x

Facebook

Iklan

Fitriani Fattah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 November 2021

Senin, 22 November 2021 15:07 WIB

Tubuh Wanita dan Media Sosial

Para perempuan baik remaja muda ataupun wanita dewasa saling menguatkan bagiamana keindahan tubuh mereka nampak didikte oleh algoritma sosial media. Standar kecantikan nampaknya memang senantiasa berubah dari masa ke masa. Dan sepertinya saat ini dunia maya mengambil alih bagimana semestinya para perempuan melihat dirinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang whistleblower berusia 37 tahun yang merupakan mantan manajer produksi facebook Frances Haugen mengatakan bahwa Facebook membahayakan bagi anak-anak. "Saya meyakini produk Facebook membahayakan anak-anak, memicu perpecahan dan melemahkan demokrasi kita," kata Haugen kepada panel Senat Amerika Serikat (AS) dikutip dari dw.com

Terdapat survei yang mengatakan bahwa 32% remaja merasa buruk tentang tubuhnya ketika melihat unggahan orang lain di Instagram. Para wanita juga dilaporkan memandang dirinya secara negatif dibandingkan dengan teman sebayanya ataupun selebriti, tapi tidak dengan anggota keluarganya ketika sedang berselancar di Facebook.

Apakah fakta ini secara sengaja diabaikan oleh Facebook, bahwa platform mereka mempengaruhi kondisi mental para remaja terutama wanita? Namun, Monica Bickert mengatakan perusahaan memprioritaskan keamanan dibandingkan profit. Ia mengatakan dalam survey yang berskala kecil, sekitar 40% pengguna Instagram memang berjuang melawan mental health issue, baik itu kecemasan, body image, menyakiti diri sendiri, laki-laki ataupun perempuan.Kenyataan ini menjadikan kita aware dan mempertanyakan seperti apa sebenarnya penggunaan sosial media secara bijaksana itu?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekitar 87% anak-anak di Indonesia telah diperkenalkan dengan media sosial sebelum menginjak usia 13 tahun. Ini tentunya menambah kekhawatiran para orang tua. Tontonan negatif membuat mereka cemas akan kondisi remaja putrinya . Namun,jika Anda membaca buku Female Brain karya Louann Brizendine,M.D yang membahas bagaimana otak gadis remaja bekerja, Anda mungkin secara alami akan mengubah cara pandang terhadap kelakuan mereka yang serba ajaib dan menakjubkan.

Menginjak masa pubertas, para remaja akan lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan melihat cermin. Penampilan menjadi prioritas dalam hidupnya karena menarik perhatian para lelaki lebih ‘mewah’ dibandingkan nasehat orang tua yang terkadang terdengar begitu menjengkelkan. Bagaimana cara bertahan hidup mereka pelajari dengan menganalisa tindak tanduk anak remaja lainnya yang seusia dengan mereka. Pursuit of cool.

Tidak adanya keselarasan dalam berpakaian, selera musik,tontonan, membuat mereka tersingkir dari sebuah kelompok. Para anak-anak ini mencoba untuk terlihat keren dibandingkan grup anak lainnya. Tidak heran para remaja wanita terkadang merasa malu dengan status jomblonya. Hal ini menjadi indikator bahwa mereka secara seksual tidak menarik dan memiliki citra buruk dihadapan para lelaki.

Dalam bukunya, Louann mengatakan terlepas apakah ada media untuk mempengaruhi citra diri mereka atau tidak, para gadis-gadis ini akan tetap bertingkah selayaknya anak gadis. Hormon mempengaruhi mereka dalam berperilaku. Berharap payudara tumbuh lebih besar ,pinggang mengecil, bokong yang indah, kesemuanya dilakukan untuk menarik perhatian para lelaki. Para remaja ini nampaknya tidak perlu menyaksikan Victoria Secret Fashion Show untuk menyimpulkan inilah bentuk tubuh wanita yang ideal.Sirkuit-sirkuit di otaknya secara terstruktur mendorongnya untuk selalu terlihat cantik dihadapan para lelaki. Mau tidak mau mereka menggunakan perspektif androgenik. Jika demikian adanya, apa peran sosial media dalam mempengaruhi sudut pandang wanita tentang standar tubuh yang cantik? Jika pemakluman menjadi hadiah bagi para remaja dengan alasan hormon,bagaimana dengan para perempuan dewasa yang dunianya tidak melulu soal para lelaki?

Saya mengingat bagaimana Piers Morgan berdebat dengan editor majalah Cosmopolitan, Farrah Storr dimana dalam sampulnya majalah tersebut menampilkan plus-size model. “A very popular magazine telling women it’s fine to be 300 pounds I don’t get it,” kata Morgan.

Saya ingin kita menilai hal ini dalam perspektif yang lebih moderat. Dalam laporannya WHO mengatakan bahwa kematian lebih sering terjadi pada orang yang kelebihan berat badan dan obesitas dibanding kekurangan berat badan. Terlalu sinis rasanya jika penggunaan model plus size dalam dunia fesyen adalah dukungan terbuka pada obesitas. Sebaliknya, kita mungkin terlalu ‘ramah’ jika kampanye body positivity mengabaikan faktor kesehataan. Terlalu gemuk dan terlalu kurus sama buruknya. Proporsi yang ideal mengacu pada tubuh yang sehat.

Sayangnya, diseminasi tubuh positif mungkin akan diabaikan jika standar cantik wanita tidak dikoreksi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapakah yang berhak menentukan standar tersebut?Dari masa ke masa standar kecantikan selalu berevolusi. Dan di masa post-modernism saat ini kecantikan sepertinya sangat dipengaruhi oleh media sosial.

Sosial media seyogyanya memberikan kita bentuk baru dalam bersilaturahmi. Orang-orang memperkenalkan dirinya dengan cara yang lebih sophisticated. Foto-foto yang diunggah secara sengaja dan disadari membentuk bagaimana cara seseorang seharusnya menjalani kehidupan.

Standar bergeser menyebabkan solusi dan polusi menjadi samar. Like, love, emoji dan kolom komentar yang akan mengkonfirmasi. Diantara mereka ada yang menegaskan bahwa orang lain tidak mengetahui kehidupan saya yang sebenarnya tapi secara terus-menerus mengunggah foto atau status sebagai lisensi bagi orang lain untuk menyimpulkan gaya hidup yang ia jalani. Sebagian yang lain meninggalkan sosial media karena merasa ‘kewalahan’ dan kembali lagi setelah merasa jauh lebih bijak.

Tidak ada durasi yang tepat berapa lama orang seharusnya membuang waktu dengan bermain sosial media. Orang-orang yang mendapatkan manfaat dari dunia maya akan berat hati untuk meninggalkannya. Orang-orang yang merasa dirugikan akan beristirahat sementara waktu dan kembali lagi setelah menimbang antara untung dan ruginya. Kehidupan di dunia maya telah merasuki realita yang sesungguhnya. Inilah tatanan dunia yang baru.Setiap orang harus menyadari pola-pola yang mencurigakan sehingga tidak mudah dijerumuskan.

Orang-orang berbicara dengan cara tertentu. Mereka tidak menceritakan yang ‘sebenarnya’ untuk menjaga kesan. Tanpa sadar kita menggunakan intonasi dan mimik wajah tertentu untuk menghindari pesan-pesan yang negatif.

Dalam dunia siber kita menggunakan foto untuk menyampaikan pesan tertentu. I woke up like this. Really? Kita meragukan bahwa unggahan-unggahan tersebut mungkin saja adalah hasil editan. Mencoba untuk menegaskan dan meyakini persepsi itu justru membuat orang lain berfikir bahwa kita cuma iri. Para wanita percaya betapa hebatnya cara kerja photoshop dan aplikasi edit foto tetapi kemudian tanpa sadar kembali menggunakan hasil-hasil jepretan tersebut sebagai standar cantik yang seharusnya.

Girlguiding melakukan survei dan menemukan bahwa sepertiga perempuan muda tidak akan mengunggah selfie mereka tanpa menggunakan filter untuk mengubah penampilan. Facebook bekerja berdasarkan algoritma. Konten yang kita sukai dan gemari memiliki potensi yang lebih besar untuk tampil di lini masa.Pertanyaannya,apakah kita menciptakan algoritma sendiri ataukah facebook secara terstruktur menampilkan apa yang menurut mereka penting untuk kita yakini dan percayai?

Kita menyadari berbagai bentuk kepalsuan’yang tersebar di media sosial. Depresi lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki.Maka dari itu,para wanita harus membatasi diri dari paparan media yang membuatnya cemas.

 

 

Ikuti tulisan menarik Fitriani Fattah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler