
MUI
Selasa, 23 November 2021 13:38 WIB
Lebih Bijak Bila Alim Mandiri
Apabila alim mau dan mampu bersikap mandiri dalam relasinya dengan penguasa, integritas baiknya akan selalu terjaga. Ia tidak perlu memusuhi penguasa sebagaimana ia juga tidak perlu mengabdi kepadanya. Kemandirian sebagai alim akan membuat dirinya merdeka dalam memperjuangkan apa saja yang menurut dirinya benar, baik, dan adil.
Dibaca : 3.111 kali
Menyusul keriuhan yang dipantik pernyataan Ketua Umum MUI DKI bahwa MUI DKI akan membentuk cyber army untuk membentengi Gubernur Anies Baswedan dari serangan di media sosial, muncul pertanyaan: Perlukah institusi para alim mengambil langkah seperti itu? Bagaimanakah selayaknya relasi alim ulama dengan penguasa?
Selama berabad-abad, di belahan bumi manapun, relasi ulama dengan penguasa senantiasa naik-turun. Ada saja alim yang dekat dengan istana dan bahkan menjadi pembenar kekuasaan. Tak kurang pula alim yang selalu kritis dan menjaga jarak dari kekuasaan.
Para alim memang perlu mendukung kebijakan penguasa yang benar dan adil, namun tidak perlu dilembagakan. Sebab, kebijakan bisa berubah. Dan jika kebijakan itu tidak lagi mencerminkan kebenaran dan keadilan, wajib bagi alim untuk mengritisi penguasa. Pelembagaan dukungan kepada penguasa, apapun bentuknya, berpotensi merepotkan para alim sendiri, sebab sikap dan kebijakan penguasa mungkin saja berubah.
Para alim sebaiknya mengambil posisi berjarak dengan kekuasaan, siapapun penguasa itu, sebab pada pundak para alim terletak tanggungjawab untuk mengingatkan penguasa yang keliru dan meluruskan yang bengkok. Alim sebaiknya tidak dekat-dekat dengan penguasa, sebab ia bisa terkena sawab kekuasaan: ikut terpesona oleh silaunya kekuasaan sehingga kehilangan kesadaran akan tanggungjawabnya tadi.
Alim menjadi tumpuan dan sandaran rakyat manakala berhadapan dengan penguasa. Kepada alimlah rakyat mengadukan persoalan, terlebih lagi ketika institusi lain tidak mampu menjalankan fungsi dan peran secara semestinya. Ketika penguasa menerbitkan kebijakan yang semena-mena dan tidak ada pihak lain yang membantu rakyat, alimlah yang maju ke depan. Tugasnya bukan hanya mengajak kepada kebenaran dan kebaikan, tapi juga melawan kebatilan dan meluruskan yang bengkok. Alim juga diperlukan agar memberi pandangan pembanding bagi penguasa agar kebijakannya tidak merugikan rakyat banyak.
Betapapun seorang penguasa terlihat baik dan benar, tetap penting bagi alim untuk menjaga jarak dengan penguasa. Mengapa? Karena penguasa bisa saja berubah lantaran terpesona oleh kekuasaan. Kekuasaan memancarkan daya magis yang memesona bukan saja orang yang melihatnya, tapi terlebih lagi orang yang tengah memegangnya.
Bila dekat dengan penguasa, alim berpotensi mengalami situasi yang sulit. Ia mungkin saja menjadi segan melontarkan kritik kepada penguasa, sebab ia merasa dekat. Kedekatan relasi yang tidak disertai sikap kritis akan menurunkan integritas alim di hadapan rakyat banyak. Ia jadi rikuh mengritik dan segan mengingatkan penguasa.
Jika alim mau dan mampu bersikap mandiri dalam relasinya dengan penguasa, integritas baiknya akan selalu terjaga. Ia tidak perlu memusuhi penguasa sebagaimana ia juga tidak perlu mengabdi kepadanya. Kemandirian sebagai alim akan membuat dirinya merdeka dalam memperjuangkan apa saja yang menurut dirinya benar, baik, dan adil. Apabila penguasa bersikap baik dan adil, kebijakannya didukung tanpa harus menyerahkan integritasnya. Jika penguasa sewenang-wenang, ia pun akan merasa bebas mengritik, mengingatkan, dan meluruskan penguasa tanpa merasa rikuh dan segan.
Kemandirian alim akan membuatnya dihormati oleh rakyat banyak, bahkan juga oleh penguasa yang ia kritik, sebab penguasa mungkin berpikir bahwa alim ini orang yang teguh memperjuangkan yang baik, yang adil, dan yang benar. Ia tidak mengritik atas dasar kebencian. Ia juga bukan alim dari jenis yang mudah silau oleh bujukan.
Alim yang dekat dengan kekuasaan berpotensi pula untuk dihinakan oleh penguasa, sebab penguasa merasa bisa menjinakkan alim. Di mata rakyat banyak, alim seperti ini akan kehilangan martabatnya. Rakyat akan menilai bahwa sebagai alim ia tidak mampu menjaga integritasnya karena selalu mendukung apapun kebijakan penguasa. Bahkan bisa muncul kesan bahwa alim dikendalikan oleh penguasa. Apabila penguasa kemudian melakukan kesalahan serius, alim yang mendukung tanpa cadangan sikap kritis akan ikut terkena getahnya, sehingga integritasnya pun akan tergerus oleh langkahnya sendiri.
Siapapun penguasanya, alim tidak layak mengabdi kepada kekuasaan, terlebih lagi bila tanpa sikap kritis. Dengan menjadi alim yang mandiri, alim bebas untuk mendukung kebijakan yang baik, benar, dan adil, serta mengritik dan mengingatkan bila kebijakannya bengkok dan zalim. >>
Suka dengan apa yang Anda baca?
Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.
2 hari lalu

Adian Napitupulu Tanggapi Fahri Hamzah: Saya Tak Pernah Usil Mengkritik Saat Dia Jadi Anggota DPR
Dibaca : 170 kali
1 hari lalu

Mempertegas Gerakan Literasi dalam Kurikulum Merdeka
Dibaca : 278 kali
3 hari lalu

Menggeliat Usai Berlibur, Memulihkan yang Hilang dalam Pembelajaran
Dibaca : 282 kali
4 hari lalu

Pembunuhan Wartawati Shireen Abu Akleh di Kota Jenin
Dibaca : 327 kali
4 hari lalu

Demokrasi, Kualitas Institusi dan Kualitas Pemerintahan
Dibaca : 323 kali
Senin, 9 Mei 2022 14:36 WIB

Habis Hapsun, (Mungkinkah) Terbit Sensyik dan Selarang?
Dibaca : 358 kali
Sabtu, 7 Mei 2022 18:56 WIB

Melatih Kreativitas Siswa dengan Mind-Mapping
Dibaca : 372 kali
Artikel ini membahas tentang metode belajar mindmapping serta praktik dan manfaatnya bagi siswa
4 hari lalu

Srategi Merencanakan Proses Pembelajaran Pendidikan Jasmani
Dibaca : 406 kali
5 hari lalu

Misi Menghempaskan Tiga Lawan Tersisa dengan Skor Besar
Dibaca : 368 kali
Senin, 9 Mei 2022 18:50 WIB

Citra Laki-Laki dalam Tiga Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A. A. Navis
Dibaca : 348 kali
3 hari lalu
