Spinning Perception Pertumbuhan Pembangunan Ekonomi Indonesia

Minggu, 26 Desember 2021 06:09 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tidak semua setuju dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dibawah pemerintahan Jokowi telah tumbuh eksplosif 7.07% tanpa melihat depresi yang diakibatkan oleh pandemic ini, mengapa demikian dan seberapa konklusif hasil ini?

Pengangguran Dengan Pertumbuhan Ekonomi

Tidak semua setuju dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi telah tumbuh eksplosif 7.07% tanpa melihat depresi yang diakibatkan oleh pandemic ini. Mengapa demikian dan seberapa konklusif hasil ini? Faktanya, berdasarkan angka tersebut tidak terlalu kuat karena sensitif terhadap asumsi spesifik. Perdebatan mengenai mengapa pertumbuhan spektakular di masa pandemi ini menimbulkan pertanyaan sulit dan tentang bagaimana aspirasi negara-negara lain untuk mencoba meniru Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pusat perdebatannya berdasarkan argumen gagasan kerangka teoritis akuntansi pertumbuhan yang berkontribusi pada produksi barang dan jasa: tenaga kerja, modal, dan teknologi, yang secara kolektif dikenal sebagai "faktor-faktor produksi”. Ini dapat dikalkulasi melalui rumusan persamaan trandisional untuk memberi gambaran proporsi peningkatan output hasil dari partisipasi tenaga kerja yang lebih tinggi dan penggunaan modal yang lebih baik disertai proporsi hasil dari penggunaan teknologi.

Namun ini tetap tidak meyakinkan untuk menjelaskan misteri angka pertumbuhan itu, terlebih dalam situasi pandemic walaupun kebijakan intervensionis selektif telah dilakukan pemerintah, misalnya, memastikan bahwa nilai tukar mencerminkan fundamental ekonomi, bahwa suku bunga menghasilkan pengembalian yang positif, inflasi yang terkendali, pajak yang tidak begitu memberatkan untuk menghambat kegiatan ekonomi hingga terus melakukan hutang luar negeri untuk pelbagai kebutuhan domestik, kelancaran proyek infrastruktur, penyediaan dana covid dan lainnyl. Namun demikian, angka pertumbuhan yang diperoleh ini malah menjadi angka politik yang dimainkan oleh pemerintah untuk menggiring persepsi public.

Pemerintah Jokowi sangat ahli memainkan pelbagai persepsi public melalui narasi populisnya, termasuk terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia 7.07% yang diperoleh pada tahun 2021 ini. Padahal yang menikmati pertumbuhan ekonomi ini bukan rakyat mayoritas melalui peningkatan layanan sector public termasuk dimasa pandemic ini, tetapi para eksportir bisnis ekstraktif, importir vaksin dan alat-alat kesehatan, oligarki tambang khususnya nikel, batubara serta tycoon sawit yang secara langsung maupun tidak langsung berada dalam jaring laba-laba kabinet Jokowi dan lingkaran partai pendukung pemerintah.

Pemerintah menggunakan perbandingan menggunakan data Kuartal II tahun 2020/Year on Year yang base pointnya rendah -5.3%, jadi efeknya terlihat spektakuler ketika diumumkan kepada public nasional maupun internasional bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 7.07%. Semua terpesona. Angka ini juga seperti menunjukan bahwa Indonesia baik-baik saja dimasa Covid ini, jadi investasi silahkan datang terlebih regulasinya telah disiapkan – omnibus law. Nyatanya, pertumbuhan itu bukan datang dari konsumsi rumah tangga rakyat mayoritas masih berada dalam angka negatif. Hal ini dapat terlihat dari konsumsi Sandang -0.51%, konsumsi Pendidikan dan Kesehatan -3.57%, sektor konsumsi yang naik hanya konsumsi Makanan-Minuman +2.1% serta Restoran/Hotel +6% akibat efek bansos dan peningkatan jasa sewa tempat isolasi pasien covid dan factor beralihnya ruang-ruang kerja seperti Work From Home yang bisa dilakukan di ruang-ruang komersial, seperti hotel walau tetap terbatas.

Angka pertumbuhan ini juga akibat harga komoditas ekspor dunia seperti Batubara dan harga CPO sawit yang melonjak walaupun fluktuatif tapi tetap diambang batas tinggi akibat kenaikan permintaan karena pertumbuhan ekonomi negara tujuan ekspor yang sudah pulih terlebih dahulu seperti Tiongkok +7.9%, Amerika +12.2% dan Singapura +14.3%, walaupun disertai krisis energi.

Selain itu, pertumbuhan juga berasal dari ekspor 31.8% serta penjualan kendaraan bermotor yang naik 758% dengan wholesale mobil +904.32% dan Motor +268.6%. Peningkatan penjualan kendaraan terjadi, salah satunya akibat dorongan masyarakat yang mengalami kehancuran ekonomi skala rumah tangga terutama diperkotaan akibat pandemic, akibat pemutusan hubungan kerja dan sulitnya mendapatkan pekerjaan akibat penutupan kantor-kantor formal, sehingga melakukan skema kredit untuk mendapatkan alat produksi baru berupa kendaraan untuk masuk dalam sector informal untuk tetap bertahan hidup terutama menjadi Ojek/Ojol, kurir paket toko online dan makanan. Ekonomi perkotaan lebih terlihat jelas porak poranda akibat Covid ini. Namun disisi lain,skema kredit kendaraan ini juga berperan dalam membantu terkereknya sektor perbankan dari kehancuran finansial.

Penyumbang terbesar selanjutnya adalah belanja/konsumsi pemerintah 29% terutama untuk keperluan medis-penanganan covid19, seperti vaksin, alat kesehatan, masker, oksigen, obat-obatan, tunjangan tenaga medis, penyediaan ruang karantina, biaya pemakaman hingga paket bantuan sosial. Belanja pegawai yang naik 19% untuk pembayaran gaji ASN, pensiunan, gaji ke 13 dan 14, THR tahun 2021 termasuk belanja administratif dalam masa pandemik ini. Kondisi riil akan menjelaskan mengapa ketimpangan ekonomi/rasio gini memburuk ke level 0.384, Tingkat Kemiskinan melonjak menjadi 10,14% atau sekitar 28 juta jiwa pada Kuartal I 2021 dan Tingkat Pengangguran Terbuka naik 7%.

Maka soal, apakah dengan angka 7.07% ternyata terdapat 84% penurunan UMKM, sekitar 25 juta orang kehilangan pekerjaan karena pandemic dan puluhan juta orang lainnya yang berada di sektor informal mengalami kehancuran ekonomi bertahap dan berada pada jurang rawan kemiskinan baru. Pemerintah Jokowi terpukau oleh angka pertumbuhan dan seperti tidak melihat kondisi riil ini yang seolah dapat diselesaikan dengan pelbagai kebijakan parsial tambal sulam. Jadi, ketika negara melakukan belanja public, siapa yang sebenarnya menikmati belanja public ini? Termasuk ketika melakukan hutang luar negeri yang telah mencapai Rp 6.625,43 triliun atau setara dengan 40,85% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Maka wajar saja jika ada pertanyaan, pertumbuhan ekonomi yang diklaim pemerintahan Jokowi itu apa, dan bagaimana berdampak pada rakyat mayoritas? Sensitivitas temuan klaim angka 7.07% harus juga dilihat dalam kontribusi relatif tenaga kerja dan modal, angka inflasi, tingkat depresiasi, periode referensi untuk ekstrapolasi, periode estimasi yang dipilih, dan tanggal dimulainya akumulasi modal serta belanja negara. Pemerintah seyogyanya menjelaskan angka-angka ini kepada publik tanpa memainkan persepsi publiknya hanya untuk narasi politik.

Pemerintah Indonesia tidak peka terhadap masalah sosial-ketimpangan, bukan hanya karena tradisi wacana yang didasarkan pada doktin kapitalis sejak era ordebaru, tetapi juga karena Indonesia yang belajar bagaimana terus melakukannya, memaksa tangan pemerintah terus bekerja dibawah kendali imperialis dengan dalih pertumbuhan-pembangunan. Pasca reformasi 98, dimensi sosial ini telah menurun sebelum prioritas langsung untuk mempercepat pertumbuhan, hari ini dibawah Jokowi kecenderungannya terbalik. Pertumbuhan nampak terlihat ajaib namun itu tampak semu, hanya 1 persen saja menikmati - yang sebenarnya adalah tujuan dari mengadvokasi hal tersebut dengan ditutupi oleh retorika developmentalis.

Jokowi menggunakan cara terbaik untuk memahami cara efektif untuk bergerak melalui imajinasi pertumbuhan-kemajuan bersama rakyat, dipahami dan didukung oleh mayoritas besar dalam wajah demokratisasi masyarakat yang dipadukan dengan pertumbuhan-kemajuan ekonomi, sosial dan politik. Namun, pertanyaan tentang demokratisasi yang terkait dengan kemajuan social politik—berlawanan dengan “demokrasi” yang terputus dari pertumbuhan tersebut sering dikaitkan dengan regresi sosial-perlahan itu terjadi nyata, linear dengan regresi ekonominya. 

Pasca penaklukan rezime otoritarian Orde Baru melalui reformasi hingga pemerintahan Jokowi ini, jaminan sosial malah terus terkikis tanpa menerapkan perluasan jaminan sosial—kesehatan, perumahan, dan subsisi publik lainnya – semuanya diserahkan dalam sistem pasar tanpa proteksi. Pemerintahan seperti apa yang mentransfer risiko dari modal kapital ke rakyat, penghancuran diri dari proyek kebangkitan pertumbuhan dan kebangkitan sosial melalui wajah populis, cengkraman hutang dan ketakutan ekologis. 

*Frans Ari Prasetyo, pemerhati kebijakan publik dan tatakota

Bagikan Artikel Ini
img-content
Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
Lihat semua