x

MATA KUCING TERTUTUP HUJAN

Iklan

Abta Ibnati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 23:15 WIB

Mata Kucing Tertutup Hujan

Cerpen yang mengisahkan tentang aku sebagai seorang laki-laki yang penuh penyesalan karena telah mengkhianati wanita buta yang baik hatinya. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Baca hingga akhir, cerpen yang ditulis oleh Apta Ibnaty, seorang siswi kelas 8 di MTs. Maarif 1 Ponorogo.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

                                       MATA KUCING TERTUTUP HUJAN

 

Suara,itulah kehidupannya. Mungkin mata indah itu sudah tak bisa melihat dunia namun telinga itu dapat mendengar seisi dunia. Kini apa engkau tau jikalau bayangmu sangat mengusik jiwaku? Kupejamkan mata ini di sana terlihat dirimu bermain di antara taman mawar putih. Kau menatapku sambil tersenyum, menyibakkan rambut pendek yang menutupi wajahmu ke belakang untuk membaur dengan suara dan itulah yang sedang kulakukan. Suara hujan turun menimpa payungku, suara cipratan genangan air, bahkan suara hilir angin bercampur satu dengan jiwaku akan tetapi sebuah suara membuyarkan segalanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Meong…”

Aku mencari sumber suara itu hingga kutemukan seekor kucing kehujanan di sebuah gang dekat sini. Kutatap kucing itu matanya sangat indah sama persis seperti miliknya namun tertutup hujan. Kupayungi kucing itu sampai tubuhku sendiri basah kuyup.

“Hei, apakah kau tau melihat matamu membuat kuteringat pada seorang gadis, namanya Rachel. Dia tak dapat melihat tapi pendengarannya mungkin dapat mendengar isi hati seseorang”, ucapku tersenyum memainkan bulu kucing itu yang bagai kapas.

“Aku memang manusia paling bodoh, dulu akulah yang selalu menyakitinya dan sekarang saat dirinya pergi karena diriku aku malah merindukannya”, lanjutku lalu bangkit pergi. Bodoh…bagaimana bisa aku mengajak berbicara seekor kucing batinku menikmati air hujan yang menimpa tubuhku.

“Meong…” kucing itu mengekor lalu mendengkur di kakiku.

“Kok kucing ini kembali lagi?”, protesku berusaha mengusirnya akan tetapi tatapan kucing itu sangat membekas memori tentang Rachel yang membuat hatiku pilu dan sesak akan penyesalan.

 

                                                                               ***  

 

“ Zen ! “ panggil seorang temannya. Mendengar nama itu saja membuatku tersenyum sendiri di bangku yang tidak jauh dari tempat duduknya.  Kutulis semua isi hatiku di atas secarik kertas dari buku harianku sambil membayangkan Zen yang tak kuketahui bagaimana rupa aslinya. Memang aku tak dapat melihat namun pendengaranku sangatlah tajam bagai seekor kucing bahkan aku dapat menulis dengan hanya mendengar goresan pensil saja. Tiba-tiba seseorang merampas secarik kertas tadi dari diriku.

“Wah… lihat apa yang ditulis oleh si buta sepertinya menarik”.

Aku melompat-lompat untuk meraih kembali secarik kertas itu walau tidak tau di mana posisinya.

“Sini dengarkan akan kubacakan”

Seisi kelas melihat kami dengan seksama termasuk Zen.

“Zen itulah lelaki yang kusukai. Saat pertama kali bertemu dengan dirinya aku tak bisa melihat wajahnya lalu dia mengajakku berbicara. Suaranya sangat indah berbeda dari suara lainnya yang pernah kudengar hingga sangat membekas di pikiranku” lanjutnya dengan nada mengejek.

Seisi kelas tertawa melihatku bersama Zen. Wajah Zen merah padam, ia berjalan ke arahku lalu merampas kembali kertas yang berada di genggaman temannya dengan kasar. Semua orang terdiam dalam ketakutan. Aura kebencian yang dipancarkan Zen dan aku hanya dapat terdiam karena tidak tau apa yang terjadi di depan mataku.

“Menjijikkan…”

Kalimat itu bagai pisau yang menusuk dadaku, rasanya sesak.

“Gadis buta sepertimu tidak lain hanyalah sampah yang menjadi beban bagi orang lain saja, maka dari itu jangan dekati aku, sialan!” lanjutnya dengan sinis sambil merobek-robek kertas itu tapi rasanya bukan kertas yang dirobek tapi tubuhku.

PLAK! tamparan mendarat di pipi kirinya, dia menatap diriku yang sedang menangis, aku kesal dan muak

“Ke…kenapa selalu saja begini, apakah semua orang yang tidak sempurna seperti diriku adalah sampah bagi kalian yang dikaruniakan kesempurnaan? Apakah aku sangat menjijikkan sampai semua menjauhiku? Kenapa dunia sangat tidak adil kepada kami? Aku tanya kenapa!” teriakku menggema di seisi kelas.

Semua terdiam bahkan Zen.

“Jika bagimu aku adalah sampah yang membebanimu maka aku akan pergi dari hadapanmu sekarang juga dan terimakasih untuk selama ini”, lanjutku sambil tersenyum namun air mata tak dapat berhenti mengalir dari pelupuk mataku lalu berlari keluar hingga tak sadar jika buku harianku tertinggal. Jalanan dipenuhi oleh kerumunan orang. Aku berlari tanpa tujuan karena tidak dapat melihat jalan, berbagai suara yang kudengar rasanya seperti akan memecahkan kepalaku terlebih lagi ingatan suara Zen yang menyakiti hati sampai akhirnya aku terjatuh karena tersandung sakit.

Seharusnya dari awal kau tidak pernah mengajakku berbicara  sampai aku berharap kita akan menjadi teman jika akhirnya  seperti ini . Kenapa dunia sangat tidak adil? Aku juga ingin melihat warna dunia seperti orang lain, tapi kenapa hanya kegelapan yang dapat kulihat? Apakah aku dihukum karena menjadi beban bagi orang-orang di sekitarku? Kalau memang begitu untuk apa aku ada, mungkin akan lebih  baik jika aku tidak pernah ada saja. Batinku menutupi wajah penuh goresan luka jatuh yang menangis ini.

 

***

 

“Sampah sialan, tidak berguna”, Zen menjatuhkan dirinya di atas kasur. Diipandangnya langit-langit rumah sambil mencaci maki dirinya sendiri.

“Bagaimana bisa aku melakukan hal sekeji ini, seharusnya sejak awal aku tau penderitaannya selama ini” ucapku mengambil buku harian Rachel yang tertinggal di kelas tadi.

“Setelah membaca ini aku baru sadar jika aku adalah orang yang berarti bagimu. Ternyata benar kata mereka bahwa setiap orang di dunia ini pasti memiliki arti bagi orang lain hanya saja kita tidak tau kalau hidup kita berarti bagi seseorang dan sebagai seseorang yang berarti bagimu bukannya mengurangi penderitaanmu, tapi aku malah semakin menyakitimu. Aku memang sangat bodoh”.

Zen bangkit dari tempat tidurnya lalu keluar membanting pintu sebagai pelampiasan kekesalannya.

“Maka dari itu aku akan datang untuk memulai semuanya dari awal, jadi tunggu aku Rachel akan kuperbaiki semuanya “.Hari telah malam. Zen berdiri di depan sebuah apartemen mencari keberadaan Rachel.

“Permisi Pak, apakah Anda tau di mana kamar penghuni yang bernama Rachel?”, tanya Zen pada resepsionis.

“Anda siapa?” jawab resepsionis itu curiga

“Hmmm… saya temannya”

“Oh baiklah. Nona Rachel ada di kamar 234”

Kecurigaan resepsionis itu hilang.

“Baiklah terima kasih atas informasinya Pak”

Zen tersenyum lalu berlari menaiki tangga hingga menemukan kamar 234. Hatinya berdegup kencang saat akan membuka pintu kamar Rachel.

“Apa yang terjadi padaku? Perasaan apa ini? Apakah karena aku akan bertemu dengan Rachel semenjak kejadian itu?”

Wajah Zen memerah karena perasaan asing itu. Kemudian memaksa masuk ke dalam kamar Rachel yang pintunya tidak terkunci. Di dalam sangat gelap dan berantakan, itu membuatnya gelisah.

“Rachel apa kau di sana?” panggil Zen, semakin masuk ke dalam.

Namun tidak ada jawaban, hanya kebisuan yang mencekam. Hingga Zen temukan Rachel berdiri di atas balkon menghadap jauh ke bawah yang berujung pada kolam. Wajahnya sangat tenang disinari oleh sinar bulan malam, direntangkan tangannya  untuk membaur dengan suara. Melihat itu Zen terpaku di tempat bagai hilir angina. Matanya terbelalak, lidahpun kelu sampai mendengar Rachel berbisik,

“Bukankah suara ini sangatlah menenangkan”

Air mata mulai mengalir dari pipi Rachel, namun ia tertawa lepas.

“Dunia sangat lucu bukan saat mempermainkan seseorang, saat aku bertanya apakah dunia di depan mataku sama indahnya dengan suara yang kudengar dia tidak menjawab lalu hanya memberikan luka dalam padaku“

Zen masih terdiam pada keadaan.

“Padahal aku juga ingin melihat dunia, aku ingin tau warna-warni kehidupan, tapi aku malah menjadi sampah tak berguna. Mungkin ini adalah hukuman untukku yang menjadi beban orang-orang di sekitarku oleh karena itu hidup sudah seperti hidangan istimewa yang tak pantas dihidangkan pada sampah seperti diriku”

Tubuhnya mulai melayang ke udara bersamaan dengan angin yang menyibakkan tirai jendela.

“RACHEL!”, teriak Zen histeris. Aku langsung berlari secepat kilat ketika kulihat air matanya tercerai di udara.

Tuhan kumohon berikan aku kesempatan kedua”

GREP !

Akhirnya tangannya dapat diraih Zen. Tubuhnya menggantung di udara. Rachel menatap Zen namun tidak dengan mata melainkan mata hatinya.

“Zen kenapa kau di sini?”, tanya Rachel tidak percaya akan kehadiran Zen.

“Dasar bodoh, kau kira dengan melompat dari sini lalu menuju kematian akan menyelesaikan semua masalah”.

Rachel menunduk menatap jauh ke bawah.

“Lepaskan saja aku Zen. Kau sendiri yang bilang bahwa orang buta seperti  aku tidak lebih dari sebuah sampah yang membebani semua orang maka akan lebih baik jika aku tidak ada”

Mendengar itu Zen menggertakkan giginya.

“Diamlah! Dulu aku memang berpikir seperti itu tapi sekarang tidak. Sekarang aku sadar bahwa semua orang itu mempunyai hak untuk bahagia apapun kekurangannya, maka kau harus mensyukuri semua kekuranganmu dan asal kau tau bahwa selama ini bukan dirimu yang buta tapi kami yang dibutakan oleh kesempurnaan diri sendiri”

Mata Rachel mulai berkaca-kaca karena terharu.

“Tapi aku adalah sampah yang tidak berarti bagi siapapun”

“Tidak! Kau salah, semua orang memiliki arti bagi seseorang termasuk dirimu yang sangat berarti bagi diriku oleh karena itu kumohon tetaplah hidup!”

Zen menarik tangan Rachel sampai dapat kembali memijakkan kaki di tanah namun naas takdir tidak berpihak hingga saat terakhir Zen terjatuh. Tubuhnya jatuh menghantam air. Darah yang mengalir bersatu dengan air. Tubuhnya remuk.

“Sepertinya inilah hukumanku yang dibutakan akan kesempurnaan diri, tapi tidak apa jika aku dijadikan penggantinya terjatuh asal dia hidup karena dirinya masih belum mendapat haknya untuk bahagia sedangkan aku sudah lebih dari cukup”, batin Zen samar- samar mendengar Rachel memanggil namanya.  Zen tersenyum merasa lega lalu kesadarannya menghilang terbawa arus air. 

Rachel duduk termenung di samping tubuh Zen yang sedang koma.

“Ini semua karena diriku. Zen menjadi seperti ini”, ucap Rachel menangis meraung-raung ditemani suara peralatan rumah sakit yang mengelilingi tubuh tak berdaya itu. Diletakkannya tangan Zen yang hangat di pipi.

“Maaf kan aku membuatmu seperti ini hanya untuk membuatku merasa bahagia tapi bagaimana aku bisa merasa bahagia jika melihatmu sengsara seperti ini, maka aku akan memutuskan untuk pergi mungkin ini akan menyakitkan namun ini untuk kita berdua jadi maafkan aku”

Kemudian Rachel bangkit mencium kening Zen.

“Suatu hari nanti dunia pasti akan mempertemukan kita kembali”

Ia pergi keluar melangkahkan kaki ke dunia luar mengikuti langkah angin yang entah kemana dan semenjak itu tidak ada kabar tentang Rachel. Hingga sekarang saat Zen terbangun, Zen hidup dengan rasa penyesalan.

 

                                                                               ***

      Tiba-tiba kucing itu berlari menuju ke arah seberang jalan, membuat diriku terseret kembali dari perjalanan waktu masa lampau. Kulihat ke arah kucing itu berlari, kucing itu duduk di sebelah seorang wanita yang berdiri di bawah hujan sambil tersenyum padaku. Tubuhku seketika membeku saat kulihat wanita itu.

“Rachel”

Dia kembali setelah sekian lama. Rachel langsung berlari memelukku.

“Akhirnya setelah sekian lama aku mendengar suaramu lagi. Apa kau tau sekarang aku sudah merasa bahagia tapi selalu dijerat kerinduan padamu. Aku sangat merindukanmu Zen”

Rasa senang mengalir di nadiku sampai air mata kebahagiaan mengalir

“Aku juga sangat merindukanmu maka dari itu jangan pernah pergi lagi”, pintaku.

Lalu Rachel menganggukkan kepala dan kami saling tersenyum  dalam kebahagiaan di bawah rintikan hujan.

  

Ikuti tulisan menarik Abta Ibnati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

21 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

21 jam lalu