x

Iklan

Fajar Martha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Minggu, 21 November 2021 17:39 WIB

Negara (dan Warga) Vs Big Tech

Teknologi telah omnipresent. Tanpa kita sadari, mereka telah meraih manfaat finansial yang jumlahnya tak main-main, bisa mencapai trilyunan dolar per tahun. Contoh kecil saja: kebijakan pemanfaatan cookies pada peramban kita yang dapat dimanfaatkan oleh Google Ads. Sudah banyak media yang rajin mengkritik Big Tech. Beberapa negara pun telah menyatakan perang terbuka. Bagaimana dengan Indonesia?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Teknologi telah omnipresent. Tanpa kita sadari, mereka telah meraih manfaat finansial yang jumlahnya tak main-main, bisa mencapai trilyunan dolar per tahun. Contoh kecil saja: kebijakan pemanfaatan cookies pada peramban kita yang dapat dimanfaatkan oleh Google Ads.

Cookies, sederhananya, berfungsi untuk mengenali preferensi seseorang dalam berselancar di internet. Dengan cookies, pengiklan dapat menemukan pola, sehingga memudahkan mereka dalam menampilkan iklan yang cocok untuk kita.

Simak saja, dari lima sumber pemasukan terbesar Google, dua teratas disumbang oleh layanan periklanan mereka yakni Google Ads dan Google AdSense. Keduanya menyuplai 80 persen pemasukan untuk Google per tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai ilustrasi, ini yang biasa terjadi dalam satu hari di kehidupan kecil anda: mengecek email masuk di Gmail, berharap ada jawaban dari perusahaan yang anda lamar; mendengarkan siniar lewat YouTube; bekerja menggunakan Google Workspace dan Chrome; mencari alamat restoran terkenal dengan Google Maps; yang hampir seluruhnya dilakukan di gawai bermesin Android. Ya: anda begitu bergantung dengan perusahaan yang didirikan pada 1998 tersebut.

Suatu hari di kehidupan kecil anda ternyata signifikan bagi Google dalam menyokong perilaku kapitalistik-monopolistik mereka. Data dan perilaku anda di alam digital adalah baut-baut yang menggerakkan roda bisnis perusahaan yang bermarkas di California tersebut.

Itu baru Google. Kedigdayaan perusahaan teknologi besar semakin mencolok dan, akibat terlalu kaya, mengancam kehidupan bernegara di berbagai tempat. Perusahaan teknologi tersebut kerap disebut “Big Tech”. Selain Google, maskapai-maskapai teknologi gigantik lain adalah Facebook, Microsoft, Apple, serta Amazon.

Mereka dikritik karena manfaat yang mereka berikan dinilai tak setara dengan kerusakan yang menyertai. Mereka menindas para pekerjanya, melanggar sekian ratus undang-undang, bermasalah secara etika (unethical business practices), berlaku monopolistik, emoh membayar pajak, hingga mengancam demokrasi.

Anda boleh jadi mendebat saya habis-habisan, sembari memberi argumentasi perihal manfaat perusahaan tersebut. Tapi, saya ingin mengingatkan bahwa kelak, kehidupan kita akan semakin diperdaya oleh gurita bisnis mereka. Jika anda penikmat serial distopia Black Mirror, anda sudah mengerti, kan, tentang banyaknya kengerian di film yang telah terjadi di kehidupan nyata?

Peran negara

Sudah banyak media yang rajin mengkritik Big Tech, dan menjadikan ini sebagai tema penting redaksi. Contohnya recode milik Vox, newsletter dan siniar Big Technology yang dikelola Alex Kantrowitz, Platformer, Rest of World, the Intercept, hingga Wired.

Negara-negara pun telah menyatakan perang terbuka terhadap Big Tech. Presiden Amerika serikat Joe Biden, misalnya, yang pada 9 Juli lalu menandatangani UU yang mengatur perilaku Big Tech. Ia membentuk tim untuk membuat regulasi yang berfokus mencegah perilaku monopolistik mereka.

Walau bak anjing dan kucing, langkah serupa toh telah dilakukan Cina terhadap Big Tech seperti Alibaba dan Didi. Secara spesifik, kita bisa mencermati apa yang terjadi di Australia dan India belakangan ini.

Australia melawan Google dan Facebook yang bertahun-tahun meraup keuntungan dari berita-berita yang diterbitkan perusahaan media Australia. Kedua perusahaan, yang meraih profit berlipat di sektor iklan, dianggap “berutang” pada media-media massa tersebut. Mereka seharusnya membayar perusahaan sebagai pembuat konten yang membuat lalulintas di mesin pencari Google dan linimasa Facebook semarak.

Google menyanggupi undang-undang baru tersebut. Dikabarkan oleh Associated Press (15/02)21), Google diperkirakan setuju membayar Seven West Media – kongsi raksasa yang memiliki berbagai bisnis media – 23 juta dolar AS per tahun.

Tak seperti Google, Facebook melawan balik. Mereka memblokir seluruh konten berita dari media massa berbasis di Australia dan yang dikirimkan pengguna Facebook yang tinggal di Australia. Saat mengunjungi laman media Australia, anda takkan menemukan segala postingan di lama tersebut.

Namun, kurang dari seminggu, perusahaan besutan Mark Zuckerberg melunak dan dikabarkan bernegosiasi dengan perusahaan-perusahaan media Australia.

Di seberang benua, India menyatakan perang terhadap perusahaan-perusahaan digital seperti Facebook dan Twitter. Mereka mengancam akan menutup seluruh akses kedua perusahaan di negaranya jika tidak menghapus pesan-pesan kritis terhadap pemerintah.

Pemerintah India belakangan kerap dikritik oleh bermacam isu. Dan di mana lagi kegelisahan bisa disebarluaskan jika bukan di media sosial? Sebelum pandemi merajalela, terjadi gelombang protes petani India, sebagai respons kebijakan neoliberal Narendra Modi terkait industri pertanian.

India menyikapinya dengan memerintah perusahaan untuk memblokir akun-akun jurnalis, aktivis, hingga politisi yang berseberangan. Twitter, yang tidak bersedia menuruti perintah, pun digertak. Pegawai-pegawai mereka di India bisa diancam hukuman bui hingga tujuh tahun jika mengabaikan perintah.

Kali ini, pemerintah India dibombardir kritik berkat kelalaian pemerintah dalam menangani pandemi. Pandemi di India telah menjadi tragedi kemanusiaan mencolok. Ribuan jenazah dibakar per hari, dan, kerena amat kewalahan, mayat-mayat pun harus bergelimpangan di tepi sungai.

Alih-alih meminta maaf dan memperbaiki kinerja, India menggunakan cara pintas yang sama: pembungkaman. Jika perusahaan-perusahaan itu tidak menurut, kiprah mereka di negara tersebut akan dijegal. Kali ini Twitter melemah dan menuruti keinginan pemerintah. Mereka menghapus cuitan-cuitan yang dianggap mengancam rezim konyol tersebut.

Besarnya populasi India adalah santapan lezat bagi korporasi. Berdiri di tengah ring tinju, antara hak-hak sipil di sudut merah dengan profit berlipat di sudut biru, anda tentu bisa menebak ke mana perusahaan akan menjatuhkan dukungan.

Apa yang dilakukan Australia pun tak lepas dari kritik. Peraturan baru tersebut dianggap hanya menguntungkan korporasi raksasa seperti Seven West Media. Pemerintah dan kongsi dagang memang paket sempurna mimpi buruk bagi warga biasa. Mimpi buruk tersebut, sayangnya, sering menjadi kenyataan.

Bagaimana di Indonesia?

Sejauh ini, berkat kekuatan diplomasi dan perekonomian yang semenjana, narasi mengenai pentingnya mengawasi Big Tech hanya ada di sektor pemajakan. Bagi saya itu bukan hal yang salah—hanya saja tidak sepenuhnya memadai.

Di balik gembar-gembor di media, pemerintah belum sepenuhnya berdaya memajaki perusahaan-perusahaan digital asing seperti Facebook. Mereka butuh bekerjasama di lingkup regional maupun internasional.

Walau telah berhasil menarik pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi elektronik, pemerintah seharusnya menarik pajak penghasilan (PPh) ke Big Tech. Ingat, PPN lebih banyak dibebani kepada warga sebagai konsumen.

Dilansir dari Kontan (14/7), Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi sinyal bahwa penarikan PPh—yang merupakan pajak atas laba perusahaan—kemungkinan baru terealisasi bila konsensus di tingkat G20 telah terwujud.

Pemajakan hanya langkah kecil dari lompatan raksasa lain—dan penting—di segi regulasi. Dalam suatu siniar, ekonom Chatib Basri pernah mengingatkan kita bahwa selain kebijakan pengupahan rendah, investor asing meminati Indonesia karena kemampuan menyediakan konsumen berjumlah besar. Artinya, kita sebagai warga biasa berada di posisi yang lemah.

Pemerintah perlu terus diingatkan, di antara kepentingan korporasi dengan warga, yang kedualah yang lebih dulu harus mereka utamakan. Kitalah yang harus terlebih dulu mereka sejahterakan.

Ikuti tulisan menarik Fajar Martha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler