Bukan Kertas Kosong: Literasi Matematika, Tunas Semangat Merdeka Belajar di Pelosok Negeri

Sabtu, 4 Desember 2021 20:34 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai pendidik hendaknya memiliki kreasi dan inovasi dalam merancang sumber belajar. Rendahnya akses internet bukan halangan untuk berliterasi matematika. Berawal dari literasi matematika, akan tumbuh tunas semangat merdeka belajar di pelosok negeri.

Tidak sedikit siswa yang menganggap matematika itu sulit, susah dipahami, kaku dan dipenuhi dengan rumus-rumus. Seolah-olah kalau bertemu pelajaran matematika, siswa sudah angkat tangan duluan, sudah menyerah sebelum mempelajarinya. Benar, bukan?

Tidak Jarang matematika menimbulkan kecemasan siswa. Kecemasan inilah yang menjadikan siswa pasif dalam proses belajar di sekolah. Sering kita melihat siswa takut dalam mengemukakan pendapat, takut menjawab salah, dan takut ditertawakan temannya. Tidak hanya itu saja, perasaan cemas siswa sering terbawa-bawa dalam dunia maya. Baru-baru ini sering kita jumpai siswa membuat tullisan di akun media sosialnya yang mengatakan “matematika itu mudah, sebelum x dan y menyerang”. Lucu ya? Terdengar lucu, namun jika dipahami ini merupakan curahan hati yang sebenarnya dirasakan oleh siswa.

Semakin tinggi jenjang pendidikan, materi matematika semakin abstrak. Jika tidak disajikan masalah kontekstual, materi akan semakin susah dipahami karna jauh dari lingkungan siswa dan kehidupan nyata. Hal inilah yang menjadikan belajar matematika menjadi tidak bermakna. Sehingga siswa hanya mampu mengingat sebentar saja. Siswa masih belum terampil mengembangkan pikirannya. Seperti kertas kosong yang ditulis, lalu beberapa menit kemudian tulisan itu terhapus dengan sendirinya.

Kecemasan siswa belajar matematika ditimbulkan oleh ketidakmampuan siswa dalam mengaitkan materi dengan masalah nyata. Hal ini dapat dikatakan literasi matematika siswa masih minim. Secara sederhana arti literasi adalah bacaan. Sedangkan Literasi matematika merupakan kemampuan menerapkan pengetahuan matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari secara lebih baik dan efektif. Literasi matematika memerlukan bahan bacaan yang luas, dan akses keterbukaan informasi dari berbagai media dan sumber belajar.

Lalu bagaimana penerapan literasi matematika di sekolah pelosok negeri?

Permasalahan yang dihadapi sekolah di daerah pelosok sangat kompleks. Mulai dari masalah ketersediaan internet, hingga media belajar yang kurang memadai. Dengan segala keterbatasan, pendidikan tetap harus dilaksanakan sesuai standar proses. Disinilah peran pendidik sangat diperlukan untuk meningkatkan literasi matematika. Yaitu, dengan cara menerapkan sekolah merdeka belajar.

Bagi sekolah, merdeka belajar memiliki arti kebebasan dalam berkreasi dan berinovasi dalam proses belajar mengajar. Pendidik dianjurkan untuk tidak bersikap monoton dan lebih berorientasi kepada siswa. Kebebasan belajar juga diartikan kebebasan dalam berpikir yang harus dimulai oleh pendidik terlebih dahulu sebelum ditanamkan pada siswa. Pendidik aktif mengamati karakteristik siswa, mendengarkan pendapat siswa, maupun kesulitan siswa yang diperlukan untuk merancang pembelajaran yang sesuai dan efektif.

Siswa dapat berdiskusi lebih dalam dengan guru maupun dengan temannya dan belajar dengan mengamati lingkungan sekitar yang tidak hanya mendengarkan penjelasan dari guru saja. Mereka bereksplorasi bebas sehingga mendapatkan wawasan baru, baik dari guru ataupun dari lingkungan sekitar. Dengan kondisi ini, jiwa siswa akan nyaman, perasaan cemas akan hilang dan mudah menerima pelajaran selanjutnya.

Jika dikaitkan dengan literasi matematika, konsep merdeka belajar sangat relevan untuk diimplementasikan. Apalagi berada di daerah pelosok yang sangat minim akses informasi. Pendidik berperan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa dalam berliterasi. Tugas pendidik yaitu mengumpulkan sumber belajar, informasi, data dan fakta maupun lingkungan belajar secara kontekstual untuk diamati, dan dieksplorasi oleh siswa sebagai bahan pembelajaran dalam berliterasi matematika. Pendidik harus kreatif dalam merancang sumber belajar. Bukan hanya karna akses internet minim, sumber belajar menjadi kaku dan terpaku pada buku pelajaran. Pendidik mengumpulkan sumber belajar bisa melalui pengalaman hidup pendidik, pemandangan sekitar, kejadian yang pernah terjadi di lingkungan sekitar, seperti kehidupan sosial-ekonomi maupun fenomena alam yang pernah terjadi di lingkungan tersebut. Sehingga sumber belajar untuk berliterasi menjadi luas dan fleksibel.

Sumber belajar yang luas dan dikaitkan terhadap lingkungan sekitar, akan memicu siswa untuk mengemukakan pendapat, berdiskusi, dan saling mengguatkan satu sama lain. Sehingga proses pembelajaran menjadi kondusif. Suasana belajar matematika menjadi nyaman. Siswa berpendapat penuh semangat tanpa ada rasa takut di tertawakan. Interaksi dan komunikasi menjadi nyaman baik antar siswa maupun antar pendidik dan siswa. Yang sebelumnya matematika hanya disajikan rumus dan contoh soal, sekarang berubah menjadi pembelajaran matematika perspektif lingkungan sekitar dengan berliterasi matematika. Dengan kondisi ini akan tercipta pembelajaran yang lebih bermakna. Sehingga siswa mampu menerapkan pengetahuan matematika dalam pemecahan masalah sehari-hari. Senyum semangat siswa akan terpancar dan prilaku garuk kepala karena bingung akan sirna. Dengan pengalaman belajar tersebut ingatan siswa akan menjadi lebih kuat. Dengan kata lain, Kini bukan kertas kosong lagi.

Sebagai pendidik hendaknya memiliki kreasi dan inovasi dalam merancang sumber belajar. Rendahnya akses internet bukan halangan untuk berliterasi matematika. Berawal dari literasi matematika, akan tumbuh tunas semangat merdeka belajar di pelosok negeri.

Terus berkarya untuk indonesia maju!

Bagikan Artikel Ini
img-content
Iskandar

Penulis Tempo Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler