x

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 12 Agustus 2021 09:08 WIB

Andaikan Jadi, Kita Bisa Nonton Peragaan Busana Wah di DPRD Tangerang

Penganggaran belanja pakaian baru itu mencerminkan rendahnya rasa empati para Dewan terhadap rakyat dan menimbulkan ketimpangan karena tidak adil. Rakyat yang memilih para Dewan agar mereka dapat memikirkan perbaikan nasib rakyat, bukan dipilih untuk memperbaiki nasib diri sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Perkara menarik perhatian publik, politisi memang jagonya. Ada yang memasang puluhan baliho dengan potret wajah memenuhi seluruh kanvasnya. Mungkin terkesan narsistik, tapi politisi mungkin berpikir bahwa pemasangan baliho itu harus dilakukan untuk mengerek popularitas. Soal nanti dipilih rakyat atau tidak, urusan belakangan. Yang penting populer dulu. Kalaupun ternyata tidak populer juga, setidaknya sudah berusaha.

Nah, para politisi yang duduk di DPRD punya cara beda untuk menyedot perhatian masyarakat, yaitu memesan baju baru dengan bahan dari merek terkenal. Jika bahannya mahal (kabar media: merek yang mau diajak antara lain Louis Vuitton), tukang jahitnya pun mesti pilihan; sebab, jika salah motong atau jahitnya gak benar, bahan kain semahal apapun akan jadi pakaian rusak jadinya. Gak pantas dipakai anggota dan pimpinan DPRD yang terhormat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Baju baru itu memang bukan untuk menyambut Lebaran, sebab Lebaran masih lama, tapi untuk pakaian dinas para Dewan. Dengan baju yang dianggarkan Rp 675 juta—betul loh angkanya, tidak salah ketik, dan sampeyan tidak salah baca, maka terbayang sudah betapa para Dewan itu akan nyaman tatkala duduk di ruang kerja atau mengikuti sidang-sidang. Mereka juga akan merasa lebih percaya diri saat bertamu atau menerima tamu para pembesar negeri sendiri maupun mancanegara. Mereka juga tidak akan tertidur di kursi sidang, sebab takut kemeja atau gaunnya yang mahal jadi kussyuut.

Anggaran itu melompat lebih dari dua kali lipat dibanding anggaran untuk pos serupa pada tahun lalu, yang besarnya Rp 312 juta. Anggaran tahun ini, Rp 675 juta, akan dipakai untuk lima jenis pakaian dan atribut para Dewan. Jumlah anggota Dewan ini sebanyak 50 orang, sehingga setiap anggota Dewan kebagian anggaran Rp 13,5 juta untuk penyediaan bahan saja, belum termasuk ongkos jahit.

Apakah karena bisa menyusun anggaran sendiri, lantas anggota DPRD merasa berhak untuk menganggarkan sebanyak itu untuk pakaian dinasnya sendiri? Apakah mereka lupa bahwa semua itu uang negara, yang berarti harus digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memanjakan diri sendiri? Apalagi jika pakaian mewah itu kemudian tidak berkontribusi dalam mendongkrak kinerja para Dewan.

Luar biasa prestasi para anggota dan pimpinan DPRD ini dalam memanjakan diri sendiri. Di saat banyak rakyat kesulitan melanjutkan hidup dan harus ditopang dengan uang negara lewat bantuan sosial—itu pun masih disunat oleh pejabat, para Dewan ini asyik masyuk mau membelanjakan uang negara untuk mempermak penampilan.

Sangat terkesan bahwa para Dewan ini tidak peduli dengan keadaan rakyat di sekitarnya. Mereka hendak memanjakan diri secara legal, sebab mereka bisa mengatur anggaran sendiri. Mau beli pakaian murah boleh, tapi kalau boleh juga beli yang mahal dengan merek terkenal seantero jagat, mengapa tidak memilih yang mahal dan mewah?

Legalitas untuk membuat anggaran itu patut dipertanyakan manakala dipakai untuk memanjakan diri sendiri, bukan untuk menolong rakyat agar mampu melanjutkan hidup dan bahkan mampu bangkit dari keterpurukan. Lagi pula, legalitas itu hanyalah salah satu aspek dari penyusunan anggaran. Masih ada aspek lain yang patut dan mesti diperhatikan oleh para Dewan, yaitu etika sosial. Etis ataukah tidak DPRD menyediakan anggaran untuk membeli pakaian dengan uang sebanyak itu?

Itu pemborosan uang negara, sebab uang tersebut akan lebih bermanfaat digunakan untuk kebutuhan lain yang mampu membangkitkan ekonomi warga masyarakat, juga memperbaiki pendidikan dan layanan kesehatan; membantu yang fakir dan miskin, menyediakan lapangan pekerjaan bagi yang menganggur; membantu anak-anak yang mendadak yatim dan piatu maupun isteri yang tiba-tiba jadi single parent.

Penganggaran belanja pakaian baru itu mencerminkan rendahnya rasa empati para Dewan terhadap rakyat dan menimbulkan ketimpangan karena tidak adil. Rakyat yang memilih para Dewan agar mereka dapat memikirkan perbaikan nasib rakyat, bukan dipilih untuk memperbaiki nasib diri sendiri. Mereka tidak memiliki kedekatan dengan kehidupan rakyat banyak serta sibuk dengan komunitasnya sendiri, karena itu tidak tahu betapa rakyat tengah berjuang melanjutkan hidup yang layak.

Bahkan ada pimpinan Dewan, seperti dikutip media, yang mengatakan tidak apa-apa bila rencana membeli pakaian dinas baru nan mewah itu dibatalkan, sebab masih bisa memakai baju batik, kata blio ini, walaupun sudah kesempitan. Seharusnya anggota Dewan ini menyadari benar bahwa saat ini banyak rakyat yang sedang berjuang agar celananya tidak melorot karena jauh lebih longgar.

Andaikan pakaian dinas dengan bahan kelas dunia itu jadi diwujudkan, rakyat bisa menonton setiap hari para Dewan melenggak-lenggok memasuki ruang kerja mereka atau memasuki ruang sidang. Bila semua anggota Dewan memakai pakaian ini, rakyat bagaikan disuguhi peragaan busana setiap hari; siapapun tidak usah jauh-jauh datang ke Paris, cukup ke  Gedung DPRD Kota Tangerang. Kabarnya sih rencana pengadaan pakaian baru ini dibatalkan setelah ada kritik dari masyarakat karena keburu ketahuan; sayangnya, rencana dibatalkan bukan atas kesadaran sendiri. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler