x

Foto diambil pada saat Upacara Bendera di SMAN 1 Pringgasela

Iklan

Ashhabul Yamin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Senin, 29 November 2021 10:28 WIB

Merdeka Belajar dan Transformasi Pendidikan Indonesia

Kebijakan Merdeka Belajar telah digulirkan dan saat ini tengah berlangsung. Saya lebih tertarik menyebutnya Rangkaian Kebijakan Merdeka Belajar. Ya, karena kebijakan ini terdiri dari beberapa rangkaian kebijakan strategis. Sebut saja Penghapusan Ujian Nasional, Asesmen Nasional, Kampus Merdeka, RPP Merdeka Belajar, Program Guru Belajar, Program Guru Penggerak, Program Sekolah Penggerak, dan berbagai kebijakan strategis lainnya yang digulirkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam ikhtiar mewujudkan transformasi pendidikan Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Merdeka Belajar dan Transformasi Pendidikan Indonesia

Oleh : Ashhabul Yamin, S.Pd

(Guru PPKn SMAN 1 Pringgasela Kab. Lombok Timur-NTB)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

“Perubahan tidak akan terjadi jika kita menunggu orang lain dilain waktu.

Kita adalah satu-satunya orang yang kita tunggu.

Kita adalah perubahan yang kita cari.”

(Barack Obama)

 

Kebijakan Merdeka Belajar telah digulirkan dan saat ini tengah berlangsung. Saya lebih tertarik menyebutnya Rangkaian Kebijakan Merdeka Belajar. Ya, karena kebijakan ini terdiri dari beberapa rangkaian kebijakan strategis. Sebut saja Penghapusan Ujian Nasional, Asesmen Nasional, Kampus Merdeka, RPP Merdeka Belajar, Program Guru Belajar, Program Guru Penggerak, Program Sekolah Penggerak, dan berbagai kebijakan strategis lainnya yang digulirkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam ikhtiar mewujudkan transformasi pendidikan Indonesia.

Mengapa merdeka belajar dan mengapa transformasi pendidikan?

Saya akan memulai dengan mengulik tiga makna merdeka, yakni tidak hidup terperintah, berdiri tegak karena kekuatan sendiri, dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Berpijak pada ketiga makna merdeka tersebut, maka dapat kita temukan satu kesimpulan teramat penting yakni kemerdekaan itu motivasi kuatnya bukan dari luar, namun ia sejatinya merupakan dorongan kuat dari dalam atau yang kita sebut sebagai motivasi instrinsik. Motivasi instrinsik adalah anugerah yang bersumber dari kekuatan di dalam diri, bukan dari luar. Mari coba kita buka sejarah, bukankah kemerdekaan Negara Indonesia ini atas dorongan kuat dan perjuangan berdarah-darah para pejuang yang pada akhirnya berhasil melalui peristiwa Rengasdngklok yang tersohor itu. Meskipun kitapun tak menampik bahwa sempat ada janji yang diberikan oleh Jepang untuk kemerdekaan Indonesia ketika itu, namun sekali lagi saya sampaikan, ujung-ujungnya kalau bukan karena jerih payah dan perjuangan para pahlawan bangsa, maka tidak akan terjadi Proklamasi Kemerdekaan  Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di sebuah rumah yang beralamat di Jalan Pengangsaan Timur Nomor 56 Menteng Jakarta kala itu.

Dalam sebuah obrolan ringan saya bersama seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan program Pasca Sarjananya di salah satu Perguruan Tinggi ternama di Yogyakarta. Ia berujar kurikulum di Indonesia ini ganti menteri ganti kurikulum. Jadi tidak ada konsep yang jelas lanjutnya. Padahal menurutnya bagaimanapun bagus kurikulum, jika gurunya tidak bergerak, maka tidak akan berjalan kedepan pendidikan Indonesia. Walhasil saya menggaris bawahi pada pernyataannya yang terakhir. “Bagaimanapun bagus kurikulum, jika gurunya tidak bergerak, maka tidak akan berjalan kedepan pendidikan Indonesia.” Hemat saya inilah kalimat kuncinya. Guru adalah bagian paling dalam dan terdepan dalam pendidikan. Sehebat dan sebagus apapaun kurikulum, jika gurunya tidak bergerak, maka pendidikanpun tidak akan bergerak dan beranjak kedepan. Dalam konteks ini, pemerintah sejatinya harus menyiapkan kebijakan yang fokus dan lokusnya membantu, serta memberikan pertolongan kepada para guru di garda terdepan agar ruang geraknya merdeka dan dengan satu tarikan nafas juga memerdekakan siswanya dalam belajar.

Gurupun tidak boleh alergi dengan perubahan. Mengamati perubahan tatanan kehidupan dan kebijakan yang kian cepat di abad 21 ini, hemat saya disinilah kemampuan adaptasi terhadap perubahan guru sedang diuji. Nothing endures but change, tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri (Heraclitos, 540-480 SM), maka pilihan bijak yang harus kita tempuh sebagai guru adalah berdamai dan bersahabat dengan perubahan itu. Seperti untaian indah yang juga disampaikan oleh seorang pujangga Melvin Tolson (1898-1966) “karena kita hidup di alam semesta yang berubah-ubah, mengapa kita harus menentang perubahan?”.

Pendidikan yang memerdekakan mengadopsi filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara. Ya, Ki Hajar Dewantara yang merupakan Bapak Pendidikan Indonesia memiliki pemikiran visioner tentang pendidikan Indonesia. Menurutnya Pendidikan adalah ‘Menuntun’. Menuntun anak sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Siapa Ki Hajar Dewantara? Bukankah ia adalah putra bangsa kita? Inipun merupakan satu bukti kuat bahwa konsep pendidikan kita tidak perlu mengadopsi jauh-jauh, karena putra bangsa Indonesia sendiri telah memiliki konsep yang visioner dan tentu saja relevan dengan konteks kebangsaan Indonesia. Sungguh banyak dan teramat banyak konsep diluar sana yang bagus dan sungguh teramat bagus. Namun pertanyaan selanjutnya, apakah relevan jika diterapkan dengan kondisi sosiologis, geografis, dan kultur sebesar bangsa Indonesia ini?

Merdeka belajar berprinsip bahwa semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah sumber belajar. Merdeka belajar adalah untuk semua, bukan hanya membelajarkan siswa, namun gurupun sejatinya harus terus menerus belajar. Seorang guru harus memiliki kesadaran dalam diri untuk terus menerus mengembangkan diri (self regulated learning).

Dalam membelajarkan siswa, seorang guru sejatinya berpijak pada filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan yang memerdekakan memandang ”Setiap anak itu beda, setiap anak itu unik, perbedaan dan keunikan itulah yang akan menjadi keunggulan mereka kini dan kelak.” Pendidikan yang memerdekakan sejatinya menjadi penghubung antara sekolah dengan kehidupan nyata siswa. Konsep yang didapatkan disekolah sejatinya menjadi bekal bagi siswa dalam menjalankan perannya sebagai anggota di keluarganya, masyarakatnya, juga bangsanya. Guru harus menemukan irama dalam mendidik agar tetap terjaga motivasi dan kebahagiaannya dalam belajar. Tentu saja itu bukan perkara mudah, namun jika konsep merdeka belajar benar-benar dilaksanakan, maka hal itu bukan tidak mungkin untuk diraih.

Secara obyektif saya begitu terkesan dengan alur ‘Merrdeka’ yang harus dilalui oleh Calon Guru Penggerak dalam perjalanannya mengikuti Pendidikan Program Guru Penggerak yang merupakan salah satu dari rangkaian kebijakan merdeka belajar.  Alur ‘Merrdeka’ yang merupakan akronim dari Mulai dari diri, Eksplorasi konsep, Ruang Kolaborasi, Refleksi terbimbing, Demontrasi kontekstual, Elaborasi pemahaman, Koneksi antar materi, dan Aksi nyata. Alur tersebut semakin menguatkan saya bahwa merdeka itu adalah mulai dari diri. Tidak berlebihan saya sampaikan mulai dari diri itu adalah hadiah terbaik bagi diri sendiri dalam diri, bukan dari orang lain.

Selanjutnya berbicara tentang transformasi pendidikan Indonesia, izinkan saya menyajikan data yang dikutip dari laman portal program Guru Belajar Kemdikbud menyebutkan bahwa hasil PISA membuktikan kemampuan belajar siswa pada pendidikan dasar dan menengah kurang memadai. Pada tahun 2018, sekitar 70% siswa memiliki kompetensi literasi membaca di bawah minimum. Sama halnya dengan keterampilan matematika dan sains, 71% siswa berada di bawah kompetensi minimum untuk matematika dan 60% siswa di bawah kompetensi minimum untuk keterampilan sains. Skor PISA Indonesia stagnan dalam 10-15 tahun terakhir. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang konsisten dengan peringkat hasil PISA yang terendah.

Transfromasi pendidikan adalah perubahan kearah kemajuan pendidikan Indonesia yang telah lama mengalami stagnasi. Transfromasi pendidikan memandang bahwa zaman terus berubah dengan cepatnya, namun pendidikan Indonesia masih cenderung jalan ditempat. Bahkan menurut hemat saya stagnasi ini telah menunjukkan trend negatif dimana kecenderungannya terus menggerus bargaining position pendidikan Indonesia di mata dunia. Maka ikhtiar transformasi pendidikan adalah sebuah hal yang niscaya untuk dijadikan tujuan besar dan dengan tarikan satu nafas menjadi proses yang terus menerus ditempuh dengan praktik-praktik baik para guru digarda terdepan. Lantas proses transformasi pendidikan inipun sejatinya memiliki ritme yang seirama dengan kebutuhan dan perkembangan zaman di abad 21. Transformasi pendidikan yang kemudian hadir adalah adanya proses pembelajaran yang benar-benar berpihak pada murid.

Hemat saya, pemberlakuan kebijakan Asesmen Nasional sebagai salah satu rangkaian dari kebijakan merdeka belajar, dengan melihat implementasinya dalam pembelajaran, maka pembelajaran yang menjejali siswa dengan materi hafalan tentu sudah tidak relevan lagi dengan konteks abad 21. Sudah saatnya pembelajaran mulai mengulik kemampuan berfikir anak dengan menggunakan model problem based learning dan project based learning.

Model pembelajaran seperti problem based learning dan project based learning sangat saya rekomendasikan untuk diterapkan diabad 21 ini. Kedua model tesebut memiliki persamaan juga perbedaan. Yang paling utama adalah kedua model pembelajaran tersebut melatih siswa untuk kritis terhadap setiap masalah dan mengeksplorasi kemampuan berfikirnya untuk menawarkan gagasan ide sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Hanya saja yang menjadi kekuatan project based learning adalah pada ranah aktualisasinya, di mana model project based learning siswa telah dihadapkan pada permasalahan yang real terjadi di lingkungan sekitar siswa, sehingga solusi yang dihasilkan oleh siswa langsung dapat dirasakan dampak positifnya oleh lingkungannya, sementara model problem based learning masih pada tataran permasalahan yang diadopsi dari luar lalu kemudian dihadirkan didalam kelas untuk bersama-sama dielaborasi guna menawarkan berbagai alternatif solusi.

Melabeli siswa gagal ketika mendapatkan nilai rendah tentu saja sangat bertolak belakang dengan esensi pendidikan yang memerdekakan. Jika kita boleh berandai-andai, seandainya ada ujian bagi hewan, maka seekor kuda akan selalu dianggap bodoh, gagal dan tidak akan peranh lulus jika tesnya adalah ujian memanjat. Mari coba kita mengingat untaian indah “Tidak ada siswa yang bodoh, yang ada hanya guru yang belum menemukan metode terbaik dalam mengajar.” Dalam kerangka inilah seorang guru harus senantiasa mengimplementasikan sikap belajar sepanjang hayat. Menjadi guru sejatinya membantu siswa memiliki kompetensi yang pada gilirannya nanti dapat menuntun siswa menjadi manusia yang berfikir kritis, kreatif, dan cakap menghadapi tantang hidup di abad 21. Terkait ini Williams (2003) mengungkapkan “Sekedar mengingat tidak cukup untuk seseorang yang hidup di abad 21.”

Terdapat tiga elemen dasar yang dibutuhkan dalam mewujudkan transformasi pendidikan di abad 21, yakni inisiatif praktik baik, pemimpin, dan pengikut.

  1. Inisiatif praktik baik

Inisiatif praktik baik adalah aspirasi yang jelas, spesifik, dan mudah untuk dilaksanakan.

Inisiatif praktik baik yang dilakukan dapat dikembangkan dengan pendekatan piramida terbalik. Pendekatan piramida terbalik adalah sebuah pendekatan yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi guru untuk melakukan inisiatif praktik baik. Pendekatan piramida terbalik menegaskan, bahwa inisiatif praktik baik tidak harus dimulai dari pemerintah dalam bentuk regulasi atau kebijakan. Inisiatif praktik baik juga sesungguhnya dapat dimulai dari tingkat akar rumput yakni para guru dan pegiat pendidikan dilevel paling bawah. Bahkan kekuatan yang dihasilkan oleh inisiatif praktik baik dengan pendekatan piramida terbalik akan jauh lebih besar, karena berbasis dampak dan bukti yang dapat dirasakan langsung. Pemerintah dalam konteks ini tinggal menangkap inisiatif praktik baik yang berdampak tersebut dengan melakukan penguatan melalui regulasi dan kebijakan.

Guru harus memulai dengan praktik baik sekecil apapun itu, namun tetap dilakukan konsisten. Memulai mencoba menerapkan model pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan hidup siswa. Sang guru harus meyakinkan seluruh siswanya bahwa konsep yang ia pelajari disekolah sangat relevan dan memiliki kebermanfaatan baginya dalam menjalankan perannya sebagai anggota di keluaragnya, masyarakatnya, juga bangsanya. Dengan demikian, maka siswa merasakan keberadaannya bermakna dan dihargai di lingkungnnya.

 

  1. Pemimpin

Inisiatif praktik baik harus ada yang memulai dan memimpin. Guru sejatinya harus memulai dan memimpin langsung inisiatif praktik baik yang dapat mewujudkan budaya positif dilingkungan sekolah sesuai kapasitas masing-masing. Gurupun sejatinya harus mampu menangkap kekuatan dan potensi yang dimiliki sekolah, menyelaraskannya sehingga mampu memburamkan kelemahan sekolah. Guru senantiasa harus berfikir bahwa setiap yang dimiliki oleh sekolah adalah aset sekolah terlepas itu adalah kekuatan maupun kelemahan sekolah.

Dalam memimpin sebuah inisiatif praktik baik, hal paling pertama yang harus dibangun oleh seorang guru adalah membangun dan memperkuat integritas dan kapasitas diri. Integritas dan kapasitas tersebut hanya bisa dibangun dengan membuat lingkungan percaya. Dalam kalimat yang sedikit frontal, ketika orang sudah percaya dengan anda, maka lakukan apapun yang anda suka.

 

  1. Pengikut

Tidak berlebihan jika saya berpendapat bahwa banyaknya pengikut dari praktik baik adalah indikasi kuat bahwa praktik baik tersebut telah berhasil. Ukurannya adalah dampak dan bukti. Semakin banyak pengikut, maka akan semakin menguatkan bahwa praktik baik tersebut memang terbukti baik dan layak untuk diperjuangkan. Ketika ini terjadi, maka akan semakin menguatkan inisiatif praktik baik dan kepemimpinan yang tengah berlangsung. Dalam gaung keberhasilan inilah, pemerintah sebagai pengambil kebijakan harus menangkap praktik baik tersebut untuk dikuatkan dengan regulasi menjadi sebuah kebijakan yang kuat dalam asepk yuridis.

Dalam transformasi budaya positif sekolah, menjadi pengikut tidak berarti menjadikan posisi seseorang rendah atau dibelakang, seorang pengikut juga harus open minded dan mengedepankan berfikir aset. Tidak ada ego dalam diri, karena seorang pengikut percaya bahwa praktik baik akan menjadi kekuatan besar jika dilaksanakan dengan kolaborasi dan refleksi bersama. Jadi menjadi pengikut sekalipun, telah cukup membuktikan bahwa seorang guru setidaknya telah memiliki kompetensi mengembangkan diri dan orang lain (self regulated learning).

Sikap apatis terhadap sebuah inisiatif praktik baik hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang tertutup, alergi terhadap perubahan, dan merasa sudah cukup hebat dengan apa yang dilakukan saat ini. Padahal sejatinya pengembangan diri harus terus menerus dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan lajunya perkembangan zaman. Penulis teringat dengan sebuah ungkapan  sederhana yang sangat menyentuh hati saya sebagai guru, “Guruku jangan pernah berhenti belajar, jika ingin terus mengajar.”

Ketiga elemen dasar tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tanpa inisiatif, seorang pemimpin tidak memiliki aspirasi jelas yang harus diperjuangkan, serta jelas tidak akan memiliki pengikut. Maka para guru digarda terdepan pendidikan sejatinya memiliki inisiatif yang jelas dan mudah untuk dieksekusi. Transfromasi pendidikan dalam rangka mengupayakan budaya positif disekolah bukanlah hal yang mudah, namun bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. Progresnyapun akan membutuhkan waktu dan biasanya akan bersifat gradual. Kurva progresnya akan menunjukkan kurva anak burung, cenderung landai dan perlahan menanjak naik.

Ikuti tulisan menarik Ashhabul Yamin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu