x

Ilustrasi Politisi. Image oleh Wokandapix di Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 14 Januari 2022 07:08 WIB

Jabatan Gubernur Sementara Jangan Dijadikan Alat Politik

Sikap elite dan partai politik terhadap penunjukan seseorang untuk menduduki jabatan kepala daerah sementara juga menunjukkan sejauh mana elite dan partai berkepentingan terhadap jalannya pemerintahan daerah yang efektif dan mengabdi kepada warga masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sejumlah gubernur, serta kepala daerah lainnya, akan mengakhiri jabatan mereka pada tahun 2022 ini. Mereka akan digantikan oleh pejabat sementara gubernur yang ditunjuk oleh pemerintah pusat, yang akan menjalankan tugas sehari-hari kepala daerah provinsi maupun kepala daerah kota dan kabupaten. Boleh jadi mereka bukan politisi dari partai tertentu, tapi dari birokrat atau—dalam sejumlah kasus—jenderal polisi.

Walaupun bukan politisi profesional, dalam arti kader partai politik, bukan berarti para pejabat sementara ini tidak bisa berpolitik. Berpolitik niscaya bisa, tapi seberapa kuat mereka mau berpolitik? Ini berpulang kepada karakter pejabat yang dipercaya untuk memegang jabatan sementara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila para pejabat sementara ini bekerja secara profesional layaknya birokrat yang teguh pendirian dari tarikan kepentingan politik berbagai pihak, khususnya partai politik maupun atasan mereka di pemerintahan, perjalanan pemerintahan mereka akan dicatat baik-baik saja. Tidak akan ada gejolak serius hingga nanti pada 2024 akan terpilih kepala daerah definitif yang baru hasil pemilihan kepala daerah.

Tekanan politik kepada pejabat sementara ini bisa saja datang dari partai politik melalui anggota DPRD di wilayah masing-masing maupun dari para menteri yang berasal dari partai. Juga mungkin dari pihak-pihak lain yang berkepentingan mengambil keuntungan dari masa transisi menuju pejabat definitif yang baru. Mampukah para pejabat sementara ini menahan gempuran dari luar?

Banyak pihak yang akan berusaha mengambil keuntungan politis menjelang pilpres, pileg, serta pilkada dua tahun mendatang. Jabatan kepala daerah sementara akan menjadi tantangan bagi pemegangnya, sebab di tengah pembatasan oleh aturan, ia mungkin juga mendapat tekanan untuk melakukan perubahan atau mengambil kebijakan yang berbeda dari pejabat yang ia gantikan.

Di sisi lain, menjelang pilkada nanti, bukan tidak mungkin para pejabat sementara ini juga akan digoda oleh partai politik maupun pihak lain untuk ikut mencalonkan diri. Bila pejabat sementara betul-betul tergiur oleh godaan untuk maju ke gelanggang pilkada, terjadinya konflik kepentingan tidak terhindari. Partai politik boleh jadi akan mengambil keuntungan dari situasi ini, misalnya dengan memasangkan calonnya dengan pejabat sementara untuk maju ke pilkada.

Dalam situasi transisi semacam itu, yang berlangsung tidak lama lagi, masyarakat harus mengawasi betul apakah jalannya pemerintahan tidakmenyimpang dari aturan pembatasan pejabat sementara. Meskipun mungkin tidak sepenuhnya efektif, pengawasan oleh masyarakat tetap penting dijalankan. Pengawasan jalannya pemerintahan pejabat sementara oleh DPRD niscaya tidak akan dapat diandalkan, sebab mereka adalah wakil partai politik yang memiliki kepentingan tertentu dengan pilpres, pileg, maupun pilkada 2024.

Sikap elite dan partai politik terhadap penunjukan seseorang untuk menduduki jabatan kepala daerah sementara juga menunjukkan sejauh mana elite dan partai berkepentingan terhadap jalannya pemerintahan daerah yang efektif dan mengabdi kepada warga masyarakat. Bahkan, siapa yang ditunjuk pemerintah untuk menempati posisi tersebut juga memperlihatkan keberpihakan Presiden, kepada masyarakat luas atau mengakomodasi kepentingan elite dan partai politik pendukungnya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler