x

Narsis

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 24 Juli 2021 19:15 WIB

Menulis untuk Kepentingan Umat atau Kepentingan Diri, Ini Loh Kisahnya!

Pada akhirnya, saya selalu mengingatkan diri saya sendiri, bahwa menulis artikel bagi saya bukan untuk narsis, pamer, promosi diri, mengagungkan diri, menyombongkan diri, sok tahu , sok pintar, apalagi menggurui karena saya menulis untuk sekadar berbagi. Menulis untuk kemaslahatan umat. Jadi, menulis jangan narsis, hanya peduli yang berlebihan pada diri sendiri, sikap arogan, percaya diri, dan egois.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hadirnya media online yang bukan lagi menjamur, maka signifikan membuka kesempatan bagi siapa saja dapat menulis di media online yang dipilih. Karenanya, kini baru belajar menulis saja sudah bisa bersanding dengan para penulis hebat dan ternama. 

Oleh karena itu, pemerintah wajib bersyukur atas kondisi ini. Pasalnya, mustahil sesorang bisa menulis, sebelum melakukan keterampilan berbahasa yang lain, yaitu mendengar dan membaca dalam tanda kutip, yaitu menyimak, memahami, menyimpulkan, menganalisis dll.

Atas kondisi tersebut, saya ingin menyoroti dan berbagi sedikit pengalaman tentang hal menulis ini.

Foto-gambar ilustrasi artikel

Tatkala pendidikan terus terpuruk, masih ingat, sejak awal menulis di media cetak puluhan tahun yang lalu, redaksi tak pernah meminta foto profil diri saya untuk turut serta ditampilkan sebagai foto profil di artikel. Seiring perkembangan zaman, beberapa tahun berikutnya, syarat dan ketentuan menulis artikel di media cetak, ternyata wajib menyertakan foto profil diri penulis.

Saat itu saya memahami, ada beberapa tujuan dari media cetak secara jurnalistik, mengapa penulis artikel wajib melampirkan foto profilnya. Saat itu, sebenarnya saya sudah berpikir, mengapa artikel yang saya tulis, ilustrasinya bukan foto atau gambar yang sesuai dengan isi artikel, agar lebih melengkapi?

Namun, pemikiran saya ternyata bergayung sambut. Bahkan sebelum media massa online hadir. Saat itu sudah mulai ada media cetak yang juga terbit secara online.

Di media cetak ini, saya tetap mengirimkan artikel dengan lampiran foto profil saya. Begitu, artikel ditayangkan, di versi cetaknya, tetap foto profil saya yang mejeng. Tetapi begitu melihat artikel di tayangan versi onlinenya, di bawah judul artikel, redaksi telah menambahkan foto ilustrasi yang sesuai dengan isi artikel yang saya tulis, lengkap disebutkan dari mana sumber foto ilustrasi tersebut.

Begitu saya baca artikel sampai kata terakhir, barulah saya temukan foto profil saya di pajang di samping data diri saya, nama dan keterangan.

Saat saya membaca keterangan saya sebagai penulis, ternyata redaksi sudah menempelkan kata-kata Pengamat di bawah nama saya yang sebelumnya rutin tertulis Pemerhati dan Praktisi, sesuai tulisan asli artikel yang saya kirim beberapa tahun.

Dengan demikian, tanpa perlu bertanya, saya memahami bahwa, foto atau gambar ilustrasi sebuah artikel, memang lebih baik atau seharusnya foto atau gambar yang sesuai konten artikel. Sedangkan foto profil penulis, bisa dicantumkan di akhir artikel atau tidak perlu ditampilkan, karena pembaca tentu akan lebih fokus pada foto atau gambar ilustrasi aktual terkait konten artikel, ketimbang memajang foto profil penulisnya.

Terlebih, bila penulis sudah menjadi langganan yang artikelnya tayang di media massa tersebut, pembaca setia juga sudah tahu siapa diri kita.

Tentang predikat pengamat

Pelajaran lainnya, mendapatkan predikat sebagai pengamat, ternyata butuh waktu lebih panjang di banding mendapatkan gelar sarjana dari bangku kuliah. Prediksi atau gelar pengamat, tidak asal nempel dan asal tulis semau diri penulis dan untuk gaya-gayaan. Menjadi pengamat di media massa, ujiannyanya adalah artikel yang kita tulis secara konsisten, kontinue, dan berkesinambungan serta kualitas artikel itu sendiri.

Seiring perkembangan zaman, semakin menjamurnya media online dan media sosial, kini siapa pun yang menulis artikel memiliki kebebasan mencantumkan foto atau gambar ilustrasi artikelnya, meski beberapa media online juga tetap ada yang menyaring. Bisa menayangkan atau mengganti foto atau gambar ilustrasi artikel yang lebih pas dan aktual.

Sebab, bila foto atau gambar ilustrasi tidak konteks dengan konten artikel, tentu tidak akan menarik minat pembaca. Apalagi bila konten artikelnya apa, tapi yang terus mejeng foto profil pribadi penulisnya yang tidak pernah jengah.

Minta saran dan nasihat

Tidak ada susahnya bagi penulis menawarkan langsung foto atau gambar ilustrasi artikel saat artikel dikirim, redaksi pasti bijak. Namun, diri kita sendiri sebagai penulis, yang juga wajib mempertimbangkan dulu, apakah foto atau gambar ilustrasi artikelnya pas dan sesuai atau tidak.

Terlebih bila kita di rumah ada keluarga atau ada teman dan sahabat serta pembaca setia yang mengikuti artikel kita, coba minta pandangan mereka, meski sekadar bertanya menyoal foto atau gambar ilustrasi artikel, pasti minimal akan ada yang memberi saran, nasihat, dan kritik.

Bahkan, selama ini, sebelum saya mengirimkan artikel ke media, saya selalu meminta saran bukan hanya foto atau gambar ilustrasinya, tetapi juga termasuk isi kontennya.

Khusus untuk foto atau gambar ilustrasi artikel yang harus konteks, juga tetap wajib diperhatikan, bila diambil dari dokumentasi pribadi, foto atau gambar ilustrasi wajib merupakan milik sendiri atau dokumentasi pribadi, maka kita bebas menggunakannya karena itu adalah karya kita sendiri.

Bila bukan dokumen sendiri, maka wajib izin atau cantumkan sumbernya. Atau bisa juga menggunakan dokumen dari lenyedia gambar gratis yang diberi keterangan bahwa pencipta telah menyatakan bahwa foto, gambar, dan ilustrasi yang dimilikinya boleh dipergunakan untuk ketentuan yang wajar dan penggunaan non-komersil (tidak diperjualbelikan.

Pada akhirnya, saya selalu mengingatkan diri saya sendiri, bahwa menulis artikel bagi saya bukan untuk narsis, pamer, promosi diri, mengagungkan diri, menyombongkan diri, sok tahu , sok pintar, apalagi menggurui karena saya menulis untuk sekadar berbagi. Menulis untuk kemaslahatan umat.

Jadi, menulis jangan narsis, hanya peduli yang berlebihan pada diri sendiri, sikap arogan, percaya diri, dan egois.


Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler