x

Iklan

Qonita Hana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 September 2021

Selasa, 7 September 2021 07:07 WIB

Optimisme Kejar Tayang Bauran Energi Baru Terbarukan


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Komitmen Indonesia pada Paris Agreement di 2015 dinilai banyak pihak sebagai omong kosong belaka. Sebabnya, pemerintah dinilai tak all out dalam mengupayakan tujuan utama dari komitmen tersebut yaitu penurunan kadar emisi. Turunan aturan dan arah kebijakan energi nasional memang sudah mengarah kepada upaya penurunan emisi. Dalam waktu dekat misalnya, pemerintah menargetkan 23% target bauran energi berasal dari energi terbarukan. Akan tetapi, aktualisasi target tersebut dinilai kejar tayang, sebab pemerintah dirasa baru melakukan ekspansi masif pada bidang energi terbarukan menjelang deadline target bauran energi pada 2023.

Upaya pemerintah dinilai masih abu-abu dan tidak serius menangani pengembangan industri energi terbarukan. Padahal sektor energi merupakan sektor nomor dua terbesar yang ditargetkan cukup tinggi dalam menurunkan emisi, yaitu sebesar 11 persen. Sementara sektor utama berasal dari kehutanan dengan target penurunan emisi sebesar 17,2 persen.

Tersisa 2 tahun sebelum target bauran energi jatuh tempo pada tahun 2023. Sementara, terakhir capaian bauran energi masih menyentuh angka 11%. Jadi tak heran jika masyarakat melihat upaya keras pemerintah akhir-akhir ini sebagai aksi kejar tayang untuk mencapai gap target bauran energi sebesar 12% dalam 2 tahun. Banyak pihak pesimis terhadap kemampuan pemerintah dalam mengejar ketertinggalan pemenuhan target energi terbarukan. Kepesimisan tersebut tentu sangat berdasar melihat dari kondisi pemanfaatan energi terbarukan sekarang. Hal ini harus menjadi catatan besar bagi upaya pemerintah ke depannya dalam menyukseskan konversi energi di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kegagalan mencapai target bauran untuk energi terbarukan memang akan membuat komitmen Indonesia dalam mendukung upaya perlambatan climate change dipertanyakan. Namun, bukan berarti upaya yang sudah dilakukan menjadi sia-sia sehingga harus dihentikan. Target selanjutnya dalam bidang energi terbarukan berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yaitu pengembangan tenaga surya sebesar 6,5 GW sampai tahun 2025.

Sebenarnya sangat mungkin bagi Indonesia untuk memenuhi target-targer tersebut. Indonesia, bahkan termasuk ke dalam negara dengan potensi energi terbarukan yang sangat besar. Saat ini potensi energi terbarukan terbesar di Indonesia dipegang oleh tenaga surya. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, hingga 2020 jumlah cadangan tenaga surya di Indonesia sebesar 112.000 GW.

Potensi yang sangat menjanjikan ini, pada kenyataannya belum dapat termanfaatkan dengan baik. Tingkat aktualisasi penerapan tenaga surya di Indonesia masih sangat kecil jika dibandingkan dengan negara negara tetangga. Tingkat instalasi terpasang setiap tahunnya juga tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data terakhir, jumlah pengguna yang menggunakan tenaga surya baru mencapai 4000 pengguna dari total puluhan juta masyarakat Indonesia.

Rendahnya realisasi masyarakat dalam penggunaan tenaga surya menurut Ketua Dewan Pembina Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Andhika Prastawa, disebabkan beberapa hambatan antara lain pada perbaikan nilai tukar ekspor impor, dan kepastian serta efisiensi perizinan. Sepinya investasi pada energi terbarukan juga menghambat perkembangan sektor tenaga surya. Terakhir, kompetisi harga modul solar panel buatan domestik dan impor juga sangat berpengaruh. Modul solar panel produksi domestik mempunyai selisih 40% lebih mahal dibandingkan modul impor. Hal yang menyebabkan modul impor dapat jauh lebih murah adalah karena industri panel surya luar negeri sudah terintegrasi menyeluruh dari hulu ke hilir.

Contohnya, China. Negeri tirai bambu tersebut saat ini sangat mendominasi sektor tenaga surya. Mereka menguasai hampir seluruh pasar tenaga surya dari hulu ke hilir. Pada 2018, dari total instalasi solar panel sebesar 280 GW, 175 GW berasal dari China. Hal ini tak lepas dari peran pemerintah China dalam mendukung industri energi terbarukan. Pada 2017, Presiden Xi Jianping menggelontorkan dana hingga 360 miliar dollar AS untuk proyek energi terbarukan termasuk energi surya, angin, nuklir, dan air. Sektor energi surya di China bukan tanpa hambatan. Akan tetapi koordinasi dan kekompakan antara pemerintah, industri, investor dan pihak pihak lain telah membuat penggunaan tenaga surya di China berkembang dengan pesat.

Belajar dari apa yang terjadi di China, menurut saya, dukungan penuh dari pemerintah memerankan bagian penting dalam kelangsungan energi tenaga surya. Dukungan pemerintah tersebut dapat berupa pembangunan infrastruktur dan penerbitan kebijakan untuk mendukung pertumbuhan industri di sektor tenaga surya secara maksimal. Penerbitan regulasi yang berpihak kepada energi terbarukan juga akan menciptakan iklim investasi yang menarik investor. Dampaknya, jika iklim investasi sudah terbentuk, ketersediaan bantuan keuangan akan meringankan investasi awal yang dikeluarkan oleh pemain industri.

Saat ini kebijakan mengenai tenaga surya sedang diajukan untuk meningkatkan nilai tukar ekspor impor dari 0,65 menjadi 1:1. Harapannya, perubahan aturan tersebut dapat menciptakan pasar pengguna tenaga surya yang lebih besar dan berpihak ke pengguna tenaga surya dari sektor rumah tangga. 

Ikuti tulisan menarik Qonita Hana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler