x

Iklan

Jihan Nada Aulia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Oktober 2021

Senin, 1 November 2021 07:10 WIB

Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu? Mengenang Perdebatan Para Pendahulu

Mohammad Tabrani Soerjowitjirto adalah intelektual muda yang mempunyai gagasan hingga mengusulkan nama bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ia harus berdebat dengan Mohamad Yamin yang mengusulkan nama Bahasa Melajoe sebagai bahasa persatuan. Tabrani pernah menulis: Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu!.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

       Nusa bangsa dan bahasa

       Kita bela bersama

       Satu nusa satu bangsa

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Satu bahasa kita

     Itulah penggalan lirik lagu wajib nasional ciptaan Liberty Manik yang tidak terlepas dari ikrar Sumpah Pemuda yaitu satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa Indonesia, serta tekad membela nusa, bangsa dan bahasa. Meskipun berbeda-beda budaya, tetapi seluruh rakyat Indonesia tetap satu nusa satu bangsa. Begitu juga dengan bahasa, berbagai bahasa tersebar dari Sabang hingga Merauke. Namun, keberagaman bahasa daerah itulah yang mendorong kita untuk membutuhkan satu bahasa sebagai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.

     Budaya dan bahasa memang dua sisi mata uang yang berbeda. Namun, bahasa dapat dikatakan sebagai cerminan budaya. Sebab, bahasa adalah identitas diri dari penuturnya dalam mengujarkan kata dan sejarah yang melekat di dalamnya. Jika bahasa dikaitkan dengan intelektual muda seolah menggugah kita kembali, bukan hanya awal terbentuknya bahasa Indonesia dalam jejak sejarah, melainkan juga kontribusi kaum muda dalam mengukuhkan bahasa dan sastra Indonesia sejak lahirnya bangsa Indonesia.

    Lantas, apakah saat ini kita sudah menaruh perhatian lebih terhadap bahasa dan sastra Indonesia dengan mengaitkan kontribusi dan posisi generasi muda dalam mengukuhkan bahasa dan sastra Indonesia? Sebaliknya, apakah kita sudah memandang kontribusi generasi muda dalam sejarah lahirnya Indonesia dengan mengaitkan peran bahasa dan sastra? Karena bagaimana pun, sejarah bahasa dan sastra Indonesia tidak terlepas dari peran penting kaum muda.

Bercermin kembali pada Sosok Mohammad Tabrani

     Sejenak menilik kembali pada waktu sebelum Indonesia merdeka terkait peran dan kedudukan bahasa dan sastra Indonesia dalam membentuk intelektual muda yang semangat dan terus berkreatif. Tentu hal ini bahasa dan sastra memegang peranan penting, demi masa depan bahasa dan sastra maupun intelektual muda itu sendiri. Maka, cita-cita akan peran bahasa dan sastra Indonesia dalam membentuk intelektual muda menjadi tantangan bagi para pakar bahasa dan sastrawan yang menuntut untuk meyakinkan intelektual muda terhadap eksistensi dan kualitas bahasa dan sastra Indonesia dalam kehidupan.

     Melalui konteks tersebut, marilah kita bercermin kembali pada sosok M. Tabrani atau Mohammad Tabrani Soerjowitjirto sebagai intelektual muda yang berani dalam melahirkan bahasa Indonesia. Ya. Sosok cemerlang itulah yang mempunyai gagasan hingga mengusulkan nama bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. M. Tabrani dapat dijadikan sebagai wadah yang baik untuk bercermin tentang keterkaitan bahasa dengan intelektual muda. Bagaimana tidak, kegigihan tokoh pemuda yang memiliki pemikiran orisinal itu berhasil mencetus bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Sehingga, gagasannya kemudian diadopsi ke dalam bait Sumpah Pemuda yang tercetus pada 1928.

M. Tabrani vs Moh. Yamin

     Sehubungan dengan butir ketiga Kongres Pemuda I: “Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe” yang diusulkan oleh Moh. Yamin tersebut mendapat dukungan dari Djamaloedin Adinegoro. Akan tetapi, sosok M. Tabrani dengan tegas menentang gagasan dari Moh. Yamin dan Adinegoro. “Jalan pemikiran saya jika tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa persatuannya harus disebut bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu.”

     Namun, hal tersebut sempat membuat Moh. Yamin naik pitam. Sosok kaum muda yang juga gemilang terhadap hubungan bahasa dan sastra dengan generasi muda menanggapi, “Tabrani menyetujui seluruh pemikiran saya, tetapi mengapa menolak konsep usul resolusi saya? Lagi pula yang ada bahasa Melayu, tidak ada bahasa Indonesia.” Sementara itu, M. Tabrani menyanggahnya. “Alasanmu, Yamin, betul dan kuat. Maklum lebih paham tentang bahasa daripada saya. Namun, saya tetap pada pendirian bahwa nama bahasa persatuan hendaknya bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia. Jika belum ada harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia pertama ini,” kata Tabrani.

     Usulan M. Tabrani ternyata disetujui sang sastrawan angkatan Pujangga Baru, Sanusi Pane. Dengan begitu, kedudukan menjadi seimbang. Yamin bersama Adinegoro dan Tabrani bersama Pane. Akhirnya, kesepakatan mengenai bahasa persatuan ditunda hingga Kongres Pemuda II. Sugondo Djojopuspito sebagai Ketua Kongres Pemuda II tidak membawa pertimbangan gagasan Yamin dan Adinegoro dalam sidang panitia. Justru, ia langsung membawakan usulan Tabrani ke dalam sidang umum dan banyak peserta yang turut menyetujui. “Saya rasa, Tabrani seorang visioner. Ketika bahasa Indonesia belum ada, seperti halnya gagasan Yamin. Kurang lebih Tabrani mengisyaratkan, ya berarti harus diciptakan.” Singkat cerita, Yamin pun berlapang dada dengan gagasan yang dicetus Tabrani.

Sang Wartawan Penggagas Bahasa Persatuan Indonesia

     Tabrani dikenal sebagai seorang wartawan asal Pamekasan Madura yang menjadi penggagas bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Berkat perjuangannya dan berselisih paham dengan peserta lainnya, bahasa Indonesia lahir dan digunakan selama 93 tahun. Seandainya, intelektual muda Madura yang satu ini tidak ngeyel atau tidak mau mengalah dalam berbicara, mungkin bahasa Indonesia tidak menjadi bahasa persatuan negara tanah air.

     “Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu!” demikian petikan tulisan M. Tabrani yang berjudul Bahasa Indonesia di koran Hindia Baroe edisi 11 Februari 1926. Gagasan tersebut lah yang melintasi wilayah, ruang, dan waktu, karena mengingat pada saat itu ia baru berusia 22 tahun. Terbukti pada berbagai karya jurnalistik dan tulisannya yang begitu heroik.

     Dengan bercermin kembali pada sosok M. Tabrani, seakan terdorong untuk melihat perjalanan sejarah bangsa kita yang gemilang terkait hubungan bahasa dan sastra dengan intelektual muda. Perjalanan yang gemilang itu membuktikan bahwa intelektual muda lah yang menjadi garda terdepan membentuk bahasa dan sastra Indonesia sejak awal kelahiran dan pembentukannya. Sayangnya, kesadaran terhadap bahasa persatuan dan identitas bangsa kurang dimaknai. Tak pelak generasi muda yang mencintai bahasa seperti M. Tabrani sangat sulit dijumpai. Lantas, apakah kita semua perlahan akan kehilangan jati diri karena penggunaan bahasa Indonesia yang semakin memudar akibat degradasi dalam berbagai bidang kebudayaan?

Ikuti tulisan menarik Jihan Nada Aulia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu