x

Ilustrasi: Kekerasan pada perempuan. (Kumparan.com)

Iklan

Wahid Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Rabu, 10 November 2021 06:19 WIB

Yang Terbentang di Kala Malam

Apa yang ingin kaudengar tentang malam, perempuan, dan hal-hal yang belum tuntas?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku membenci wajah Milo yang seperti ini. Kau tahu, itu seperti melihat wajah paling memelas yang pernah kautemui dan kau tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti apa yang ia inginkan. Aku tahu pasti apa yang Milo inginkan. Kendati ia hanya seekor kucing, kami merasa seperti sudah saling memahami. Milo tahu kalau aku akan meninggalkan rumah ini. Dan terlepas ia tahu atau tidak apa yang melatarbelakangi kepergianku, satu hal yang pasti, ia ingin ikut bersamaku.          

“Aku bawa Milo bersamaku.”         

Adikku, Ratih, mengangguk samar. Kami berdua sedang mengemasi barang-barang di kamar.           

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kak, kamu sangat berani,” kata Ratih tiba-tiba.          

“Semua perempuan berani di medan berjuangnya masing-masing, Sayang.”          

“Aku akan merindukanmu.”          

Kami berpelukan.           

Setelah memasukkan Milo ke kandang kecil, kami berdua keluar dengan masing-masing menenteng dua koper besar. Di ruang tamu, kulihat Papa sedang membaca buku. Kacamatanya sedikit turun dan wajahnya mengisyaratkan tidak boleh diganggu. Tapi, aku tetap mendatanginya, mencium tangannya tanpa berlama-lama, kemudian berjalan lagi. Aku tidak sempat melihat rona wajahnya saat kucium tangannya. Apakah ia tampak biasa saja? Ataukah, ia tampak tak merelakan kepergianku?

Di teras rumah, Adam, kakak pertamaku tengah sibuk dengan tanaman bonsainya. Aku ingin mengabaikannya. Menganggap Adam seperti bonsai-bonsai yang ia rawat. Diam, mematung, tapi tetap hidup. Ia kuanggap hidup hanya sebatas sesuatu yang memang demikian adanya. Terkadang, aku malah ingin ia lenyap sekalian. Atau, hanya mengada dengan tak lebih sebagai pot tempat tanaman bonsai yang ditanamnya itu.          

Namun, Ratih tetap mendesakku untuk berpamitan dengan laki-laki itu. “Sekadar untuk sopan-santun,” katanya. Aku mengangguk dan mendatangi Adam.           

“Aku pergi dulu,” kataku.

Ia tidak mengubah perhatian dari kesibukannya memotong daun-daun pada tanaman bonsainya. Dan ia hanya bilang, “Hati-hati.”          

Aku mendadak sebal, ia mengatakannya seolah aku sudah pergi. Pergi dalam arti yang lain. Itu sebuah kepergian yang membuatmu tidak dianggap ada walau ragamu sebenarnya masih di sana. Pikiran Adam tentangku mungkin tidak berbeda jauh dengan pikiranku tentangnya. Perseteruan kami sudah terlampau menyentuh sesuatu yang mendalam. Sengkarut kami sudah merasuk ke dalam pikiran masing-masing.          

Kendati begitu, aku sudah berjanji untuk menabah-nabahkan diri bila menyangkut urusan dengannya. Perlakuan Adam tak perlu dipikirkan terlampau jauh, pikirku. Dan aku meninggalkannya.         

“Biar aku yang menyetir,” kata Ratih begitu kami selesai memasukkan koper ke bagasi mobil.           

Sebelum masuk ke mobil, aku menoleh sebentar dan menghela napas. Keputusan sudah kuambil dan aku tidak bisa menariknya lagi. Aku tidak peduli atas beragam pendapat yang akan menyerangku nanti. Rumah ini bukan tempatku lagi. Kelak, bila pun aku kembali, sosokku tidak akan lebih sebagai tamu yang bertandang. Aku sudah mengemasi setiap bagian dari diriku di sini. Semuanya, tanpa sisa.           

Ketika masuk ke mobil dan memandang wajah Ratih yang tersenyum kepadaku, aku teringat kata-katanya beberapa waktu yang lalu, “Kamu layak mendapatkan rumah lain yang lebih baik, Kak. Yang menenangkanmu selayaknya rumah sungguhan. Bukan tempat ini. Bukan tempat yang sudah terlalu toxic ini.”

Saat mobil kami sudah beranjak pergi. Kurasakan kelegaan dan kekhawatiran di waktu yang bersamaan. Aku lega, sebab akhirnya akan terbebas. Namun, aku juga khawatir, apakah aku akan betul-betul bisa bertahan di tengah kesendirianku?

***

Di dalam perjalanan, aku merenung. Bila ada orang yang paling mengerti diriku, itu pasti hanya Ratih seeorang. Dulu, sosok lain yang bisa menenangkan setiap gemuruh dalam jiwaku adalah ibu. Tapi, sosok itu telah raib. Ibu meninggal dua tahun yang lalu. Kini, meminta Ratih tinggal bersamaku pun rasanya tidak mungkin. Sebagai mahasiswa, ia bisa saja pergi bersamaku, perkuliahannya belum dilakukan secara tatap muka seluruhnya. Namun, ia tak sampai hati membayangkan perasaan Papa ketika dua orang putri mereka sama-sama meninggalkan rumah.           

“Apa aku telah berbuat jahat dengan pergi dari rumah?” tanyaku tiba-tiba.         

“Mungkin Kakak berpikir, selama ini aku bersikap netral. Aku tidak membela siapa-siapa, juga tidak menyalahkan siapa-siapa. Tapi, aku tidak menghakimi keputusanmu, Kak. Apa yang Kakak ambil ini sudah tepat.”           

“Benarkah? Andai masih ada ibu…” kataku, pelan. Ratih tak mendengar itu.           

Mudah sekali, memang, saat kau mengandai-ngandaikan sesuatu. Aku pernah mengandaikan diriku lahir sebagai seorang laki-laki, sebab dengan begitu, saat bersiteru dengan Adam, kami tak cukup hanya bertukar kata-kata dan umpatan. Selain itu, dengan menjadi laki-laki, Papa kemungkinan akan membelaku sewaktu kami bersitegang. Ia selalu mengedepankan Adam dan tak pernah menganggap laki-laki itu bersalah.           

Padahal, Adam bukan rabi sempurna yang terbebas dari kesalahan. Setelah kembali dari kuliah S2-nya, Adam menjadi pengajar di kampus yang menjadi almaternya dulu. Sebagai adiknya, aku tahu perangai Adam. Ia sosok yang jujur. Malahan, bisa teramat jujur, ia tak akan sungkan memaki ataupun mengucapkan kata-kata berkonotasi negatif di hadapan mahasiswanya. Mungkin Adam sering melayangkannya sebagai candaan. Tapi, tetap saja, apakah itu sungguh-sungguh diperlukan? Apakah ia tidak berpikir, kalau semua itu bisa sangat mengganggu orang-orang di sekitarnya?           

Tak sekali-dua kali aku menegurnya. Dan, ia selalu menepis dan bilang kalau aku terlalu ikut campur urusannya. Aku memang tidak bekerja bersamanya. Aku auditor dan dia seorang dosen. Tapi, sungguh, sebagai dua pekerja yang masih menjalani pekerjaannya dari rumah, ketenangan benar-benar sebuah barang yang mahal. Sialnya, itu tak akan kaudapati bila hidup bersebelahan dengan lelaki itu. Dari hal sepele seperti itu, pertengkaran kami pun pecah. Lalu, ketika Papa datang, ia senantiasa membela Adam dan langsung membanding-bandingkan pekerjaan kami. Itu berlangsung cukup lama. Dan aku sudah benar-benar tidak tahan ketika Adam berujar, “Kamu ini gila atau apa, sih? Pergi ke psikiater tiap bulan kayaknya nggak cukup, ya?”

Aku memang punya riwayat depresi berat dan sedang menjalani fase penyembuhan. Mendapati hal yang seharusnya menjadi sebentuk kekhawatiran tapi dianggap sesuatu yang sepele cukup membuatku berpikir bahwa tempat itu bukan lagi rumah.

***

“Aduh, ada demo,” kata Ratih.

Aku baru tersadar, kami sudah dekat dengan tujuan kami. Rumah yang kami tuju adalah rumah peninggalan Nenek. Di hari lain, rumah itu lama disewakan. Setelah kepergian Nenek bertahun-tahun yang lalu, tidak ada yang ingin menempati rumah itu. Keluarga besar Ibu sepakat untuk menyewakannya saja. Namun, enam bulan yang lalu, keluarga terakhir yang tinggal di sana pun tidak memperpanjang masa sewanya. Keluarga dengan satu anak itu memutuskan pindah setelah sang ayah, selaku kepala keluarga, kehilangan pekerjaannya.           

“Tidak biasanya ada demo di sekitar sini,” lanjutnya.          

Aku melongokkan kepala keluar. Sebarisan orang berjalan di jalan utama. Kami terjebak, tidak bisa melewati jalan itu. Ratih iseng menanyai salah seorang warga yang lewat. Seorang warga itu, laki-laki dewasa usia empatpuluhan, lalu menjelaskan bahwa demo itu dilakukan untuk menolak pembangunan pabrik semen di sekitar perumahan warga. Ratih berterima kasih dan menyemangati laki-laki itu.        

“Semoga usaha mereka tidak sia-sia,” ucap Ratih sembari memundurkan mobil, mencari jalan lain.   

“Semoga tidak yang celaka,” sambungku.          

“Pandemi belum berakhir, tapi di beberapa tempat, orang-orang terus dibuat tidak tenang,” gerutu Ratih.          

Aku setuju dengan ucapannya. Malahan, kerap kali aku berpikir, apa yang menimpaku belum ada apa-apanya dengan yang dialami orang lain di luar sana. Pergi dari rumah, aku memiliki tempat yang bisa kutuju. Perkara aku tinggal di rumah Nenek itu tidak ada yang mencampuri, apalagi melarang. Sementara di luar sana, ada orang-orang yang berjuang merebut ruang hidup mereka. Sekian tanah dirampas dan mereka kesulitan memperjuangkan hak mereka. Belum lagi masalah lain. Kemiskinan, putus sekolah, pengangguran, pernikahan dini…           

Aku melihat diriku sendiri. Usiaku sudah hampir empat puluh tahun dan belum juga menikah. Di daerah lain, perempuan sepertiku mungkin akan dicemooh mati-matian oleh lingkungan mereka. Aku bukannya tidak pernah mengalami sama sekali. Tapi, apakah semua perempuan memiliki ketahanan yang sama? Apakah semua perempuan bisa menutup mata dan telinga atas penghakiman yang mereka terima? Sering kali, lingkunganlah yang menuntut lebih. Menentukan sekian aturan tak tertulis yang merugikan sebagian pihak. Tapi di sisi lain, semua itu seolah sudah dianggap pakem, dimaklumi keberadaannya. Diteruskan dari generasi ke generasi. Tanpa pernah seorang pun merasa perlu untuk merekonstruksi ulang nilai-nilai itu.          

“Kakak tahu, aku akan sering-sering berkunjung ke sana,” kata Ratih, lagi-lagi memecah keheningan.          

“Aku minta maaf kalau sering merepotkanmu selama ini.”           

Ratih tertawa.           

“Merepotkan apanya? Kakak selalu menjadi panutanku. Aku kagum atas semua langkah yang pernah Kakak ambil.”           

Aku tersenyum.           

“Omong-omong, kalau disuruh memilih, Kakak lebih memilih Milo atau aku?”           

“Apa tidak salah kamu membandingkan dirimu dengan seekor kucing?”          

Kemudian, kami tertawa bersama-sama.

***

Tiba di rumah itu, kami berdua mengangkat barang-barang dari mobil. Milo kubiarkan tetap di kandangnya, semata-mata supaya ia tidak merecoki pekerjaan kami. Pukul lima sore, kami selesai memindahkan dan menyusun semua barang. Masih cukup berantakan, sebenarnya. Tapi, aku bilang pada Ratih, biar aku saja yang melanjutkannya esok hari. Ratih awalnya bersikukuh ingin turut membantu. Aku bersikeras dan ia kemudian menurut. Malam harinya, karena terlalu lelah, kami memesan makanan lewat aplikasi di gawai. Kami tak banyak bicara. Dan itu membuatku khawatir, apakah Ratih menyimpan kemarahan kecil atas suatu hal yang tak kuketahui? Namun, aku tak menanyakannya sampai ia pamit pulang.                  

Setelah Ratih pergi, kutemukan diriku benar-benar sendiri. Hampa. Kosong. Kelak, perasaan ini menderaku bermalam-malam yang akan datang. Jauh-jauh hari aku sudah mematut diri bahwa aku akan siap. Tapi, menghadapinya secara langsung, bagaimanapun, tidak pernah semudah ketika kau membayangkannya. Bila ada satu titik terlemah yang ada pada diriku, sudah pasti itu adalah saat-saat seperti ini. Ternyata, mengejar kebebasan bukan berarti bisa bebas dari perasaan kesepian, kesendirian. Itu dua hal yang jalan untuk meraihnya berbeda satu sama lain.           

Milo mengikutiku ketika aku berjalan ke kamar. Aku merasa benar-benar kelelahan. Sebelum membaringkan diri, kutelan obat yang rutin kuminum tiap malam. Mendadak aku teringat Adam, teringat kata-katanya bahwa aku seorang pesakitan. Aku meringis, itu satu-satunya hal yang tak bisa kugugat darinya. Aku mengakui kalau penilaiannya benar belaka. Namun, kini bukan saatnya memikirkan lelaki itu. Aku mengalihkan ke hal lain. Pikiranku kemudian mengembara ke beragam memori dari masa ke masa. Cinta pertama, ditembak atasan di kantor, dituduh merebut suami orang, dianggap perempuan tidak laku, hubungan yang kandas, pencarian yang belum berakhir…           

Tubuhku tiba-tiba menegak. Aku beranjak duduk. Aku seperti mendengar kegaduhan kecil. Sebuah gaduh yang hadir saat kau kesusahan membuka sesuatu. Aku mencari-cari benda keras di sekitarku tapi tidak menemukan apa pun. Dengan agak panik, aku berdiri dan bersikap siaga. Langkah kakiku mundur ke pintu, aku siap atas segala sesuatu yang datangnya dari jendela di depanku. Namun, perkiraanku salah total. Bahaya itu mengendap-ngendap dari belakang.           

Aku menjerit kecil ketika mulutku dibekap. Laki-laki. Seorang laki-laki membekapku dengan kuat. Tubuhku meronta tapi cengkramannya terlalu kencang. Aku terus berusaha membebaskan diri. Tapi jeritku pun tertahan dan tenagaku tidak ada apa-apanya. Aku sudah hampir menyerah ketika kudengar suara Ratih memanggil-manggil. Suara Ratih memanggil semakin keras. Lalu, samar-samar terdengar pintu terkuak. Laki-laki itu buru-buru melepas cengkramannya. Ia pergi. Aku jatuh terduduk dan menangis.           

Ratih datang dan aku memeluknya dengan erat.

***

“Aku sudah merasa tidak tenang ketika meninggalkan Kakak,” jelas Ratih.           

Aku tak langsung menanggapinya. Semua ini berlalu serba singkat, dan aku seperti memerlukan waktu yang lama untuk mencernanya. Siapa laki-laki itu? Bagaimana ia bisa masuk? Apa yang terjadi bila Ratih tidak datang?           

“Untung aku tiba di saat yang tepat. Kalau tidak, pencuri itu… Yang terpenting, aku sudah melaporkan ke pak RT, Kak. Keparat itu pasti tertangkap.”          

“Ratih, bila kamu disuruh memilih antara kenyamanan dan keamanan, mana yang kamu pilih?” Sekonyong aku melayangkan pertanyaan itu.           

“Kak, kita tidak harus memilih. Kakak sudah membuat keputusan. Di sinilah tempat kita. Aku akan menemani Kakak.”           

Ia lalu memelukku. Di bahunya, aku menangis lagi. Sosok yang selama ini dianggap tangguh rupanya hanya sebentuk raga berisi jiwa yang rapuh. Pada akhirnya, sosok ini tidak mampu hidup sendirian. Ia toh memerlukan orang lain. Semua ini lantas membuatku bertanya-tanya, sebenarnya, apa yang salah? Situasi yang membuat orang ingin merampok dan merampas? Atau, waktu kedatanganku yang tidak tepat?

“Tidak perlu khawatir lagi, Kak. Segalanya akan baik-baik saja.”           

Ketika aku melepas pelukannya, aku berusaha tersenyum.

“Ratih, kamu sungguh tangguh dan berani,” kataku, sungguh-sungguh.           

“Semua perempuan tangguh dan berani di medan berjuangnya masing-masing, Kak.”

Ikuti tulisan menarik Wahid Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

21 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

21 jam lalu