x

Iklan

Focusinbusiness

Exploring Everything
Bergabung Sejak: 29 Oktober 2021

Jumat, 26 November 2021 20:57 WIB

Balada UMKM di Tengah Pandemi

Dilihat dari sejarah, UMKM memiliki record yang bagus selama krisis ekonomi. Pada krisis keuangan global pada 2008 yang dipicu oleh runtuhnya pasar properti di Amerika Serikat. UMKM dinilai tidak terdampak, karena terbatasnya hubungan UMKM dengan pasar globa, karene tidak tergantung pada modal besar atau pinjaman dari luar dalam mata uang asing.Lantas Bagaima Kondisi UMKM saat pandemi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

     Dilihat dari sejarah, UMKM memiliki record yang bagus selama krisis ekonomi. Pada krisis ekonomi tahun 1997-1998 misalnya, saat krisis keuangan terjadi karena anjloknya nilai tukar rupiah serta hilangnya kepercayaan pasar dan publik UMKM khususnya yang berorientasi pada pasar ekspor dan bahan baku lokal justru mengalami kenaikan keuntungan. Tidak hanya itu, pada krisis keuangan global pada 2008 yang dipicu oleh runtuhnya pasar properti di Amerika Serikat. UMKM dinilai tidak terdampak, karena terbatasnya hubungan UMKM dengan pasar global. Mayoritas UMKM tidak karena mayoritas  tidak tergantung pada modal besar atau pinjaman dari luar dalam mata uang asing.

   Pasca krisis ekonomi, peran UMKM terhadap perekonomian negara pun makin meningkat. UMKM mampu menyerap 85 juta hingga 107 juta tenaga kerja sampai tahun 2012. Bahkan pada tahun 2018 lalu, berdasarkan data BPS kontribusi UMKM terhadap PDB atas dasar harga konstan sebesar 5/721,1 triliun dan naik 22.9% pada tahun berikutnya. Sementara kontribusi UMKM terhadap PDB atas dasar harga berlaku pada 2018 sebesar Rp 9.062,6 triliun. Dan naik 5,7% pada tahun berikutnya yang sebesar Rp 9.580,8 triliun.

 UMKM Indonesia juga berkontribusi untuk menjalankan kegiatan ekonomi khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. UMKM menyerap hampir 90% total tenaga kerja di Indonesia dengan menyediakan 99 persen lapangan kerja. Hal ini terjadi karena, sebanyak 64,2 juta atau 99,99% unit usaha Indonesia adalah UMKM. Rinciannya sebanyak 63,4 juta adalah Usaha Mikro (UMi), 783,1 ribu adalah Usaha Kecil (UK), dan 60,7 ribu Usaha Menengah (UM). Sementara Usaha Besar (UB) hanya sebanyak 5,5 ribu atau 0,01% dari total unit usaha Indonesia. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     Sayang, adanya pandemi memberikan dampak buruk bagi kelangsungan UMKM. Taring UMKM tidak lagi bisa ditunjukkan. Peran UMKM bagi perekonomian Indonesia merosot tajam. 

    Pembatasan aktivitas dalam rangka penanggulangan COVID-19 telah merubah kebiasaan masyarakat. Pembatasan ini membuat masyarakat lebih banyak melakukan aktvitas di rumah dengan memanfaatkan teknologi digital. Hal tersebutlah yang kemudian berdampak pada minat masyarakat mengunjungi dan berbelanja daring atau online meningkat. Data dari Bank Indonesia (BI) mencatat peningkatan tersebut hampir dua kali lipat, dengan jumlah transaksi belanja online melonjak dari 80 juta transaksi pada 2019 menjadi 140 juta transaksi sampai Agustus 2020 (dengan total transaksi senilai Rp 57,89 triliun). Bahkan, di tahun kedua pandemi, peningkatan transaksi menyentuh angka 63,4% dengan total transaksi senilai Rp186,7 triliun. 

   Perubahan kebiasaan di masyarakat ini kemudian mendorong beberapa sektor ikut berubah. Termasuk pada UMKM, sebagai pilar terpenting dalam perekonomian Indonesia, pandemi menjadi masa berat dan penuh tantangan. Sesuai rilis Katadata Insight Center (KIC), mayoritas UMKM (82,9%) merasakan dampak negatif dari pandemi ini dan hanya sebagian kecil (5,9%) yang mengalami pertumbuhan positif. Banyak dari mereka harus gulung tikar karena tidak adanya pemasukan untuk memenuhi kebutuhan selama pandemi karena adanya beberapa kesulitan selama produksi seperti harga bahan baku yang meningkat, bahan baku yang tidak tersedia, pengiriman bahan baku yang lama, proses produksi yang menjadi lama dan banyaknya karyawan yang lebih memilih untuk pulang kampung. Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) UI Alfindra Primaldhi melalui Kompas.com menjelaskan, ada sebanyak 60 persen pelaku UMKM yang mengaku bahwa naiknya harga bahan baku menjadi faktor utamanya. Kalaupun bahan baku ada, proses untuk mendapatkannya yang lama. Lalu faktor yang kedua, adalah banyaknya para pelaku UMKM yang mengalami kesulitan penjualan selama pandemi.  Karena dua faktor tersebut UMKM kesulitan melunasi pinjaman serta membayar tagihan listrik, gas dan gaji karyawan. Bahkan beberapa diantaranya harus melakukan PHK. Oleh sebab itu para pegiat UMKM diharuskan untuk menyesuaikan diri, salah satunya dengan mengembangkan bisnisnya untuk beralih ke online lewat platform e-commerce. Sebab, tingginya minat masyarakat mengunjungi dan berbelanja daring atau online akan membantu UMKM untuk mendapatkan pasarnya lagi. 

   Salah satu UMKM yang harus banting stir dan mengatur strategi ulang untuk memenangkan pasar adalah UMKM Sweet Sundae Ice Cream. Sebelum pandemi, bisnis es krim ini berfokus pada layanan business to business (B2B) dan melayani permintaan dari hotel, restoran, dan kafe (horeka). Namun, saat pandemi sektor ini  menjadi salah satu sektor yang paling keras terpukul. Akibatnya, permintaan produk milik UMKM yang bergerak di pengolahan susu sapi lokal ini juga ikut turun. Untuk bisa bertahan, pihaknya pun mengubah fokus bisnis menjadi  B2C (business to consumer). Sweet Sundae Ice Cream kemudian memanfaatkan ranah e-commerce. Beberapa produk kemudian diolah agar bisa diterima di pasar online. Seperti penyajiannya yang dibuat agar lebih tahan lama, atau diolah menjadi susu bubuk.  

   Sebenarnya, beralihnya UMKM ke ranah online melalui platform e-commerce bukanlah hal baru, sebab di tahun sebelum merebaknya covid, tercatat sudah ada 8 juta UMKM yang merambah platform online. Jumlah ini kemudian bertambah hampir dua kali lipat  dibandingkan sebelumnya, yakni  menjadi 15,9 juta saat pandemi covid-19 merebak. Sayang, platform online tidak selalu menjamin kondisi UMKM membaik. Ada UMKM yang bisa bangkit semenjak bergabung dengan platform online . Salah satu contoh UMKM yang berhasil meraup keuntungan sejak bergabung dengan platform online adalah Dimsum 49. Berdasarkan keterangan di kumparan.com, Dimsum 49 mengalami pertumbuhan hingga tiga kali lipat bahkan dapat membantu karyawan yang terkena PHK dan ibu-ibu rumah tangga untuk tetap bisa mendapatkan penghasilan selama pandemi. Hal ini dikarenakan pemiliknya telah membaca potensi bisnis dimsum melalui platform marketplace. Bahkan usaha yang awalnya hanya membutuhkan modal 500 ribu ini mampu mempekerjakan 300 karyawan.

   Sayang, tidak semua UMKM yang bergabung dengan online platform mampu bangkit. Paksi Pratama misalnya, walapun sudah beralih ke platform online, usahaya tetap sepi. Sudah lebih dari setahun sejak Paksi menghentikan produksi sablon kaosnya di Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Pasalnya, merebaknya Covid-19 dan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan banyaknya pembatalan permintaan akhirnya menyulitkan dia untuk mencari customer untuk menjual hasil sablonan kaosnya. Kalaupun ada, kadang pembeli meminta harga teralu murah. Padahal sudah 5 tahun terakhir, Paksi memilih untuk tidak bekerja di perusahaan dan menekuni usahaya dibidang percetakan dan sablon. Bahkan, sebelum pandemi menerjang, ia bisa mendapat pesanan minimal 50-100 pieces kaos yang disablon. 

Dukungan Swasta? 

    Melihat adanya potensi dan kesulitan yang dimiliki UMKM, beberapa perusahaan swasta melaksanakan sejumlah inisiatif untuk membantu UMKM, terutama perusahaan yang memang berfokus pada E-Commerce/Market Place. Seperti, Bukalapak yang memberikan dukungan berupa kategori makanan dan kesehatan dengan memberikan Cashback biaya berlangganan fitur Super Seller. Kemudian memberikan ongkir Rp 0, meluncurkan program promo spesial agar pembeli dapat lebih mudah menemukan produk-produk kesehatan, hingga akses ke BukaBantuan selama 24 jam. Selain Bukalapak, ada juga Grab Indonesia yang bekerjasama dengan Kemenkop UKM untuk menyelenggarakan berbagai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan UMKM dan menghadirkan berbagai dukungan program digitalisasi bagi pelaku UMKM tanah air. Dengan bekal keterampilan digital, para UMKM diharapkan tidak hanya dapat melahirkan inovasi-inovasi produk dan layanan yang dapat menjawab berbagai kebutuhan konsumen, tapi juga memiliki peluang untuk meningkatkan ketahanan bisnis serta mendapatkan peluang pendapatan baru berkat akses ke pasar yang lebih luas. Serta ada PT ZBRA Tbk yang terus berupaya membantu dalam mendorong digitalisasi UMKM di Indonesia, terutama di Solo, Jawa Tengah melalui iPanganandotcom. Yang mana akan menjamin kelancaran pengiriman produk UMKM hingga mengoptimalkan berbelanja bahan kebutuhan pokok dengan praktis serta cepat lewat gudang-gudang pangan yang tersebar di seluruh pelosok negeri.

Lantas Bagaimana Peran Negara?

   Tidak hanya pihak swasta, pemerintah juga berinisiatif membantu UMKM untuk bangkit, yakni menyediakan insentif dukungan bagi UMKM melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sejak 2020 yang masih berlanjut di sampai sekarang. Dana yang dikucurkan melalui PEN untuk UMKM sebesar Rp 112,84 triliun telah dinikmati oleh lebih dari 30 juta UMKM pada tahun 2020. Sementara untuk tahun 2021, Pemerintah juga telah menganggarkan PEN untuk mendukung UMKM dengan dana sebesar Rp 121,90 triliun untuk menjaga kelanjutan momentum pemulihan ekonomi. Pemerintah juga terus berupaya mendorong para pelaku UMKM untuk on board ke platform digital melalui Program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), dimana hingga akhir 2020 sudah terdapat 11,7 juta UMKM on boarding. Di samping itu, Pemerintah juga mendorong perluasan ekspor produk Indonesia melalui kegiatan ASEAN Online Sale Day (AOSD) di 2020.

Bagaimana Nasib UMKM Saat Ini? 

  Setelah adanya bahu membahu antar pihak swasta dan pemerintah, secercah harapan terkait bangkitnya UMKM pun mulai terlihat. Di kutip dari Tirto.id, Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo), Ikhsan Ingratubu mengatakan bahwa UMKM mulai terlihat mulai menggeliat pada Juli 2021, seiring adanya pelonggaran PPKM Darurat. Survei Mandiri Institute yang dilakukan pada Maret - April 2021 pun juga mengungkapkan hal yang sama. Sebanyak 85 perseb responden UMKM menjawab bahwa kondisi usaha mereka sudah berjalan normal pada awal kuartal II 2021. Survei ini dilakukan terhadap 505 UMKM di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan beberapa provinsi di Indonesia bagian timur. Peningkatan ini cukup signifikan dibandingkan pada kuartal sebelumnya, karena pada September 2020 lalu hanya 28 persen UMKM yang usahanya bisa survive dan terhitung normal. 

Survei Asian Development Bank pun juga menghasilkan data yang sama, bahwa secara nasional pelaku UMKM yang harus tutup selama pandemi telah berkurang. Usaha kecil, menengah dan mikro yang sebelumnya harus tutup sementara mengalami penurunan. Proporsi UMKM yng tidak mencatat laba sama sekali juga turun secara keseluruhan.  

Bagaimana Langkah Selanjutnya?

   Walaupun semuanya telah membaik, masih akan terus ada resiko penurunan yang mungkin terjadi lagi kedepannya. Terlebih jika gelombang pandemi masih terus terjadi dan kemungkinan PSBB ataupun PPKM akan berlanjut. Salah satu jalan yang bisa diambil pemerintah untuk menghindari adanya penurunan lagi adalah degan mendorong adanya kebijakan yang dapat mempermudah para UMKM untuk menjual produknya pada konsumen. Yang mana hal ini bisa dilakukan jika pemerintah bekerjasama dengan pihak yang menyediakan platform digital.

    Kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta bisa dilakukan dalam berbagai bidang yang mendukung UMKM. Seperti pelatihan dalam bidang pemasaran daring, bisnis digital hingga legalisasi bisnis. Sehingga UMKM bisa berbenah untuk menyusun strategi baru ataupun mengakses pasar baru agar bisa beradaptasi dengan kondisi pandemi.

  Dilihat dari data terakhir, hanya sekitar 17 persen UMKM yang menerima bantuan dari pemerintah. Yang mana hal ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah agar lebih liar lagi dalam memasarkan/mengiklankan program bantuan yang disediakan, supaya ke depannya lebih banyak UMKM yang mendapatkan bantuan.  

  Atau jika memungkinkan, pemerintah harusnya bisa memanfaatkan perusahaan milik negara seperti Bulog untuk menyerap produk UMKM di daerah-daerah dengan membuatkan platform khusus. Yang mana platform inilah yang akan dijadikan sebagai "tengkulak" untuk produk UMKM. Sehingga produk UMKM khususnya yang berada di daerah-daerah bisa lebih dikenal. 

 



Ikuti tulisan menarik Focusinbusiness lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu