x

Iklan

Kasiyaningsih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Desember 2021

Minggu, 5 Desember 2021 08:40 WIB

Kisah Dibalik Kantong Kertas

Artikel ini menceritakan perjuangan seorang guru untuk mewujudkan peserta didik tunagrahita memiliki keterampilan sebagai modal kemandiriannya setelah lulus sesuai dengan potensi siswa dan kebutuhan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

ADA CERITA DIBALIK KANTONG KERTAS

 

     Saya seorang guru yang mengajar peserta didik dengan  hambatan intelektual, mengajar peserta didik seperti ini membutuhkan kesabaran, ketekunan dan kreativitas. Beberapa tahun ke belakang saya mengajar peserta didik jenjang SMALB yang memiliki kemampuan rendah dalam semua aspek perkembangannya dan belum mampu mengurus dirinya sendiri. Untuk mengajarkan mereka membaca, menulis, berhitung merupakan sesuatu yang jauh dari harapan, melihat kondisi peserta didik seperti ini maka saya alihkan pembelajaran mereka bersifat fungsional yang sesuai dengan kebutuhan dan potensinya, focus utama pembelajaran pun diarahkan untuk belajar kemandirian yang berhubungan dengan mengurus diri agar nanti peserta didik setelah lulus dapat hidup mandiri tanpa ketergantungan penuh pada orang lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     Kegiatan pembelajaran dengan mereka saya nikmati seperti kehidupan sehari-hari seorang ibu mengajarkan anak untuk persiapan kemandiriannya saat sekolah nanti. Setiap satu jam sekali mereka diingatkan untuk buang air kecil dan diajarkan cara membersihkannya dengan benar, setiap kali makan bersama mereka diajarkan untuk merapikan dan mencuci tempatnya. Semua itu dilakukan untuk memupuk pembiasaan dan kemandiriannya. Kemampuan mereka dapat ke toilet sendiri sudah merupakan prestasi dan kebanggaan tersendiri buat saya.

       Kini saya ditempatkan di kelas XII SMALB dengan peserta didik yang sudah mampu mengurus dirinya. Kelas XII adalah kelas yang sebentar lagi akan lulus meninggalkan sekolah yang 12 tahun sudah didudukinya. Saat pertama kali saya masuk ke kelas ini, ada perasaan aneh yang terlintas dibenak saya dan terkesan  berbeda dari biasanya. Saya melihat empat peserta didik  duduk di bangku dengan wajah polosnya yang siap menyambut gurunya datang. Saat istirahat Saya pandangi dan perhatikan peserta didik asuhan saya satu persatu, ada Adam yang terlihat senyam senyum malu, Astri yang termenung sambil duduk mojok, Yana yang sedang  jongkok sambil menerawang hampa dan Diki yang anteng hanya duduk manis sambil memainkan jari jemarinya. Mereka semua diam hanya memperhatikan teman lainnya bercengkrama.

       Wajah-wajah polos peserta didik itu selalu terlintas dipelupuk mata saya, hati ini begitu sedih melihat keadaan mereka. Kegalauan berkecamuk memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah lulus nanti? Bagaimana perasaan orangtuanya yang sudah menyekolahkan anaknya cukup lama hanya dapat duduk diam tanpa melakukan sesuatu yang berarti? Saat ini mereka masih bersama dengan orang-orang terdekatnya, tetapi nanti mereka harus bisa hidup mandiri? Keadaan itu membuat saya selalu berfikir apa yang dapat saya berikan pada mereka untuk bekalnya nanti?

       Terlintas dalam pikiran saya akan pengalaman dulu saat mahasiswa, saya membantu orangtua berjualan gorengan di pinggir jalan. Di sela-sela waktu luang saya isi dengan membuat kantong kertas untuk wadah gorengan. Maka munculah niat saya untuk mengajarkan pada mereka keterampilan membuat kantong kertas bungkus gorengan  di sekolah. Keesokan harinya saya kumpulkan kertas bekas yang sudah tidak terpakai dan saya pun berjalan penuh semangat ke arah kelas dengan menenteng setumpuk kertas dan lem, saya akan mengajarkan mereka membuat kantong kertas yang layak jual sebagai bekal agar mereka dapat mandiri.

     Pembelajaran keterampilan membuat kantong kertas dimulai, semua peserta didik diberi kertas dan diminta mengikuti langkah demi langkah yang diperagakan. Subhanalloh, Allohu Akbar kalimat toyyibah tiba-tiba keluar dari mulut saya, betapa kagetnya ketika saya melihat kekakuan motorik tangan para peserta didik. Semua peserta didik  kurang mampu untuk melipat rapi, kesulitan mengukur dan tidak mampu melakukan pengeleman dengan rata, dengan hasil akhir bentuk kantong kertas tidak sempurna dan menjadi berbagai ukuran. Saya pun meminta mereka mengulanginya beberapa kali tetapi hasilnya tetap sama. Saya melihat ekpresi peserta didik yang mulai bosan, malas, cape dan akhirnya diam.

        Keterampilan membuat kantong kertas sudah cukup lama, tetapi hasilnya masih tetap belum sempurna. Ada rasa putus asa terlintas dibenak saya ketika itu, namun perasaan itu pun ditepisnya jauh-jauh, karena kalau menyerah bagaimana nasib mereka?  Dan ini merupakan tantangan bagi saya untuk terus mencari solusinya. Suatu hari saya  iseng menghitung banyaknya pedagang gorengan di sekitar sekolah, dan jumlahnya cukup  banyak, melihat potensi ini tidak boleh disia-siakan karena tempat ini dapat dijadikan aset para peserta didik nanti mengais rezeki sebagai penghasilannya. Semua kelebihan dan kekurangan yang ada pada peserta didik menjadikan pemikiran saya saat ini, dibenaknya sekarang hanya terpikirkan bagaimana cara agar para peserta didik dapat membuat kantong kertas dengan baik sehingga layak jual.

    Kesulitan yang dialami peserta didik seperti melipat rapi, mengukur, mengelem menjadikan pemikiran yang tak dapat diabaikan sekali pun dibawa tidur. Di setiap heningnya malam saya mencoba merekayasa alat untuk kemudahan peserta didik membuat kantong kertas. Dengan perenungan, perencanaan dan percobaan berulang-ulang maka terciptalah alat untuk memudahkan proses pembuatan kantong kertas yang layak jual bagi peserta didik tunagrahita yang dinamakan CETAK PAS (sekali cetak pasti pas). Semangat untuk mengajarkan mereka pun tumbuh kembali. Keesokan harinya dengan ceria dan penuh optimis saya membawa alat cetak pas untuk diperlihatkan kepada peserta didik, dengan penuh semangat dan perasaan bangga  saya mendemonstrasikan alat buatan sendiri, alhamdulillah ketika peserta didik mengikuti langkah demi langkah cara penggunaannya, mereka dapat menghasilkan kantong kertas yang baik dengan mudahnya.

        Ada perasaan lega pada diri saya karena alat yang diciptakan berhasil memudahkan peserta didik tunagrahita membuat kantong kertas layak jual tanpa mengalami kesulitan. Para peserta didik  pun kini sudah dapat memproduksi banyak, langkah berikutnya saya harus membimbing mereka bagaimana cara mengemas kantong kertas perikat dan cara pemasarannya. Kantong kertas dijual perikat berisi 100 lembar, menghitung 100 lembar kantong kertas bagi mereka cukuplah lama dan ada kemungkinan lupa ditengah jalan, untuk menghindari itu maka peserta didik diajak berdiskusi  memecahkan permasalahannya, dengan solusi akhir mereka membagi tugas teman-temannya untuk menghitung persepuluh tiap tumpukan kantong kertas, dan mereka membuat deretan sepuluh tumpukan kantong kertas dengan arah kesamping. Untuk pengepakan kantong kertas (menyusun dan mengikat 100 buah kantong kertas) diperlukan peserta didik yang cukup terampil, maka saya pun menunjuk salah satu dari mereka untuk melatihnya sementara peserta didik lain focus menghitung persepuluh kantong kertas.

         Setelah pengemasan selesai mereka diajak untuk belajar memasarkan hasil karyanya yang sudah dibuat. Mereka diajak berkeliling untuk mengamati pedagang gorengan yang ada di seputaran sekolah, mereka dibimbing untuk mencari tahu darimana pedagang itu mendapatkan kantong kertas dan berapa harga perikat yang dibelinya. Mereka pun belajar menawarkan kantong kertas yang sudah dibuatnya. Untuk meyakinkan pedagang akan hasil karya peserta didik maka saya pun mulai mempromosikan hasil buatannya yang tidak kalah bagus dengan produk yang ada dipasaran, dimana saya berikan beberapa contoh kantong kertas untuk diperiksa dahulu oleh pedagang tersebut.Terpancar ada rasa kagum dari wajah pedagang itu dan terucap kata “bagus juga buatannya”. Seketika itu pula saya menjelaskan langsung jika peserta didik ini sedang belajar menjual hasil keterampilannya dan pedagang itu pun bersedia membeli kantong kertas tersebut. Wajah ceria dan suasana senang terlihat saat itu, mereka merasa puas dengan jerih payahnya selama membuat kantong kertas.

        Sampai di kelas saya memberikan apresiasi kepada mereka, uang yang didapat pun  dibagikan kepada mereka, sebagai penguatan dan memberikan motivasi bahwa kita harus mau bekerja, dan pembelajaran ini harus terus dilakukan untuk bekal keterampilannya setelah lulus nanti agar bisa hidup mandiri. Ditengah-tengah kebahagian itu pandemi melanda kita yang berdampak pula pada dunia pendidikan, dimana setiap sekolah tidak diperkenankan pembelajaran tatap muka.

        Selama pandemi berlangsung saya pun mencari solusi bagaimana agar kemampuan keterampilan membuat kantong kertas peserta didik terus berkembang dan bisa bertahan. Dapat dibayangkan apa yang akan dilakukan peserta didik di rumah selama pandemi karena pembelajaran dengan daring sangatlah terbatas, selain itu berapa banyak waktu luang yang terbuang di rumah jika tidak dimanfaatkan dengan baik. Untuk mengatasi itu semua maka saya pun membuat program pewalsi yang diajukan sebagai program sekolah SLB-C Sukapura di masa pandemi dengan mengajak guru-guru lain untuk mengikutsertakan peserta didiknya.

        Pewalsi kepanjangan dari penggunaan waktu luang siswa, jadi program pewalsi adalah program penggunaan waktu luang siswa untuk mengerjakan keterampilan  membuat kantong kertas yang layak jual setelah belajar dari rumah/BDR selesai. Program pewalsi ini bekerjasama dengan orangtua sebagai pendamping peserta didik di rumah, guru sebagai monitoring dan masyarakat/pedang gorengan sebagai penerima hasil kantong kertas yang di buat peserta didik. Program ini dapat berjalan dengan baik dan memberikan dampak yang positif dimana orang tua dan masyarakat memahami akan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik tunagrahita bahwa mereka dapat mandiri asalkan ada dukungan dari semua pihak.

          Setelah beberapa kali alat cetak pas itu dicobakan dan hasilnya teruji baik, maka saya pun membuat alat itu dalam jumlah cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan peserta didik di sekolah. Dengan hasil karya peserta didik yang baik dan pemasarannya bagus maka keterampilan membuat kantong kertas menjadi unggulan di sekolah, dan berita ini pun tersebar ke luar sehingga banyak sekolah lain yang memesan alat ini untuk pembelajaran peserta didiknya. Kini Yana, Adam, Astri dan Diki dapat mengajarkannya pada peserta didik yang lain.

Ikuti tulisan menarik Kasiyaningsih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler