x

ilustr: ArtPics

Iklan

Fadzul Haka

Cuma pengelana lintas disiplin dan pemain akrobat pikiran. Bagi yang mau berdiskusi silakan kontak saya: fadzul.haka@gmail.com
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Sabtu, 11 Desember 2021 11:56 WIB

Sebuah Status untuk Ke-penyair-an Generasi Zaman Now


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gambar oleh <a href=Thought Catalog dari Pixabay" width="1280" height="853" />

“Poetry is not a turning loose of emotion, but an escape from emotion; it is not the expression of personality, but an escape from personality. But, of course, only those who have personality and emotions know what it means to want to escape from these things.”

– T.S. Eliot, The Sacred Wood "Tradition and the Individual Talent" (1920)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wahai anak-anak zaman now, renungkan pendapat penyair Amerika modern, T.S. Eliot dalam kutipan tadi. Pertama-tama, mengingat sebagian dari teknik menulis puisi merupakan semacam soft-skill yang menunjukan kemampuan seorang penyair dalam memahami konsep yang ditawarkannya, bagaimana dan seperti apa perasaan yang mengartikulasikan konsep tersebut, sehingga akhirnya menjernihkan sudut pandang penyair terhadap suatu isu dan di mana dia memposisikan dirinya. Namun, sebelum kita menerapkan teknik puisi tertentu, ada baiknya kita pahami dulu sekilas perkembangan konvensi dalam menulis puisi.

Dalam sejarahnya, Horace menulis puisi berjudul Ars Poetica pada abad ke 19-18 sebelum masehi yang merangkum konvensi dalam genre kesusastraan pada zamannya, meliputi lirik, pastoral, elegi, satir, dan epigram. Horace tidak memulainya dari titik nol, tetapi mengembangkan kaidah yang sebelumnya terdapat dalam Poetic-nya Aristoteles yang memperhatikan drama epik, komedi, dan tragedi. Pada masa kini, kita bisa mengacu pada reinterpretasi Ars Poetica yang ditawarkan oleh Archibald MacLeish untuk memahami puisi seperti apa yang hadir di zaman modern. Seperti halnya kutipan Eliot di atas, Ars Poetica-nya MacLeish juga termasuk dalam gerakan kritisisme baru di Amerika pada Abad 20. Tentunya, pengenalan terhadap Ars Poetica ini bukan untuk mengajak Anda kedalam gerakan yang sudah lama berlalu dan menjadi penyair ‘metafisikawan’ yang berkarakteristik impersonal seperti dalam cita-cita Eliot, melainkan membawa Anda masuk ke dalam peta sejarah ide-ide sehingga sadar betul mengapa suatu puisi dapat dikatakan sebagai anak dari zamannya, dan dari mana asal-muasal standar estetik puisi.

Mengenai Ars Poetica ini, kita tutup sampai di sini untuk sekarang dan beralih ke persoalan mendasar dalam teknik. Dari mana kita mulai menulis puisi, mengapa kita menulis puisi, dan apa yang membedakan puisi dengan kata-kata mutiara, mantra, dan prosa.

Inspirasi: Mulailah dari Hal-Hal yang Berada di Sekitar Kita

Kapan kita menulis puisi dan apa yang hendak kita tulis tidak bisa dipungkiri bergantung pada keresahan pribadi. Bisakah kita menuliskan puisi tentang patah hati tanpa patah hati? Menuliskan tentang mabuk tanpa pernah terombang-ambing di bawah pengaruh alkohol? Mungkin bisa, tetapi akan sulit dan artifisial. Untuk menyiasatinya kita perlu kembali pada pengalaman sendiri, melihat kembali keadaan di sekitar kita secara cermat dan dengan cara yang baru. Di sini, kita tidak hanya bergantung pada menemukan inspirasi, tetapi bisa memproduksinya sampai memanfaatkan inspirasi sebaik-baiknya.

Kalau kita kembali pada Ars Poetica-nya MacLeish. Penyair dapat memulai dari hal-hal yang mundan yang berada di sekelilingnya. Hal-hal yang dekat dan biasa saja seperti buah-buahan, mendali tua, dan burung. Namun, kita tidak hanya sekedar mengumpulkan barang-barang itu, dan menyatakan seperti apa hubungan sentimen kita kepadanya, melainkan juga menciptakan suasana melalui rima, dan melukiskan hal-hal yang semula tidak terlihat dari benda yang sekilas biasa-biasa saja.

A poem should be palpable and mute   

As a globed fruit,

Dumb

As old medallions to the thumb,

Silent as the sleeve-worn stone

Of casement ledges where the moss has grown—

A poem should be wordless   

As the flight of birds.

Setelah membuat objek pengamatan yang biasa-biasa saja jadi menarik, puisi tidak berhenti dengan memajangnya. Puisi bisa saja mengirim objek-objek itu ke orbit untuk kita teropong dari bumi, atau menguburnya dalam kapsul waktu. Di sini penyair mengangkatnya ke taraf universal, sampai mampu menyelami paradoks. Nilai universal itu digambarkan sebagai sesuatu yang jauh dari kita, seperti halnya bulan, malam dan keluasannya, dan lepas dari pengalaman pribadi agar dimiliki bersama. Sementara paradoks oleh MacLeish digambarkan sebagai gerakan dalam keadaan diam.

A poem should be motionless in time   

As the moon climbs,

Leaving, as the moon releases

Twig by twig the night-entangled trees,

Leaving, as the moon behind the winter leaves,   

Memory by memory the mind—

A poem should be motionless in time   

As the moon climbs.

Dengan menyelami paradoks, puisi tidak boleh ‘mati’ dengan menjadi gagasan abstrak tentang sesuatu (kita serahkan pada filsafat untuk melakukannya), justru penyair harus mampu menghidupkan puisi sebagai dirinya sendiri: kreasi yang mewahyukan dirinya pada pikiran pembaca, alih-alih membuat seminar tentang rumus-rumus yang menghasilkan keberadaannya. Di sini puisi akan serupa dengan potret, lukisan, patung, dan mungkin juga musik yang mengarahkan kita untuk bernyanyi atau menari sebelum sadar tentang makna-makna yang disembunyikannya.

A poem should be equal to:

Not true.

For all the history of grief

An empty doorway and a maple leaf.

For love

The leaning grasses and two lights above the sea—

A poem should not mean   

But be.

            Jadi, petualang kita ke alam simbolis tidak melulu dimulai dari peristiwa yang sangat berkesan, baik menggembirakan atau membuat nelangsa. Tidak juga mesti dimulai dengan membicarakan sesuatu yang ‘adiluhung’ seperti rahasia alam atau asal-usul alam semesta. Kita bisa mulai dari lagu yang disukai, berita di sosmed, lemari pakaian dengan memfilosofikan alasan kita dalam memilih pakaian, kegiatan ibadah sehari-hari, pulang-pergi sekolah, dan sebagainya.

Status:

#Tahukah_kamu?

Jeihan setiap harinya nonton TV, tapi kebiasaannya jadi puisi mbeling.

Berkat binatang-binatang kecil seperti serangga dan katak dikasihaninya, dari abad 18 sampai sekarang Kobayashi Issa (1763 – 1828) dikenal sebagai salah satu dari empat master haiku.

Siapa bilang orang teknik dan keeksakannya jauh dari dunia puisi? Avianti Armand membuktikan kalau seorang arsitek bisa membuat artistektur makna.

Jadi, kenapa masih juga meniru idolamu, dan melupakan dirimu? Ayo, bercerminlah pada kamarmu!

Imaji: Pernikahan Ruh dan Badan

Pelajaran paling berharga selama saya mempelajari penulisan puisi adalah  tentang mengongkritkan apa yang abstrak, dan memadatkan konsep yang hendak dituliskan. Sesuatu yang hampir tidak saya temukan pada para penyair pemula, kecuali anak-anak. Kelemahan para pemula yang bergairah untuk menulis puisi salah satunya karena mereka terpana pada kata-kata bijak, bahkan sampai terobsesi dengan mereproduksi ungkapan semacam itu. Saya menyebut mereka sebagai burung walet untuk dua alasan, pertama mereka membuat sarang yang berharga tanpa pernah menyadarinya, lebih buruk lagi tidak menyadari kalau mereka dieksplotasi sekaligus tereksplotasi di dalam sistem industri self-help yang mengarikaturkan kehidupan manusia dengan segala permasalahannya hanya untuk berkata, “Enggak kok kamu baik-baik saja. Percaya deh, kamu itu berharga dan Tuhan pasti punya rencana indah buatmu.” Selain itu, mereka juga dikatakan burung walet biasanya terlihat terbang ketika sore hari. Menjadi bagian dari lukisan senja sampai-sampai senja dipahaminya sebagai ungkapan liris untuk perasaan dari melankolis hingga romantis.

Jangan salah sangka dulu, saya tidak hendak menularkan alergi terhadap aforisme kata bijak. Penyair setingkat Iman Budhi Santosa pun pernah menyarankan supaya kita membaca aforisma kata bijak China kuno atau lainnya untuk mengolah rasa. Demikian, saya pun ingin Anda mencernanya terlebih dahulu, apakah dia akan jadi kotoran atau tetap mutiara, apa pula yang terlukiskan dari muntahannya setelah engkau dibuat mabuk selama ini? Tuliskanlah, gejala-gejala yang dikatakan oleh tubuhmu, dan olah kembali sensasi tersebut dengan berimajinasi. Melihat kembali siapa dirimu, siapa orang-orang di sekitarmu, apa yang menarik bagi dirimu, dan dengan cara apa engkau akan menuntun orang-orang untuk mengenal dirimu.

Dari sini, aforisme kata bijak bisa menghembuskan ruh untuk puisimu secara otentik dan tanpa maksud untuk menilai ini-itunya, sekedar “Ya, itulah aku!”. Namun masih ada lagi, engkau akan mengenali kata-kata tertentu yang ‘menggunakan dirimu’ untuk mengartikulasikan bait-bait puisi. Bagi saya sendiri, kata semacam itu adalah ‘laut’ bersama segala yang terlihat di dalam cakrawalanya (pantai, ikan-ikan, ombak). Inilah salah satu langkah awal untuk mengongkritkan apa yang abstrak, misalnya dengan membicarakan kelesuan dengan gerak sampan yang pelan-pelan tenggelam, alih-alih membiarkannya sebagai kata sifat secara mentah.

Jika kita sudah sadar betul akan ruh sebelumnya, maka berilah ruh itu sebaik-baiknya tubuh, pakaian, dan tempat tinggal. Ingat kembali pelajaran tentang cangkang dan isi dalam pantun. Di sini kita melangkah lebih jauh daripada sekedar mengongkritkan, yaitu memadatkan konsep supaya kita tidak membuat cangkang atau baju yang terlalu meriah sehingga menutupi ruhnya di antara gambar-gambar yang membingungkan. Karenanya, kita harus fokus dengan apa saja hal-hal yang hendak dilibatkan dalam komposisi puisinya. Bayangkan pernikahan antara ruh dan tubuh: seperti apa lamaran di antara mereka, apa yang jadi maharnya, bagaimana upacaranya, dan apa cinderamata bagi para tamu. Dan tentunya, tidak ketinggalan membuat perayaan ini sebagai sesuatu yang terjadi di pikiran pembaca, beri mereka ruang untuk menjadi event organizer-nya di satu waktu, dan tamu undangan di waktu yang lain.

Status:

Tentang pengongkritan dan pemadatan ini kita bisa belajar dari haiku, atau pun pendapat Acep Zam-Zam Noor ihwal penggunaan kata dalam puisi. Berpuisi itu seperti menabung, hemat dan efektif dalam menggunakan kata, akan tetapi menghasilkan kekayaan makna.

Proses Kreatif: Bergayalah sebelum Bergaya itu Dilarang

Dalam text book Psikologi Kognitif, ada penjelasan menarik dalam eksperimen tentang kreativitas. Para partisipan diminta untuk mengeluarkan sebuah bola tenis dari lubang sempit berkedalaman sekitar 1.5 meter, dengan sebuah tali tambang. Bagaimana pun masalah tersebut tampak mustahil untuk dipecahkan. Namun, akhirnya bola tenis tersebut dapat dikeluarkan dengan menuangkan air kedalam lubang. Terkadang, kita perlu menangguhkan prosedur dan aturan untuk memecahkan suatu permasalahan secara kreatif. Tetapi hal yang penting untuk dihindari dalam situasi tersebut adalah keyakinan bahwa hanya terdapat satu-satunya sudut pandang yang benar, yaitu yang dikatakan menurut aturan atau pakem tertentu. Sampai akhirnya kita lupa kalau kreativitas memerlukan beberapa dosis kebebasan agar dapat mengenali sudut pandang lain yang juga mengantar kita pada hal yang benar.

Sebelum kita dapat mengenali berbagai sudut pandang terhadap masalah, ada baiknya kita mengenali kembali cara-cara tersendiri dalam berkarya. Saya menilai diri saya sebagai orang intuitif dalam berkarya, mengandalkan intuisi yang terkadang hanya sekilas atau sekeping potongan puzzle untuk merangsang perenungan yang akhirnya menelurkan karya-karya. Saya dapat membuat puisi atau cerpen dari gambaran sekilas, satu kata, atau pun insight yang tidak terkatakan tapi saya bisa memahami apa pesannya. Namun dalam prosesnya, terkadang saya harus menginkubasi dulu kata atau pesannya, bisa beberapa jam, hari, bahkan berbulan-bulan Dalam jeda waktu itu saya melakukan hal-hal lain di luar berkarya (biasanya pergi jalan-jalan) dan kembali ketika sudah waktunya. Kadang-kadang setelah penantian itu, saya bisa menuliskannya selancar air yang mengalir. Agak lain dari teman-teman saya, ada yang melakukannya dengan menuliskan apa pun yang muncul di kepalanya kemudian disaring kembali saat mengedit, ada yang membuat draft secara rinci, dan ada juga yang melakukannya dengan berdiskusi bersama sembari menulis.

Tentu saja tidak selamanya saya mengoperasikan diri di antara ketidaksadaran dan kesadaran ketika berkarya. Ada saatnya untuk benar-benar kritis dan memastikan kembali apakah tulisan saya sudah sesuatu aturan tata bahasa, logis, sesuai proporsi wacana yang dibicarakan, dan mempertimbangkan siapa yang jadi pembaca. Singkatnya, di sini kita perlu tahu kapan saatnya suatu aturan bisa dilonggarkan, dan kapan diterapkan kembali secara ketat dan disiplin.

Status:

Memberontaklah seperti Chairil Anwar, tapi ingat kembali kesantunan dan kaidah berbahasa yang dicontohkan Amir Hamzah.

Proses Editing: Menghaluskan Bahasa dan Menjernihkan Makna

Meminjam kritik Ahmad Erwin Yulden, penyair Indonesia kadang lupa kalau makna puisi diekspresikan melalui sintaksis, daripada kata semata-mata. Saya kira kelalaian yang umum dalam mempertimbangkan kata di atas sintaksis biasanya dimotivasi oleh upaya untuk mengejar rima, atau karena ingin menggunakan diksi yang terdengar ‘Wah!’ padahal arkais, kurang tepat dengan konsep/tema dalam puisi, dan terlalu abstrak atau konseptual (misalnya istilah teknis dalam sains dan filsafat). Padahal dengan memperhatikan sintaksis bahasa Indonesia yang pada dasarnya S-P-O-K (subjek, predikat, objek, keterangan), kita dapat mempertimbangkan di mana enjambemen yang hendak dilakukan, apa yang hendak dijuktaposisikan dalam satu kalimat dengan kalimat lain, kapan kalimatnya perlu diturunkan jadi klausa dan frasa atau sebaliknya, dan kapan kita dapat melakukan perubahan dari kata sifat ke kata benda.

Saya memprioritaskan perhatian pada aturan tata bahasa di dalam proses editing karena di sinilah penyair diuji menghadapi egonya sendiri. Jauh sebelum proses editing, sekurang-kurangnya, penyair sudah mempunyai gambaran tentang logika bahasa baik berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam membuat deskripsi, eksposisi, atau pun narasi. Secara sederhana, jangan sampai kita mendeskripsikan sesuatunya secara ganjil dan kurang tepat, contohnya mengulang-ulang penggunaan ‘itu’ meskipun tidak diperlukan, mencampurkan-campurkan kalimat atau klausa aktif dan pasif, membuat deskripsi yang terlalu kering ketika seharusnya hidup (biasanya karena nominalisasi), atau pun membuat deskripsi yang terlalu meriah karena penggunaan metafor yang berlebihan. Ketidaktepatan semacam itu bisa berpotensi pada penggelapan makna (obskuritas), menjelaskan sesuatu yang sederhana dengan cara sulit, dan menandakan kurangnya kematangan pemikiran penulisnya. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam proses editing ada baiknya kita mengubah tatanan gramatikalnya, seperti mengubah kalimat tidak efektif jadi efektif, mau pun mengganti diksi-diksi yang kurang tepat.

Hal yang tidak kalah penting dari persoalan teknis ialah waktu yang pas untuk editing. Editing awal bisa dilakukan setelah karya diselesaikan, sekurang-kurangnya memeriksa kembali ejaan dan kesalahan penulisan. Editing menuntut pembacaan kembali secara mendalam dengan memposisikan diri sebagai pembaca. Waktu yang tepat untuk tugas tersebut adalah pagi hari, tetapi boleh juga dilakukan saat malam hari apabila bisa lebih berkonsentrasi karena suasana yang hening. Jangan lupa, mintalah seorang teman untuk membacakan karyamu dan memberi masukan, terkadang ada hal-hal yang terlewatkan oleh penulisnya baik dalam bentuk kata-kata mau pun gagasan.

Status:

Percaya atau tidak, sebagian besar dalam edit-mengedit merupakan persolaan jam terbang masing-masing. Seberapa giat Anda membaca kembali naskahmu, dan membuka KBBI atau pun Puebi, sambil sesekali membaca karya orang lain dan mencari-cari makalah tentang ilmu bahasa. Tentang ini, saya jadi teringat pada penyair Bandung, kang Soni Farid Maulana yang dikenal rajin untuk berguru ke sana-sini saking inginnya menulis puisi. Mudah-mudahan begitulah semangat kekaryaan kita kedepannya.

Revisi dan Hal-Hal yang Kerap Terepetisi

Suatu karya tidak pernah selesai, tetapi ini bukan ungkapan dari seorang perfeksionis semata yang ketidakpuasannya mengarahkan pada sejenis perilaku obsesif-kompulsif. Di permukaan, hal ini berarti jangan lengah akan typo dan kesalahan pengejaan lainnya, baca kembali sampai pikiran Anda hafal sebaik-baiknya. Secara mendalam, hal ini mengingatkan bahwa suatu karya masihlah sebuah medan kemungkinan. Di mana terdapat kemungkinan lain yang bisa dibuka atau ditutup.

Persoalan sesungguhnya bukan tentang apakah kita melakukan kesalahan berulang, atau menjadi disiplin, namun memperhatikan pola-pola yang akhirnya terasa sebagai ‘suara’ dalam puisi kita. Seandainya puisi itu tidak diberi nama, orang bisa menebak siapa penulisnya. Sadar akan kekhasan yang lebih halus dan bisa dirasakan sebagai degup jantung dan tarikan nafas penyairnya sendiri. Melampaui persoalan tentang identitas biografis, teknik, dan mahzab puisinya. Suara puisi tersebut adalah semangat yang khas dalam variasi kepribadian atau pun perasaan baru. Ketika si penyairnya dikuburkan dalam peti yang sama dengan pendahulunya, arwah mereka tidak bertemu sebagai saudara kembar atau anak cucu, melainkan hanya kenalan.

Tentang ini, izinkan saya buat menuliskan sebuah status yang ‘Sapardian’:

Aku ingin mengenalmu dengan sejatinya:

Dengan isyarat yang diam-diam dilantunkan

Gema kepada goa yang menjadikanmu tergiang-ngiang

Sepertinya, mau diotak-atik bagaimana pun, Anda akan membaca status itu dalam suaranya Sapardi daripada saya.

Penutup

Saya tidak ingin mengulang kembali semua penjelasan sebelumnya, akan lebih baik kalau menyempurnakannya dengan tips praktis setelah mengawang-ngawang. Singkat saja, pertama, mari kita ikuti saran Kafka untuk membaca satu puisi perhari, kita tidak mesti menjadi penyair untuk mencintai puisi, cukup mengundangnya ke dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, jika ada waktu luang tontonlah film Dead Poet Society (1989).

"Boys, you must strive to find your own voice, because the longer you wait to begin the less likely you are to find it at all." ~ Robin Williams

Referensi

Academy of American Poet. (2019, October 17). Ars poetica. Retrieved from https://poets.org/glossary/ars-poetica

Erwin, A. Y. (2015, November 11). INTI EKSPRESI PUISI ADALAH SINTAKSIS, BUKAN KATA. Retrieved from https://sastra-indonesia.com/2020/01/inti-ekspresi-puisi-adalah-sintaksis-bukan-kata/

Eliot, T.S. (1999). The Sacred Wood: Essays on Poetry and Criticism. New York: Bartleby.com.

Noor, Acep Zam-Zam. (2011). Puisi dan Bulu Kuduk. Bandung: Penerbit Nuansa.

MacLeish, A. (n.d.). Ars poetica by Archibald MacLeish. Retrieved from https://www.poetryfoundation.org/poetrymagazine/poems/17168/ars-poetica

Solso, Robert L, Otto H. Maclin, M. Kimberly Maclin. (2009). Psikologi Kognitif edisi 8. Jakarta: Erlangga.

The Editors of Encyclopaedia Britannica. (2017, August 17). Ars poetica. Retrieved from https://www.britannica.com/topic/Ars-poetica-by-Horace

Wikipedia. (2004, January 21). New Criticism. Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/New_Criticism

 

Ikuti tulisan menarik Fadzul Haka lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler