x

Iklan

Chalista Angelim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Senin, 22 November 2021 18:41 WIB

Kambing dan Asri

Cara singkatku untuk sedikit mengubah bagaimana jalan hidupmu di kisah hasil penyesalan lamamu. Bolehkah sedikit mengambil peran utama dalam kasmaran SMA-mu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak pernah sekalipun rasa damai menghampiri tatkala memandang santunan matahari di tengah siang hari. Selalu satu dialog ejekan, lalu satu barang yang terlempar tinggi, melebihi tingginya impian manusia.

“Oi Abdi, kacamatamu pingsan itu, tak ingin kau pungut?” Tawa terbahak tiga sekawan berbau getah mangga, mesti habis bolos ke warung rujak Bu Dewi. Lima jariku yang berkuku tanah meraih kacamata yang terhempas  30 detik yang lalu.

“Dengar kabar, ada cewek baru rupanya kau, Bang?” Ucap salah satu pria berambut ikal—Fadli namanya—banyak cakap, aku sendiripun penat dengar celotehannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “Darimana kau dengar?” Tanya laki-laki berbadan macam Larry Lobster, tapi dikurangi ½ porsinya.

“Dari angkatan atas, Bud. Terkenal kau gara-gara itu,” Jawab kawan sebelahnya, Eko namanya. “Memangnya cewek macam apa yang buat kau terpikat itu?”

“Tak terpikat aku, Ko. Cuma kujadikan budak gara-gara bohay badannya.”

 

Baru masuk 17 tahun, sudah main ke arah lain dia? Batinku.

 

“Maksud kau budak…” Belum selesai ocehannya, sudah dipotong duluan sama abangnya.

“Banyak jenis budak, Li. Semuanya aja kau rangkap jadi satu. Besok kuundang dia main.” Berkedip main matanya memberikan kode akan suatu hal. Sementara sudah tergeram-geram hatiku mendengar kalimat tidak etisnya.

Dengan keberanian bermodalkan kesal ,meski mental seuprit sekalipun, tidak ragu aku untuk melemparkan sedikit nasehat buat kawan seangkatanku itu.

“Baru masuk usia dewasa, tingkahmu sudah macam veteran gang gelap,” Ucapku dengan gigi bergemetaran. “Sebelum berlutut dengan tangisan gembelmu itu, lebih baik kau cium kaki ibumu untuk diampuni dosamu.”

Kukira akan sedikit merenung mereka, tapi sekali keras terus akan keras ,kecuali sudah ditegur Tuhan. Sebuah meteor yang mendadak terpampang di hadapanku tak sanggup kuhindari hingga luka fatal membuat langit menjadi gelap gulita kembali.

 

+++

 

Sinar hangat membasuh wajahku disertai elusan kain lembut yang membuat mataku terpancing untuk terbuka. Memandangi seorang wanita yang dengan tatapan lembutnya langsung bertemu dengan mataku, senja di atas kepalanya benar-benar persis dengan rona merah alami pipinya. Air mukanya menandakan bermacam perasaan yang tak dapat ia ekspresikan dalam satu waktu.

“Maaf ya,” Adalah kata pertama yang ia keluarkan dan sempatnya membuat jantungku terhenti sejenak. “Aku lihat tadi pertengkaranmu dari jendela kelas.”

Aku hanya tersenyum simpul sambil tergagap dan sesekali meringis kesakitan, “Ngapain minta maaf? Toh, tadi aku geram sendiri makanya ajak kelahi duluan.” Hiburku meski tak berubah ekspresi sedih wajahnya

Aku ini paling tak pandai soal menghibur orang. Dulu pernah anak tetangga jatuh dari sepeda sampai menggema tangisnya macam guntur, kuhibur dia pakai muka jelekku, malah dihantam  bapaknya dikirain gangguin anak orang.

 “Abdi,” Tangan kiriku terangkat tanpa menghiraukan penyesalannya detik lalu. “Maaf pakai tangan kiri, soalnya kamu di kanan.”

Perempuan itu mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu tertawa merdu mendengar tawaranku.

 

Apa yang membuat perempuan ini tertawa? Batinku.

 

“Maaf,” Katanya sambil meredakan tawanya, kemudian menjabat tanganku dengan tangan kirinya juga. “Maaf pakai tangan kiri, soalnya kalau pakai tangan kanan nanti jabatannya tidak sah.”

Tidak ada aturan seperti itu memang, setidaknya suasana bangkit hanya karena sedikit kebodohan yang menghibur.

“Asri, panggil aja sri.” Namanya sesuai dengan indah wajahnya yang terpampang manis di garis depan panggung senja, tak pernah senjaku jadi semanis ini selama 17 tahun kehidupan lajangku.

“Asri, cocok ya sama wajahmu.”

“Terima kasih. Terdengar seperti ejekan, tapi makasih.” Aku langsung terduduk mendengar jawabannya.

“Ejekan apanya? Memang benar kok, wajahmu itu asri dipandang,”Aku termanggu kala wajahnya makin tertunduk dengan aura yang gelap, penuh akan kesedihan.

“Tahukan kalau aku dijadikan cewek Bang Budi, dengan alasan apa?” Dilemparkan sebuah kalimat retorik mendadak padaku yang bergeming. “Cuma mau dimanfaatkan karena terlanjur dimabuk cinta.”

Dudukku bersila dihadapannya yang berlutut sopan di atas rumput lebat yang kupastikan menggatalkan kakinya. “Sudah tahu hanya dimanfaatkan. Lantas, kenapa masih mau jadi permaisuri tipuannya?”

“Abdi, terkadang meskipun telah sadar akan palsunya cinta, namun egoisme perasaan terlampau besar untuk dihiraukan,” Banyak penyesalan dalam kata-katanya. “Kalau bisa aku kabur jauh-jauh, tapi setiap pergi selalu ingin kembali. Semua orang akan jadi pengecut kalau dihadapkan dengan asmara.”

+++

 

Terbengong wajahku menatap ke arah pagar kayu dengan jauh 6 meter di depan. Duduk di atas kursi kayu pendek sembari menggosok ban motor tua dengan kain rombeng berbusa. Hanya suara pancuran kecil pipa air dan Koran yang sedaritadi dibolak-balekkan Bapak yang terdengar di teras malam ini.

Plak!

“Jangan bengong malam-malam, kerasukan nanti tak tinggalin kau diluar.” Tegur Bapak kepadaku yang menggerutu sehabis dipukul Koran tipis, “Mikirin apa kau rupanya sampai tidak fokus cuci motor?”

“Cuma masalah tugas sekolah, Pak.” Alasanku sambil mendengus dan mencuci motor tua milik Bapak dengan tenaga dalam.

“Kalau dilema soal cinta, toh, ya ngomong.” Dehem Bapak yang sudah kembali duduk sambil menyeruput secangkir kopi yang tanpa kusadari sudah tergeletak disana dengan kepulan asap di udara.

“Kau ini kira bapakmu bisa dibohongi pakai alasan klise begitu?” Terdengar tawa sindiran dari belekang 2 meter punggungnya, “Bapak yang sudah 47 tahun berkelana ini, mana bisa kau remehkan, Di.”

Aku mengganti posisi dudukku dan menatap Bapak sesaat, “Memangnya ada yang mau sama bapak?”

“Buktinya mamakmu itu mau toh sama bapak? Primadona dulu dia, berani lagi kau cakap?”

Tidak salah apa yang dikatakan oleh bapak. Ketika melihat foto mendiang ibu, bisa kukatakan bahwasanya dulu ibu adalah seorang primadona cantik di tanah kelahirannya, Kepulauan Meranti.

 “Di, kukasih kau satu nasihat,” Bapak melipat Koran dan meletakkannya di meja rotan samping kursi goyangnya, “Cinta itu pelajaran hidup yang keras buat kau nanti.”

Telingaku mendengarkan dengan saksama apa yang akan dituturkan oleh Bapak, meskipun tanganku masih sibuk berkutat dengan kotoran detail di beberapa bagian motor tua ini.

“Akan ada banyak arti baru dari kata-kata biasa yang selama ini kau rasakan. Bagaimana sakit, bangun, dan menyesal dari perspektif cinta.” Bapak kembali menyeruput kopi hitamnya yang mulai mendingin digerogoti suhu malam.

“Banyak-banyaklah belajar meski cuma dari kasmaran SMA.”

 

+++

 

Setelah motor tua milik Bapak, gantian pesona sepeda tua antik peninggalan dari mendiang Ibu yang menemani hari-hari biasaku. Berangkat ke sekolah dari pukul 6 pagi karena 30 menit jarak tempuh yang harus kunikmati, menikmati bumantara kala matahari baru memanjat naik dari ufuk timur, dan terakhir ketika kaki baru mendarat di halaman parkir sekolah.

Pertanda hari buruk adalah ketika aku baru saja menikmati dunia, lalu datang musuh yang entah-berantah darimana hanya untuk memuaskan keusilannya. Baru terparkir sepedaku, sudah jatuh terpelanting di atas tanah lembab sekolah.

Pingsan lagi barangmu? Tak kuat dia tengok wajah kambingmu, Di.” Kali ini sorak tawa lebih kencang dari kemarin, nampaknya berombongan ingin menjelajah tanah sebelah sekolah.

“Meski macam kambing mukaku, setidaknya akhlakku tak berlenting-lenting macam kau, Bud.” Acuh tak acuh sikapku menghadapi mereka.

“Masih kurang rupanya bekas di hidung kau itu?” Wajahku menoleh ke arah Budi, benar saja hari ini datang bergerombolan mereka. Kalau kuhitung pakai jari total 8 sekawan—4 cowok dan 4 cewek—salah satunya, Asri.

Aku melemparkan senyumku kepada Asri dan menghiraukan ancaman dari Budi yang membuat sang empu menggeram dengan tangan mengepal. Asri diam-diam membalas senyumku membuat hatiku terpontang-panting tak beraturan.

Aih, memalukan kali kalau ketahuan salah tingkah. Batinku berucap.

Salah seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang badai nampaknya mengetahui ada rahasia yang tak sepantasnya terlihat seperti dosa dan kesalahan, “Bang Budi, kurasa ada pacar lain si Sri ini.”

Sekali berkicau, ribut satu tongkrongan.

Rupanya tak perlu bersandiwarapun, Budi tahu apa yang dimaksud salah satu kawannya itu. Mantap kakinya berpijak 2 langkah mendekatiku, bergetar lututku yang bersentuhan dengan tanah. Namun, dengan secuil mental, berdiri tubuhku dengan tegapnya di depan Budi. Tegak tulangku sampai bunyi semua ruas-ruasnya membuat ngilu.

“Sri, sudah tahu jelek wajahmu, masih berani main belakang?” Sindir Budi yang kemudian melepaskan satu pukulan ditahan sama pertahanan ala-alaku, “Kau goda dia pakai badan bahenol kau kah?”

“Tidak, Bang! Sumpah, aku tak main dengan siapapun!” Kalimatnya terdengar bergetar, tahu aku bahwa ketakutan menguasai tubuhnya. Kalimat rendahan yang dikatakan Budi cukup membuat harga diri perempuan itu jatuh, sangat merendahkan dan tak sepantasnya diucapkan.

“Bud, tidak pantas ucapan macam tuh kau tuturkan kepada seorang wanita.” Tanganku sukar berhenti gemetar. Jujur saja pukulan Budi itu rasanya sangat sakit sampai kukira terjadi fraktura di tulang lenganku.

“Orang yang tidak berpengalaman dalam cinta, tidak usah banyak bicara,” Bertekik rahangnya sembari berbicara. “Aku sudah lama terjun ke dunia begini, lebih tahu-menahu ilmu perempuan.”

“Banyak omong!” Tanganku mengangkat sepeda tua yang kudayung sejak umur 10 tahun dengan sekuat tenaga, kulemparkan sepeda itu ke arah rombongan Budi. Teriakan menggema di halaman sekolah sementara aku menerobos kepanikan sambil menarik tangan Asri, dan berlari menjauhi parkiran sekolah.

 

Maafkan Abdi, Bu. Sepedanya jadi tumbal untuk menyelamatkan diri. Batinku yang memohon ampunan dari Ibu yang telah lama menjadi bagian dari angkasa semesta.

 

Kaki yang terus berlari tanpa kenal arah tujuan, Napas tersenggal yang sibuk mencari celah untuk menculik oksigen dari dekapan udara, leher yang sesekali mengadah untuk melihat kejaran polisi jadi-jadian, dan jantung yang tak lelah berdetak keras antara cinta atau lelah.

Ketika merasa telah menjauhi sekolah, kakiku berhenti di trotoar jalanan dengan beberapa kendaraan yang berlalu lalang. Duduk di atas lantai sambil menarik napas sekuat tenaga, keringat yang bercucuran bak habis tercebur ke dalam sungai.

Aku menoleh ke samping kiriku, ke arah seorang gadis yang sama lelahnya dengan diriku. Duduk bersimpuh di atas trotoar menutupi kakinya karena menggunakan rok sekolah, secara spontan kubuka kancing kemejaku.

Untungnya hari ini ada kaos putih yang membalut tubuh ringkihku, setidaknya aku dapat membantu seorang gadis hanya dengan kemeja sekolah.

“Luruskan kakimu.” Perintahku kepada Asri. Yang disuruh hanya melenggokkan matanya ke kanan-kiri, entah untuk mencari jawaban apa.

Aku merasa paham akan kebingungannya dan hanya membiarkan angin membawa helaan napas bersatu dengan udara, “Habis berlari harus meluruskan kaki, kalau tidak nanti kena varises.” Sontak dalam sekejap gadis itu telah meluruskan kakinya dengan tegang sampai kurasa urat kakinya mau putus.

“Maaf sebelumnya,” Tanganku yang memegang ujung masing-masing kemeja secara perlahan meletakkan kain katun itu di atas kakinya, tanpa melihat tentunya. “Sudah, duduklah dengan nyaman.”

“Makasih.”

Kata terakhir yang membiarkan keheningan merangkul suasana, canggungpun kembali tanpa mengucap salam, dan kendaraan lalu lalang yang bertambah 1% setiap menit ke-10 terlewati. Sepasang individu itu ingin mengurai suasana, namun rasa malu seakan menutup kedua mulut mereka. Akhirnya tak tahu apa yang akan terjadi di detik selanjutnya.

“Sri,” Laki-laki sejati mesti berani mengambil langkah awal, itu kata ayahnya. Yang dipanggil hanya menyahut singkat sambil menunggu suara selanjutnya bergema.

“Masih mau main sama Budi?”

Asri hanya bisa bergeming, sinar matanya hilang menyisakan gelap, dan tak ada satu jawabanpun keluar dari pita suaranya.

“Kata Bapak, Cinta itu pelajaran keras buat kehidupan,” tuturku tak memaksa menatap kedua manik indahnya, “Kita belajar perasaan sakit, bangun, dan menyesal dari perspektif cinta.”

Tak kunjung menyahut juga, kalimatku kembali berlanjut, “Sudah berapa banyak yang kau rasakan selama dengan Budi?”

Bibirnya mengering karena tak kunjung digerakkan. “Kulihat Cuma perasaan negatif yang kau pelajari darinya, adakah perasaan positif yang bisa kau ambil untuk hidupmu?”

“Kurasa ada,” Jawab Asri dengan ragu, “Mungkin pelajaran untuk tidak menjadi bodoh hanya karena cinta. Pelajaran untuk sesekali harus berani melawan cinta, memahami cinta, dan meletakkan cinta di rumah yang seharusnya.”

“Kesal aku melihat bahwa terkadang orang yang dimabuk cinta bisa lupa akal sehat dan mau dijadikan budak nafsu yang tidak kekal.” Tanganku menumpu tubuh sambil menatap ke arah matahari yang perlahan membangunkan hampir seluruh anak-anak langitnya. Telingaku dengan setia terus mendengarkan meski mata tak bertatap, berkomunikasi lewat kata dan hati.

“Seperti siapa?” Tanyaku membuat Asri memainkan jari jemari cantiknya di atas kemeja polos yang menyembunyikan kakinya.

“Aku,” Rela tak rela mengakuinya. “Dengan tak sabarnya ingin merasakan romansa. Dengan bodohnya mau direndahkan dan berlutut sambil mencium kaki raja demi mendapat satu kecupan di kening.”

Wajahnya dengan jelas menggambarkan bagaimana langit malam kelam tanpa bulan dan bintang, perasaan tak mengenakkan yang ingin dihapuskan. Dadakupun sesak mendengarkan pemilihan katanya yang menyakitkan, tak ada seorangpun yang pantas menerima kata itu.

Aku mengulurkan tangan kananku, “Dari kesalahan, datanglah penyesalan, kemudian disambut jalan baru dengan kisah yang indah.” Senyumku terpatri di wajah kusam penuh cucuran keringat pagi, “Kali ini pakai tangan kanan.”

Matanya menatap uluran tanganku kemudian kembali ke mataku. Tatapan yang sama seperti bagaimana 12 jam yang lalu, kami bertemu di lapangan rumput sekolah. Ujung bibirnya terbujuk untuk membentuk sebuah garis lengkung, senyumannya dengan jelas tergambar disana. Penuh hangat, penuh keindahan, seperti seseorang yang siap untuk terlahir kembali di kisah lain hidupnya.

“Aku juga pakai tangan kanan, soalnya kalau tangan kiri nanti jabat tangannya tidak sah."

Ikuti tulisan menarik Chalista Angelim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler