x

ilustrasi,hubungan Dua Manusia. Pixabay.com

Iklan

Afiyah Nur Rusydah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Januari 2022

Minggu, 2 Januari 2022 05:30 WIB

Analisis Tarjamah Teks Bahasa Arab

Artikel yang saya buat ialah terkait dengan menganalisis terjemah dari Al-Quran yakni Q.S Al-Anam ayat 103, Hadits riwayat Imam Bukhari dan perkataan Imam Syafii.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Teman-teman, apa yang kalian fahami tentang bahasa Arab? Mendengar istilah bahasa Arab sudah menjadi hal yang tidak asing lagi ditelinga kita, bukan?
Baiklah, mari kita telusuri bersama. Manusia sejak lahir berusaha untuk dapat berkomunikasi dengan baik dalam lingkungannnya. Bahasa Arab adalah salah satu alat untuk berkomunikasi sesama manusia diseluruh dunia.
 
Bahasa Arab mempunyai banyak ragam lho, apakah kalian tahu apa saja ragam dalam bahasa Arab? ya, diantaranya ragam bahasa Arab standar (al-‘arabiyah al- fushha) yang digunakan oleh kalangan pelajar, dan ada juga ragam bahasa sehari-hari (al-‘arabiyah al-‘amiyah) yang digunakan oleh orang-orang dalam berkomunikasi sehari-hari.
 
Selain itu, kita sebagai umat Islam tentu harus memahami bahwa bahasa pokok yang menjadi sumber ajaran agama Islam itu sendiri adalah bahasa Arab yakni Al-Qur'an dan Hadits. Maka perlu bagi kita untuk bisa memahami bahasa Arab, salah satunya dengan mempelajari tarjamah. Dikutip dari pendapat Brislin yang mengemukakan bahwa penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu kepada pengalihan pikiran atau gagasan dari BSu ke dalam BSa. Nah, karenanya, dengan tarjamah kemungkinan kita akan bisa memahami isi dan makna yang terkandung dalam suatu teks bahasa asing. Namun, dalam proses menerjemah, seorang penerjemah perlu mengetahui tata cara penerjemahan terlebih dahulu supaya mampu menghasilkan karya yang berkualitas.
 
Baiklah, pada artikel ini, saya akan menganalisis terjemahan dari Al-Qur’an yaitu Q.S Al-An’am ayat 103, Hadits riwayat Imam Bukhari tentang pendidikan dan ujaran bahasa arab lainnya dari perkataan Imam Syafi’I.
 
 
a. Al-Qur’an
لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ
 
Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Teliti. (QS Al-An'am: 103)
 
Dari terjemah ayat diatas, dapat kita perhatikan hal-hal sebagai berikut :
Pada kalimat لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ diterjemahkan yaitu “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata”. Sebaiknya, artinya diubah menjadi “Dia tidak dapat dilihat oleh kasat mata”. Perubahan gramatikal ini terjadi karena adanya penyesuaian gaya bahasa dalam bahasa sasaran.
Begitu juga pada kata وَهُوَ diterjemahkan “sedang Dia” sebaiknya arti itu diubah menjadi “namun” yang berfungsi sebagai kata hubung antara kalimat sebelum dan setelahnya.
 
Selanjutnya pada kalimat يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ artinya adalah “Dia dapat melihat segala penglihatan itu”. Jika disesuaikan dalam kesepadanan bahasa Indonesia, kalimatnya bisa diganti dengan “Dia bisa melihat apapun”. Dalam hal ini strategi yang digunakan adalah tabdil karena mengganti struktur kata yang ada pada Bsa dengan tetap memperhatikan makna yang terkandung dalam Bsu.
Dan juga dari kata الْخَبِيْر yang artinya maha teliti. Akan lebih baik jika ditambahkan “lagi” sebagai kata hubung. Strategi yang dipakai ialah ziyadah (penambahan) sebab, kata itu tidak disebutkan dalam bahasa sumber. Penambahan terjadi pada aspek struktural dimana struktur bahasanya yang menghendaki adanya penambahan itu.
Dengan demikian dapat kita simpulkan, makna terjemahnya menjadi:
Dia tidak dapat dilihat oleh kasat mata, namun Dia bisa melihat apapun. Dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Teliti (Q.S Al-An’am : 103).
 
b. Hadits
Hadits tentang Pendidikan dan Menjadi Pendidik yang Baik
 
كُوْنـُـوْا رَبَّانِيِّـْينَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ عُلَمَاءَ وَيُقَالُ اَلرَّبَّانِيُّ الَّذِى يُــرَبِــّى النَّاسَ بِصِغَارِ اْلعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
 
Artinya: "Jadilah pendidik yang penyantun, ahli fikih, dan ulama. Disebut pendidik apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sedikit-sedikit yang lama-lama menjadi banyak." (HR. Bukhari).
 
Mari kita perhatikan apa saja yang perlu dianalisis :
Dalam istilah فُقَهَاءَ diterjemahkan “ahli fiqih”. Seharusnya, kata tersebut bisa kita ganti menjadi “faham agama”. Pada bagian ini, kita dapat menemukan strategi yang digunakan yaitu tabdil (mengganti). Sebab, jika hanya memakai istilah "ahli fikih" dalam konteks maknanya akan mendatangkan banyak pertanyaan dikalangan masyarakat. Oleh karena itu, terjemahnya diubah dengan maksud untuk mengembangkan makna tersebut.
 
Mari kita perhatikan kembali pada kata عُلَمَاءَ ialah ulama, namun supaya lebih jelas maksudnya, maka ditambah kata “pengikut” pada bagian sebelumnya. Pada bagian ini memperlihatkan adanya strategi ziyadah (menambahkan) karena “pengikut” pada Bsu tidak dicantumkan. Penambahan ini terjadi pada aspek semantik sebagai pertimbangan untuk kejelasan maknanya.
 
Selanjutnya, dapat dilihat pula dari kalimat وَيُقَالُ اَلرَّبَّانِيُّ الَّذِى يُــرَبِــّى النَّاسَ بِصِغَارِ اْلعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ yang artinya “Disebut pendidik apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sedikit-sedikit yang lama-lama menjadi banyak.” Sebaiknya diubah kalimatnya menjadi “Dengan demikian, dapat disebut sebagai pendidik apabila seseorang telah mengajarkan sedikit ilmunya kepada orang lain yang jika diistiqomahkan akan menjadi luas dan manfaat”. Adanya perubahan dan pengelolaan kata ini bertujuan agar makna lebih mudah tersampaikan oleh pembaca.
Dapat kita simpulkan, akan lebih pas jika di artikan menjadi :
Jadilah pendidik yang penyantun, faham agama, dan pengikut ulama. Dengan demikian, dapat disebut sebagai pendidik apabila seseorang telah mengajarkan sedikit ilmunya kepada orang lain yang jika diistiqomahkan akan menjadi luas dan manfaat. (H.R. Bukhari)
 
c. Perkataan Ulama
Imam Syafi’I berkata :
 
من أحب أن يفتح الله قلبه أو ينوره فعليه بالخلوة، وقلة الأكل، وترك مخالطة السفهاء، وبعض أهل العلم الذين ليس معهم إنصاف ولا أدب
 
Artinya: "Barangsiapa yang ingin Allah buka hatinya atau diberi cahaya maka hendaklah dia berkholwah (menyendiri untuk bertafakur), sedikit makan, meninggalkan bergaul dengan orang-orang “ideot”, serta meninggalkan pergaulan dengan sebagian ahli ilmu yang tidak memiliki objektifitas dan tidak memiliki adab."
 
mari kita analisis bersama :
Kata من yang lazimnya diartikan “barang siapa” namun penulis ubah bentuk katanya dengan menyesuaikan penerjemahan kontemporer menjadi “siapa saja”. 
Pada kata بالخلوة dalam teks ini diterjemahkan “berkholwat”. Pada proses menerjemah, kelaziman bahasa sasaran juga perlu diperhatikan. Maka terjemahnya dapat diubah menjadi “menyendiri”. Berdasarkan kamus Al-Ma’ani kedua kata itu memiliki makna yang sama.
 
Dikutip dari buku Pinchuck Isadore yang berjudul Scientific and Technical Translation yang menyatakan bahwa penerjemahan bisa didefinisikan sebagai proses menemukan padanan bahasa sasaran bagi ujaran bahasa sumber. Maka definisi ini menekankan bahwa dalam proses penerjemahan harus melibatkan usaha menemukan padanan bahasa sumber dalam bahasa sasaran. 
 
Pada kalimat وقلة الأكل diterjemahkan “sedikit makan”, namun seharusnya lebih baik jika terjemahnya menjadi “menahan nafsu”. pada bagian ini terjadi perubahan pada aspek semantik dengan tujuan yaitu sebagai pengembangan dalam konteks maknanya.
Dan juga dalam kalimat وترك مخالطة السفهاء، وبعض أهل العلم الذين ليس معهم إنصاف ولا أدب Diterjemahkan “meninggalkan bergaul dengan orang-orang “ideot”, serta meninggalkan pergaulan dengan sebagian ahli ilmu yang tidak memiliki objektifitas dan tidak memiliki adab.” yang kemudian dipersingkat artinya menjadi "dan menjauhi lingkungan serta pergaulan yang buruk".
 
Strategi yang digunakan ialah pengurangan (hadzf). Ada beberapa kata dari Bsu yang dihilangkan/dikurangi dengan maksud supaya tidak mendatangkan keraguan dalam memahami teks dan juga agar pesan yang tersirat didalamnya bisa dengan mudah dicerna oleh pembaca.
Maka dapat disimpulkan, akan lebih mudah dipahami jika makna tarjamah tersebut di artikan:
“Siapa saja yang ingin Allah buka hatinya atau diberi cahaya maka hendaklah dia menyendiri, menahan nafsu, dan menjauhi lingkungan serta pergaulan yang buruk.
 
Jika ditelusuri lebih dalam, ada beberapa strategi yang dipakai dalam menganalisis terjemah ini yakni tabdil (mengganti) dan Hadzf (pengurangan). Pengubahan dan pengurangan kosa kata dilakukan agar sesuai dengan kelaziman Bsa, supaya pembaca mudah memahami pesan yang dimaksud dalam teks tersebut.
 
 
Berdasarkan hasil analisis ini, dapat kita temukan beberapa strategi yang dipakai dalam menganalisis terjemahan Al-Qur'an, hadits, dan perkataan Imam Syafi'i. Dan yang paling dominan digunakan ialah tabdil (mengganti). Menurut saya, kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan ini ialah bahwa dalam penerjemahan ini masih perlu adanya perhatian khusus pada struktur kalimat, pemilihan diksi dan lainnya yang sesuai dengan kaidah Bsa agar dapat lebih nyaman dibaca dan pesan yang ada pada teks tersebut bisa tersampaikan dengan baik oleh pembaca.
 
Dalam artikel ini, penulis menyadari masih banyak kekurangannya. Jika berkenan, pembaca dapat mengkritik kekurangan yang ada pada artikel ini supaya penulis bisa lebih giat lagi untuk menggali ilmu dan wawasan yang luas sehingga mampu membuat karya yang lebih baik di kemudian hari.
 
 

Ikuti tulisan menarik Afiyah Nur Rusydah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB