x

Iklan

Helmi Muhamad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 4 Oktober 2020

Selasa, 2 November 2021 06:51 WIB

Antara Mahabbah dan Mawaddah

Antara Mahabbah dan Mawaddah lebih utama mana?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Persamaan antara mahabbah dan mawaddah adalah bahwa keduanya berarti cinta. Tapi mawaddah lebih hebat ketimbang mahabbah.

Mengutip dari combinesia, akar kata mahabbah adalah huruf ”haa” dan ”baa”, sama dengan kata ”habbatun” yang berarti biji atau tunas juga berakar kata huruf ”haa” dan ”baa”. Itu artinya, lingkup mahabbah hanya sebatas biji atau tunas, tak pernah membesar dan mengakar layaknya pohon raksasa.

Karena itu, mahabbah dimiliki dan berlaku antara satu orang kepada sesama umat manusia. Kita saling cinta sesama bangsa Indonesia, lalu bersepakat membentuk Republik Indonesia. Jika mahabbah pudar, Indonesia bubar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jean Jacques Rousseau menyebutnya homo homini socius, Ibnu Khaldun mengistilahkannya al-insaanu madaniyyun bith-thab’iy — manusia adalah makhluk cinta yang berkumpul secara alami karena cinta.

Mawaddah punya kualitas cinta yang lebih mendalam. Karena itu lingkupnya lebih terbatas. Tak mungkin cinta mendalam dibagi-bagi kepada semua orang.

Sumber Segala Cinta kemudian membagi-bagi mawaddah ini kepada orang per orang secara ekslusif, tepatnya antara seorang suami kepada istri, atau seorang istri kepada suami.

Jika mawaddah telah tiba, ia menghunjam, mengakar, dan orang bisa gila karenanya mirip kisah Majnun dan Laila.

Dari itu, jika Anda dapati lelaki ganteng menikah dengan perempuan bermata juling, atau gadis cantik menikah dengan lelaki pincang, jangan sekali-kali Anda bertanya.

Percayalah, energi mawaddah yang misterius telah memenjara mereka dalam biduk cinta yang membius.

Karena itu, jika ada seorang lelaki menikah dengan seorang perempuan yang dasar pernikahannya adalah cinta sejati lalu ia berpoligami, alasannya tentu banyak, tapi alasan terbesar adalah hawa nafsu.

Demikian besar mawaddah Rasulullah SAW kepada Khadijah al-Kubra, sampai dua tahun Nabi yang agung itu tidak menikah lagi alias menduda. Jika menikah dengan Aisyah bukanlah perintah Allah, niscaya Muhammad hanya menyimpan Khadijah di dadanya.

Saya kerap bertanya kepada orang-orang yang berpoligami, bagaimana itu bisa mereka lewati. Mereka sama berdalih: ”Saya bilang kepada istri pertama saya, Dik tenang aja, yang penting kan abang pulang bawa botol yang utuh dan sama.”

Ketika kalimat ini saya sampaikan kepada para perempuan yang dimadu itu, mereka balik berkata: ”Bukan botol yang saya persoalkan, tapi saya tidak kuat membayangkan suami saya berbagi rayuan dan asmara kepada selain saya!”

Tuhan, terima kasih Kauciptakan mawaddah, mereka menyebutnya asmara! Aah.. Sungguh indah..!!

Ikuti tulisan menarik Helmi Muhamad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler