x

Buku berjudul Homo Sapiens, karya Yuval Noah Harari

Iklan

Valeri Timoti Hamise

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 November 2021

Sabtu, 4 Desember 2021 05:51 WIB

Merdeka Belajar, Merdekakah Pikiran?

Di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat, sekolah dituntut dapat menghasilkan pribadi yang mampu bersaing di kancah internasional. Adaptasi pemerintah lewat perubahan kurikulum memberi tanda bahwa hal ini merupakan permasalahan krusial. Namun, pola pikir peserta didik, orang tua, dan bahkan guru menjadi salah satu permasalahan yang harus diselesaikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Revolusi Industri 4.0 membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Manusia dipaksa bergulat melawan cepatnya arus perkembangan teknologi. Pendidikan meripakan salah satu bidang yang terkena dampak dari perkembangan teknologi. Berbagai aplikasi (software) yang menunjang pendidikan mulai bermunculan gina menopang efektivitas dan efisiensi sistem pendidikan di era modern ini. Zoom, Microsoft Teams, Google Classroom, dan bahkan untuk media sosial raksasa seperti Youtube dapat digunakan untuk menunjang pembelajaran.

Reformasi Pendidikan ini bertujuan untuk memaksimalkan segala sumber daya yang ada untuk memajukan Pendidikan ke arah yang lebih baik dan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Selain faktor eksternal berupa perkembangan teknologi yang membawa perubahan dalam dunia pendidikan, faktor internal berupa kurikulum juga berubah. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat tuntutan zaman sangatlah besar terhadap generasi muda agar dapat bersaing di kancah internasional. Revolusi Industri 4.0 membawah dampak negative berupa pergeseran beberapa pekerjaan yang menjadi mata pencaharian manusia (Morra, Arman, & Mousa, 2021). Sharoom dan Hussin (2018) menyampaikan bahwa sekolah perlu menghasilkan lulusan yang kreatif dan mampu berpikir kritis agar dapat bersaing dengan mesin, dan bahkan dengan A.I (Artificial Intelligence) pada revolusi industri 5.0 yang sudah mulai dibicarakan.

            ‘Merdeka Belajar’ yang menjadi program yang dikumandangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang terkristalisasi dalam program kurikulum ‘Sekolah Penggerak’ bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang kreatif dan bernalar kritis yang tercantum dalam ‘profil pelajar Pancasila’ merupakan jawaban atas revolusi industri 4.0 dan tantangan revolusi industri 5.0 yang akan datang. Bukan hanya itu, tapi terjadi perubahan paradigmatis di jenjang yang lebih tinggi, yaitu dalam perkuliahan dengan adanya program ‘Merdeka Belajar’ (Siregar, Sahirah, & Harahap, 2020). Kurikulum Sekolah Penggerak sudah mulai diterapkan diberbagai sekolah diseluruh penjuru Indonesia dan bahkan, tahun 2022 ‘Sekolah Penggerak’ akan diterapkan diseluruh sekolah di Indonesia (Zulfikar, 2021). Perubahan yang cepat ini menunjukkan urgensi pemerintah dalam membenahi kurikulum di Indonesia agar dapat menghasilkan lulusan yang mampu melawan arus perkembangan teknolgi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Perubahan-perubahan yang terjadi tentu saja membawa harapan bahwa Indonesia mampu bersaing di kancah internasional dengan tenaga kerja yang tumbuh lewat pendidikan. Namun, terlepas upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam memfasilitasi sekolah lewat faktor eksternal berupa akses terhadap informasi global, serta perubahan kurikulum, ada permasalahan internal yang cukup krusial dalam dunia pendidikan. Permasalahan internal yang masih ada di Indonesia saat ini adalah adanya ‘hirarki’ dalam mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Sebagai contoh mata pelajaran Matematika dianggap jauh lebih penting dibandingkan mata pelajaran Seni dan Budaya oleh peserta didik, orang tua, dan mungkin guru juga.

Biasanya, mata pelajara umum seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pendidikan Agama, dan PPKn dianggap sebagai mata pelajaran terpenting. Mengikuti di bawahnya adalah mata pelajaran jurusan seperti, Ekonomi, Sosiologi, Fisika, Biologi, dan Kimia, serta untuk hirarki terbawah atau yang paling tidak ‘penting’ adalah mata pelajaran mulok seperti Pendidikan Olahraga dan Kebugaran Jasmani, Prakarya, serta Seni dan Budaya. Pola pikir di atas tentu saja miris dan tidak akan membawa Indonesia menghasilkan lulusan yang kreatif dan bernalar kritis. Masing-masing mata pelajaran memiliki keunikan, konten, konteks, dan penekanannya masing-masing. Pandangan orang tua misalnya pada zaman dulu yang menganggap bahwa satu-satunya jalan menjadi orang sukses adalah dengan menjadi dokter, jaksa, hakim, ataupun PNS sudah tidak berlaku pada abad ini. Pada saat ini ketika kita berbicara mengenai profesi, revolusi industri 4.0 membawa banyak pilihan karir baru seperti Youtuber, social media analyzer, dan bahkan Progamer, yang mana pada zaman dulu profesi tersebut tidak terpikirkan sama sekali akan muncul. Dengan menekuni Seni dan Budaya contohnya seseorang dapat membuat konten dalam media sosial yang mengangkat kesenian dan budaya lokal yang dapat menjadi nilai jual bagi konsumen online. Jadi, penting atau tidaknya suatu mata pelajaran ditentukan oleh tujuan masing-masing individu kedepan.

                Diharapkan untuk kedepan, pemerintah dapat mencari jalan keluar untuk menyelesaikan pola pikir zaman dulu yang belum ‘merdeka’ ini, di tengah tuntutan zaman yang sudah berbeda. Lewat program ‘Merdeka Belajar’, pemerintah diharapkan dapat menyediakan kurikulum yang mampu mengakomodasi kebutuhan peserta didik, dan mampu menyadarkan orang-orang terkait permasalahan ‘hirarki’ yang telah dibahas. Dibutuhkan tenaga kerja yang kreatif dan bernalar kritis agar dapat bersaing di kancah internasional, dan dengan pola pikir yang bermasalah di atas, tenaga kerja yang akan bermunculan dari kurikulum yang ada adalah tenaga kerja yang monoton, yang tidak memiliki kreativitas dan keunikan yang dapat ditawarkan sebagai nilai jual yang menarik. Pola pikir yang terdoktrin di atas tidak akan mampu bersaing dengan dunia yang semakin lama semakin canggih ini, yang tahun demi tahun terjadi perubahan, penemuan dan gebrakan baru.

Daftar Pustaka 

Morrar, R., Arman, H. & Mousa, S. (2021). The Fourth Industrial Revolution (Industry 4.0): A Social Innovation Perspective. Retrieved 1 December 2021, from http://doi.org/10.22215/timreview/1114

Shahroom, A., & Hussin, N. (2018). Industrial Revolution 4.0 and Education. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences8(9). doi: 10.6007/ijarbss/v8-i9/4593

Siregar, N., Sahirah, R., & Harahap, A. (2020). Konsep Kampus Merdeka Belajar di Era Revolusi Industri 4.0. Fitrah: Journal of Islamic Education1(1), 141-157. doi: 10.53802/fitrah.v1i1.13

Zulfikar, F. (2021). Siap-siap! Tahun 2022 Kurikulum Bakal Diganti. Retrieved 1 December 2021, from https://www.detik.com/edu/sekolah/d-5835527/siap-siap-tahun-2022-kurikulum-bakal-diganti

Ikuti tulisan menarik Valeri Timoti Hamise lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler