x

Baliho

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 16 Agustus 2021 10:46 WIB

Bila Baliho tidak Ngefek, Masih Ada TV, Youtube, Instagram, Twitter, Dst

Andaikan follower medsos politisi bisa mencapai jutaan, wah popularitas niscaya akan terdongkrak drastis, apa lagi jika sebagian follower itu sekaligus influencer yang follower-nya pemilih potensial di 2024 nanti. Bahkan, karena ada iklan komersial di kanal youtube-nya, politisi bisa mendapat income tambahan yang dijamin lebih halal ketimbang korupsi dan suap.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Baliho sebenarnya media konvensional untuk beriklan, namun politisi masih gemar memasang baliho di mana-mana. Besar-besar pula ukurannya, sehingga dari jarak yang cukup jauh baliho itu sudah terlihat. Bagi pengusah baliho, antuasiasme politisi untuk mempromosikan diri memang menggembirakan, sebab di tengah belitan pandemi ini boleh jadi pendapatan pencetak baliho menurun. Bagi pemerintah kota dan kabupaten pun, pemasangan baliho ini mudah-mudahan juga menambah pemasukan.

Mengapa para politisi tidak memakai medsos, misalnya? Bukankah sekarang era medsos? Barangkali mereka berasumsi bahwa tidak semua warga masyarakat terbiasa atau familiar dengan media sosial. Boleh dibilang, mereka warga konvensional jika dilihat dari sudut pandang pemakaian teknologi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nah, untuk meraih perhatian warga konvensional ini, baliho dianggap lebih ampuh. Warga yang tidak membawa hape dan tidak punya akun medsos, akan bisa menatap wajah-wajah sumringah, bersahabat, dan ramah yang terpampang di baliho-baliho itu. Dengan ukuran baliho yang besar-besar itu, wajah-wajah politisi terlihat luar biasa. Harapannya, warga masyarakat akan lebih mengenal wajah mereka—siapa tahu suatu ketika ketemu di mal, warga bisa menyapa: “Hai, mbak. Hai, mas. Mudah-mudahan terpilih ya...” Pokoknya terkesan sudah kenal akrab.

Memang sih, seperti halnya promosi motor, perlu dievaluasi efektivitas pemasangan baliho, apakah popularitas naik atau tidak; kalau naik, berapa persen; apakah popularitas sudah menyaingi popularitas Messi, eh politisi yang tidak pasang baliho? Bila iya, alhamdulillah. Bila tidak, kenapa?

Bila ternyata kenaikan popularitas bak kura-kura merangkak di tembok, ya perlu dipikirkan media publik lain yang diasumsikan dapat mendongkrak popularitas. Popularitas saja loh, bukan elektabilitas sebab hubungan kedua variabel ini tidak bersifat linier alias serta merta.

Masih banyak media yang lebih mutakhir dan kekinian dibanding baliho, spanduk, atau poster yang lazim ditempel di pintu-pintu toko tanpa seizin pemiliknya. Media televisi maupun radio, meskipun tergolong konvensional, masih ada pemirsa dan pendengarnya. Slot-slot iklan dan promosi media ini pasti masih terbuka untuk menerima iklan baru. Jadi, pasang saja iklan beberapa detik di acara paling banyak ditonton dan didengarkan. Kalau jadi pasang, ya disertai doa agar pemirsa teve serta pendengar radio tidak pindah saluran saat iklan ditayangkan.

Media sosial juga harus dimanfaatkan politisi, tak perlu malu bila pernah mengritik politisi lain kok mainnya medsos mulu. Efek medsos lebih dahsyat dibanding baliho yang bersifat lokal alias setempat. Efek medsos bila langsung seluruh negeri ini, bahkan sedunia—para diaspora Indonesia bisa mengaksesnya. Jika materi promosinya bagus, niscaya cepat viral—begitu juga sebaliknya, maaf. Viralitas konten menjadi unsur pokok yang mampu mendongkrak popularitas pemilik akunnya. Penasihat politisi mestinya sudah mahfum soal ini.

Maka itu, politisi juga harus belajar bagaimana menulis cuitan yang memancing perhatian netizen pengguna Twitter dan bagaimana memilih dan menyusun kata-kata yang layak di-quote oleh follower. Bisa juga belajar dari youtuber bagaimana membuat konten yang bisa cepat meraih jutaan viewer dan subscriber-nya. Jika baliho butuh bermeter-meter kain, instagram mah bisa gratis. Di instagram, politisi bisa pasang foto baru setiap menit sekali, lalu kata-kata pujian [pada diri sendiri], slogan-slogan pembangkit semangat dan pemersatu bangsa. Kenapa gak pakai instagram?

Bayangkan, andaikan follower medsos politisi bisa mencapai jutaan dan tersebar di berbagai medsos, wah popularitas niscaya akan terdongkrak drastis. Dan ini benar-benar menjanjikan terutama jika sebagian follower itu sekaligus influencer yang follower-nya pemilih potensial di 2024 nanti. Bahkan, karena ada iklan komersial yang ikut promosi di kanal youtube-nya, politisi bisa mendapat pula income tambahan yang dijamin lebih halal ketimbang korupsi dan suap.

Bagaimana jika karena sibuk urusan politik dan negara bangsa, politisi gak sempat ngurus sendiri medsos yang beraneka ragam itu? Ya tinggal sewa tim yang piawai bermain medsos. Tinggal bayar secukupnya. Bahkan, mungkin banyak juga yang mau jadi relawan alias tidak perlu digaji karena berharap masa depan lebih baik bila diangkat jadi komisaris.

Bagaimana jika, katakanlah, popularitas naik drastis, tapi tidak terpilih? Namanya juga sudah berikthiar, Tuhan yang menentukan. Syukuri apa adanya. Lagi pula, nah ini yang barangkali menarik bagi politisi mengapa harus menggunakan media sosial. Sebab, jika ternyata tidak terpilih di 2024 nanti, politisi bisa beralih profesi menjadi selebritas medsos. Lumayan, sudah punya bekal jutaan follower dan suscriber dan viewer dan liker...>>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler