadilan sosial yang merujuk kepada seseorang yang aktif memperjuangkan keadilan sosial di Twitter, meski kondisinya terbalik dan hanya menjadi sumber masalah bagi masyarakat.

Tapi, tanpa malu, malah bangga menjadi selebtwit, selebriti Twitter, karena memiliki banyak followers yang satu gerbong dan terkenal bak selebriti di jagat Twitter. Dan, bisa jadi, mereka adalah buzzer, yaitu lonceng atau alarm. Namun arti buzzer di Twitter adalah akun-akun yang dibayar untuk membahas dan meramaikan topik tertentu.

Tahukah Mas Nadiem, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kita, bahwa pelajaran nyinyir dari selebtwit yang merasa SJW ini, justru mengalahkan pendidikan di Indonesia yang terus terpuruk? Malah nyinyirnya Selebtwit yang merasa SJW ini mengalahkan kasus pandemi corona, hingga di Indonesia, nyinyir itu berpandemi juga?

Sampai kapan selebtwit yang kemungkinan buzzer ini terus beraksi dan nyinyir. Malah, berupaya menggoreng kritik dengan isu dan mengkaitkan dengan peristiwa lain agar seolah satu gerbong.

Yang pasti pandemi buzzer yang selebtwit ini, terus nyinyir dan tak mau melihat obyektivitas dan kenyataan masalah dan begitu yakin dengan dirinya sendiri tapi sepertinya tak pernah mengukur diri dan tak takut karena ada yang membiayai dan membekingi. Meski nyinyirnya terus membikin resah seantero negeri.

Sampai kapan masyarakat bangsa ini akan terhindar dan tak akan menemui seseorang yang senang menyalahkan orang lain atau mengomentari hal negatif tentang orang lain alias nyinyir ini. Apakah sampai menunggu si tukang nyinyir meninggalkan dunia ini?

Sebab dan dampak nyinyir

Wahai orang-orang yang memiliki tabiat nyinyir atau mencari uang dari pekerjaan nyinyir, apakah Anda-Anda sadar, kebiasaan nyinyir itu bisa berdampak buruk pada kesehatan. 

Dikutip dari concordia.ca, para peneliti dari Universitas Concordia telah meneliti hubungan kebiasaan menyalahkan orang lain atau nyinyir dengan kondisi kesehatan.

Adalah Carsten Wrosch, seorang profesor di Departemen Psikologi Universitas Concordia, yang pada akhirnya menemukan kebiasaan nyinyir memberikan dampak buruk pada kesehatan diri sendiri.

Nyinyir kepada orang lain, menandakan adanya gangguan fisiologis yang memengaruhi metabolisme, respons imun, dan fungsi organ.

Hal ini juga diperkuat oleh Michael Linden, kepala klinik psikiatrik di Free University of Berlin yang menyatakan bahwa kebiasaan menyalahkan orang lain atau nyinyir bisa menyebabkan penyakit mental.

Lebih lanjut, Linden menyebut, kebiasaan buruk ini berawal dari kepahitan di masa lalu yang menyebabkan gangguan medis, tepatnya gangguan Post-traumatic Embitterment Disorder (PTED).Orang dengan gangguan PTED, mampu memiliki kontrol diri atau pandangan positif pada dirinya sendiri karena kebiasaannya nyinyir atau menyalahkan orang lain.

Karenanya, nyinyir atau menyalahkan orang lain adalah caranya untuk melindungi harga diri dan traumanya akan kepahitan di masa lalu.
Padahal kebiasaan nyinyir yang menimbulkan pertengkaran dan memancing emosi di lingkungan sekitar orang bersangkutan ini justru memberikan dampak buruk pada kesehatan fisik jika terus-menerus dibiarkan terjadi.

Pertanyaannya, apakah para tukang nyinyir di Indonesia ini, dulunya mengidap PTED? Sementara, bila dilihat dari bentuk dan isi nyinyirnya, bila diklasifikasi, bisa saja ada golongan penyinyir pemula, penyinyir amatir, dan penyinyir profesional.

Khusus untuk penyinyir kategori profesional, rasanya mustahil pernah mengidap PTED, karena dengan nyinyir, dia kini berstatus penyinyir dan dapat uang.

Jadi, bila selama ini sudah ada pekerjaan penyair, di Indonesia kini sah ada pekerjaan penyinyir. Bedanya, seorang penyair butuh proses dan waktu terdidik dan bersama karya-karyanya yang fenomenal dan monumental untuk mendapat julukan atau gelar penyair. 

Tapi untuk menjadi penyinyir hanya dibutuhkan karya-karya yang terus menyalahkan orang lain, yang diretweet, yang dikutip tweet, dan yang disuka oleh followers dan dijadikan bahan berita oleh media massa yang sepertinya kelompok buzzer juga.

Hati-hati, bila kita sudah ikutan nyinyir, jangan-jangan pernah mengidap PTED, karena kehidupan masa lalu yang pahit dan membikin trauma, lalu nyinyir dan suka menyalahkan orang lain. Tapi, nyinyirnya itu, natural, alami? Atau ada skenario dan sandiwara? Hati-hati!

Wahai stakeholder yang berkepentingan di negeri ini, apakah penyinyir di medsos yang sudah dikenal dan diidentifikasi masyarakat dan media massa, akan terus dibiarkan menjalankan aksi nyinyirnya di Republik ini yang semakin masif, hingga meneladani seluruh lapisan masyarakat untuk terbudaya menjadi penyinyir juga? 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler