x

Siswa bersama guru sedangkan melakukan proses pembelajaran berbasis projek

Iklan

Kurnia Sawiji

Guru fisika. Pernah bercita-cita jadi raja bajak laut.
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Jumat, 3 Desember 2021 18:40 WIB

Semiotika Adiluhung Merdeka Belajar untuk Para Berandalan Sekolah

Merdeka Belajar sudah menjadi sebuah jargon yang kini diketahui luas. Bukan dimengerti khalayak dan praktisi pendidikan, tetapi juga oleh kodok-kodok yang bernyanyi sumbang di gorong-gorong kompleks perumahan. Bagaimanakah jargon ini bisa menjadi sebuah konsep yang dapat menuntaskan salah satu permasalahan utama pendidikan? Bagaimana pendidikan menghasilkan kaum marginal yang dilupakan oleh sistem?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

We don’t need no education. We don’t need no thought control. No dark sarcasm in the classroom. Hey! Teacher! Leave them kids alone!

            – Pink Floyd –

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagian 1: Ode untuk Para Berandalan Sekolah

            Pada hakikatnya Pong adalah seorang murid yang menarik. Pong adalah seorang murid yang imajinatif seperti Einstein. Ia imajinatif seperti Einstein tetapi labil seperti Heisenberg. Ia imajinatif seperti Einstein, labil seperti Heisenberg, dan kuno seperti Newton. Pong adalah murid yang imajinatif seperti Einstein, labil seperti Heisenberg, kuno seperti Newton, tetapi revolusioner seperti Bohr atau Schrodinger atau bahkan Hawking. Ia imajinatif seperti Einstein, labil seperti Heisenber, kuno seperti Newton, revolusioner seperti Bohr atau Schrodinger atau Hawking; dan ia adalah berandalan sekolah.*

            Pong adalah sebagaimana berandalan sekolah pada umumnya: motivasi belajar yang sangat minim, kemampuan akademis yang tidak lebih tinggi dari segumpal eceng gondok, namun memiliki segudang pengalaman berhura-hura di dunia luar dan jaringan persahabatan yang luas—untuk kepentingan nongkrong, tentu saja. Pada suatu hari tertentu, ia mengatakan kepada saya bahwa ia ingin membuka brand fashion sendiri bersama teman-temannya; keesokan harinya, ia mengatakan bahwa ia ingin membuka lapak malor (makaroni telor). Apa pun yang ia lihat dari kawan-kawannya yang ia rasa menyenangkan akan ia lakukan, dan ia punya sejuta cara untuk bersenang-senang.

            Pong adalah sebagaimana berandalan sekolah pada umumnya: kaum marginal yang, bagi para guru, mungkin akan berakhir sebagai peternak lele atau pencari kodok di gorong-gorong. Ia adalah dia yang tidak memiliki tempat di dalam sistem yang menghendaki adanya peningkatan kualitas soal dalam bentuk High Order Thinking Skills (HOTS), ia adalah dia yang tidak termasuk dari 40 persen teratas di angkatannya dan karenanya tidak layak masuk SNMPTN. Ia adalah dia yang tersisihkan ketika 180 ribu lebih murid SMA sepertinya meneteskan air mata kebahagiaan ketika dinyatakan lulus SBMPTN.**

            Berandalan seperti Pong tidak memiliki tempat di sebuah masyarakat yang sudah terstruktur dengan rapi, atau di dalam sistem pendidikan yang tertata dengan baik. Ia tidak belajar di gedung sekolah dengan fasilitas tinggi, dan nilai yang didapatkannya bukanlah angka-angka yang melebihi KKM. Pong belajar dari bagaimana cara teman-temannya menjalani hidup, atau bagaimana orang-orang di sekitarnya bertahan untuk tetap menjadi bagian dari kehidupan. Apakah kehidupan menolak mereka, sebagaimana sistem menolak mereka? Tentu tidak. Semesta menyediakan langit sebagai atap bahkan untuk berandalan paling sialan sekali pun.

            Jauh sebelum Pak Menteri Nadiem mengonsepkan Merdeka Belajar, Pong sudah mempraktekkannya dalam wujudnya yang paling asas.

 

Bagian 2: Semiotika Adiluhung Merdeka Belajar

            Mari kita sedikit beranjak dari cerita tentang Pong. Toh, anak itu tidak akan mengerti sepeser pun tentang semiotika, dialektika, apalagi hermeneutika. Kita akan menganggap Merdeka Belajar sebagai sebuah konsep simbolis, dan karenanya mudah untuk kita membedahnya secara semiotik.

            Secara harfiah, padanan bahasa Inggris dari kata merdeka adalah independence. Ingat, independence berbeda dengan freedom, meskipun secara makna ada keterkaitan di antara keduanya. Kata independence berasal dari kata dasar depend, atau dalam bahasa Indonesia: bergantung. Menggunakan imbuhan awal in- pada kata tersebut menegasikan makna ketergantungannya, sehinggai kata merdeka sepadan dengan ketidakbergantungan, atau dalam arti lain: kemandirian. Lalu bagaimana jika kita padankan dengan freedom? Maka kita akan mendapatkan: kebebasan.

            Tetapi dalam sebuah siaran di kanal YouTube Kemendikbud RI pada 24 Juni silam (dikutip CNN Indonesia), Pak Menteri Nadiem dengan tegas menyatakan bahwa Merdeka Belajar bukan berarti kebebasan mutlak untuk anak-anak; bebas mengerjakan tugas atau tidak, bebas belajar atau tidak, dan sebagainya. Sehingga kata merdeka mau tidak mau dipadankan dengan kemandirian. Lalu apakah itu Merdeka Belajar memiliki makna yang sama dengan belajar secara mandiri?

            Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut (jika memang ada jawabannya), mari kita teliti kembali kata belajar. Menariknya, kosakata bahasa Inggris memiliki dua padanan untuk belajar, yaitu study dan learn.  Melalui definisi dari kamus Merriam-Webster versi elektronik, study memiliki padanan ke arah school; sekolah, pendidikan. Sementara learn memiliki padanan ke arah knowledge; ilmu pengetahuan. Lalu bagaimanakah sifat pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam independence? Pendidikan, sebagaimana yang kita tahu, adalah sebuah sistem. Buatan manusia yang menghendaki siapa pun yang mengikutinya untuk tunduk kepadanya. Tidak ada independence dalam sebuah sistem.

            Sehingga jelas bahwasanya Merdeka Belajar adalah sebuah proses learning; menimba ilmu tanpa ada ketergantungan dengan sistem atau struktur. Merdeka Belajar sebagai sebuah brand merupakan manifestasi dari konsep merdeka belajar (perhatikan bagaimana saya menghilangkan penggunaan huruf kapital), di mana pembelajaran murid bukanlah berdasarkan struktur kurikulum yang berlaku atau standar negara; tetapi sesuai dengan apa yang mereka perlukan.

            Artinya peran guru bukan lagi sebagai pengampu mata pelajaran kaku, tetapi memandu murid untuk mengenal apa yang mereka perlukan. Ini penting, karena generasi muda kerap lebih memikirkan apa yang mereka inginkan, ketimbang apa yang mereka perlukan. Tetapi percayalah: apa yang mereka perlukan itu tidak semestinya ada dalam kompetensi dasar kurikulum.

            Dengan mempertimbangkan analisa tersebut, tidaklah berlebihan rasanya jika kita mengatakan bahwa Pong (atau “berandalan sekolah” lainnya) secara dasar telah berada pada jalur yang seiring dengan konsep merdeka belajar tadi. Apa yang membedakan mereka dengan konseptualisasi kita adalah itu tadi: kecenderungan mereka untuk berjalan sesuai keinginan, bukan keperluan. Sekali lagi saya tekankan bahwa itulah peran guru dalam sebuah lingkungan Merdeka Belajar yang merdeka belajar.

            Harapan utopis dari konseptualisasi ini bukanlah pemberantasan berandalan sekolah, melainkan pemanfaatan dan penemuan jati diri mereka yang dianggap “berandalan”. Artinya, Merdeka Belajar seharusnya bukan semata-mata sebuah jargon untuk sekolah, melainkan perubahan pola pikir masyarakat secara menyeluruh. Sudah saatnya aturan tak kasat mata di mana para murid baru bisa dianggap hebat jika sudah diterima di PTN ternama atau mencapai nilai 10 di semua mata pelajaran itu dihapuskan. Sehingga sepatutnya embel-embel “berandalan sekolah” untuk murid-murid seperti Pong tidak ada lagi. Hanya ada murid yang mengikuti jalur akademis, dan yang mengikuti jalur praktisi.

***

            Lalu apa yang akan terjadi jika kita menganggap Merdeka Belajar hanya sebagai sebuah jargon pengganti kurikulum yang sedang berlaku? Mari kita simak kembali kisah Pong dengan baik dan teliti.

            Pada hakikatnya Pong adalah seorang murid yang menarik. Pong adalah seorang murid yang imajinatif seperti Einstein. Ia imajinatif seperti Einstein tetapi labil seperti Heisenberg. Ia imajinatif seperti Einstein, labil seperti Heisenberg, dan kuno seperti Newton. Pong adalah murid yang imajinatif seperti Einstein, labil seperti Heisenberg, kuno seperti Newton, tetapi revolusioner seperti Bohr atau Schrodinger atau bahkan Hawking. Ia imajinatif seperti Einstein, labil seperti Heisenberg, kuno seperti Newton, revolusioner seperti Bohr atau Schrodinger atau bahkan Hawking, tetapi dikucilkan seperti Galileo dan akan dieksekusi seperti Copernicus namun melarikan diri seperti Pythagoras dan menjadi abadi seperti Da Vinci. Namun, walau Pong adalah seorang murid yang imajinatif seperti Einstein dan labil seperti Heisenberg tetapi kuno seperti Newton dan revolusioner seperti Bohr atau Schrodinger atau bahkan Hawking tetapi dikucilkan seperti Galileo dan akan dieksekusi seperti Copernicus namun melarikan diri seperti Pythagoras dan menjadi abadi seperti Da Vinci, ia tidak lulus SMA.***

 

*)***) Paragraf terinspirasi dari puisi Mikael Johani, Ia Menulis Cerpen Seperti Danarto; yang turut menginspirasi Dea Anugrah dalam menulis Kisah Sedih Kontemporer; yang turut menginspirasi Sabda Armandio dalam menulis 24 Jam Bersama Gaspar.

**) Berdasarkan informasi pada Juni 2021

Ikuti tulisan menarik Kurnia Sawiji lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler