x

ilustr: Asia Marosa/EyeEm/Getty Images

Iklan

Romie Mukti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 Januari 2022

Senin, 24 Januari 2022 17:03 WIB

Kebebasan yang Terenggut adalah Pemicu Kecemasan Sosial

Orang tua yang mengembangkan pola asuh conditional positif regard akan membuat anak mengembangkan konsep diri yang bukan dirinya sendiri. Ia akan selalu bertindak berdasarkan penilaian orang lain. Ia takut mendapat penilaian negatif dari lingkungan sosial. Individu tersebut akan menginternalisasi apapun yang dilakukan harus sesuai penilaian orang lain. Akibatnya, ia tak bisa mengembangkan potensi dirinya secara maksimal. Di Indonesia ada 14 juta orang yang mengalami kecemasan sosial ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, termasuk kebutuhan  psikologis. Interaksi sosial tidak melulu mengakibatkan hubungan positif seperti kasih sayang, cinta dan lain sebagainya. Namun juga dapat memberikan dampak negatif seperti marah, benci bahkan bisa memicu gangguan psikologis, salah satunya kecemasan sosial. Lalu kecemasan sosial itu apa dan bagaimana bisa terjadi?

Kecemasan sosial adalah perasaan takut pada situasi sosial dan takut mendapatkan penilaian negatif dari orang lain. Penelitian yang dilakukan Pierce menyatakan kecemasan sosial merupakan permasalahan kesehatan mental yang menduduki peringkat tiga terbanyak setelah depresi dan penyalahgunaan alkohol. Gejala yang muncul pada penderita kecemasan sosial biasanya ditandai adanya perasaan takut dinilai negatif baik pada situasi sosial ataupun akademik. Selain itu juga munculnya persepsi takut ditolak orang lain dan perasaan gelisah yang berlebihan ketika berhadapan dengan situasi sosial baik dalam masyarakat, sekolah ataupun tempat kerja.

Kecemasan sosial itu ditandai dengan munculnya gejala fisik seperti berkeringat dingin, tangan atau bagian tubuh gemetar, dan jantung berdetak lebih kencang, saat berpidato atau situasi yang membutuhkan partisipasi secara langsung. Kecemasan sosial yang muncul ditunjukkan dengan perilaku menghindar baik secara langsung maupun tidak langsung. Padahal perilaku menghindar akan menjadi penguatan kecemasan sosial tersebut, sehingga bukannya malah hilang, malah akan semakin parah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Interaksi sosial tidak hanya terbatas pada sosial masyarakat saja, namun juga pada keluarga, sekolah, tempat kerja atau bahkan di media sosial. Interaksi itulah yang kemudian melahirkan sesuatu yang dinamakan lingkungan hidup, seperti keluarga inti, keluarga luas atau kelompok masyarakat.

Lingkungan hidup merupakan tempat manusia tumbuh dan berkembang dari bayi hingga dewasa bahkan sampai mati. Sehingga lingkungan juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan psikologis invidu. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sikap dan perilaku invidu. Bila invidu berada dalam lingkungan yang baik maka akan memberikan pengaruh yang baik bagi perkembangan karakter ataupun perilaku. Begitu pun pula sebaliknya.

Hal ini dikarenakan masa hidup tahap awal terutama dalam lahir, tumbuh, dan berkembang paling banyak dihabiskan waktunya di lingkungan keluarga. Jadi karakter dan perilaku individu akan dipengaruhi kebiasan – kebiasan ataupun role mode yang ada pada keluarga tersebut. Selain itu lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting dalam perkembangan perilaku dan sikap individu. Hal ini dikarenakan dalam lingkungan masyarakat seorang invidu akan lebih mengembangkan kemampuan sosialnya dengan berbagai tingkatan umur, baik sebaya, lebih muda ataupun lebih tua. Selain kemampuan sosial, invidu juga akan mengetahui cara orang lain berperilaku termasuk juga peristiwa yang terjadi dalam masyarakat serta bagaimana masyarakat menghadapi sebuah peristiwa tersebut.

Keluarga terutama orang tua berperan besar dalam pembentukan karakter anak. Hasil yang baik dicapai untuk semua keluarga ketika mereka memiliki  struktur kokoh dan menjalankan semua fungsinya secara optimal. Pola asuh terhadap anak akan sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.

Orang tua yang mengembangkan pola asuh conditional positif regard akan membuat anak mengembangkan konsep diri yang bukan dirinya sendiri. Ia akan selalu melakukan sesuatu hal berdasarkan penilaian orang lain, terutama orang tua. Ia cenderung melakukan apa yang disukai orang tua dan menghindari apa yang tidak disukai/dilarang mereka. Akibatnya individu tersebut akan menginternalisasi bahwa apapun yang dilakukan harus sesuai penilaian orang lain. Jadi dalam hal standar hidup, norma dan aturan, apabila dilanggar indivudu bersangkutan akan merasa bersalah. Kondisi ini yang disebut Rogers sebagai konsep diri negatif yakni antara real self dan ideal self tidak seimbang. Rogers menyebutkan sebagai inkongruen.

Orang tua yang menerapkan pola asuh dengan menerapkan pola tersebut indentik dengan pola asuh otoriter. Ciri khasnya adalah kekuasaan orang tua mendominasi keinginan anak. Dalam hal ini anak tidak diakui sebagai pribadi utuh yang mampu berpikir, memberikan pendapat, menyampaikan keinginannya.

Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia masih didominasi oleh pola asuh otoriter. Penelitian yang dilakukan Listiyaningsih et., al pada tahun 2019 menemukan bahwa 37% dari 150 orang tua di Daerah Istimewa Yogyakarta pada anak usia 10-14 tahun masih menerapkan pola asuh otoriter. [12] Hal serupa juga ditemukan oleh Fakriyatun dan Damayanti pada tahun 2018 juga menyatakan 75% dari 76 orang anak usia prasekolah taper tantrum di RA Baiturrohim Malang menerapkan pola asuh otoriter. [13] Penelitian yang dilakukan Wulandari  pada tahun 2018 juga menyatakan bahwa 77,4% dari 62 orang tua di SMPN 28 Banjarmasin menerapkan pola asuh otoriter.

Hal ini menunjukkan orang tua di beberapa daerah terutama di Indonesia didominasi oleh pola asuh otoriter. [14] Tidak mengherankan bahwa hasil Risset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta penduduk di Indonesia mengalami gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala gejala kecemasan dan depresi.

Menurut penelitian yang dilakukan Rachmawaty orang tua dengan pola asuh otoriter memiliki pengaruh signifikan pada kecemasan sosial yang terjadi pada individu. Seorang tokoh psikologi humanisitik yakni Rogers juga menjelaskan Invidu yang hidup dengan conditional positif regards umunya kurang atau bahkan tidak dapat mengaktualisasikan dirinya. Sebab, konsep diri yang dikembangkan merupakan standar hidup yang ditentukan orang lain. Mereka yang tidak dapat mengaktualisasikan diri, menurut Rogers, akan mengalami gangguan psikopatologis, misalnya seperti kecemasan, kecemasan sosial, stress hingga depresi.

Kondisi ini diperparah juga dengan kondisi dalam lingkungan teman sebaya, sekolah dan budaya. Tidak jarang dalam lingkungan teman sebaya setiap individu yang berbeda atau memiliki standar hidup berbeda dari orang apada umumnya akan mendapatkan kekerasan verbal atau kekerasan fisik. Mereka akan dianggap aneh dan dihindari karena berbeda dibanding orang pada umumnya. Banyak orang --juga di Indonesia--  yang takut untuk mengekspresikan dirinya. Mereka, takut dinilai jelek oleh orang lain, takut dicemooh, takut dilabel negatif, yang berakibat dihindari oleh sekitar.

Dalam situasi demikian, potensi-potensi yang seharusnya dapat dimaksimalkan tertutupi oleh perasaan cemas. Dia akan cemas situasi sosial akan menganggap dirinya aneh. Ia bisa di-bully dan sebagainya. 

Padahal manusia yang sehat adalah manusia yang bebas namun mengetahui batas dalam hidupnya. Batas yang dimaksut disini adalah resiko, umur, takdir dan norma budaya yang berlaku. Ketika orang dapat beraktualisasi diri dan mengetahui segala batasan, ataupun resiko dari apa yang dia putuskan dan dia dapat mengatasinya maka  aktualisasi diri akan tercapai.

Dalam filsafat kondisi semacam ini juga erat kaitannya dengan filsafat aliran eksitensialime yang membahas tentang pengakuan atas keberadaan manusia sebagai subyek yang berinteraksi terletak pada kesadaran. Seperti dikatakan salah satu tokoh eksistensialisme, Satre, “Aku dikutuk bebas, ini berarti bahwa tidak ada batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau, kita tidak bebas untuk berhenti bebas”. Lalu apa hubungannya kecemasan sosial dengan filsafat eksistensialisme?

Satre juga menyebutkan l’etre-pour-soi  yang artinya berada sadar akan dirinya, yakni secara individual mempunyai kebebasan untuk mencipta dan memberi makna kepada keberadaannya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada dengan merancang dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan orang kecemasan sosial yang dari kecil sudah diatur hidupnya tidak pernah mendapatkan kebebasan untuk berpendapat ataupun menentukan keinginannya sehingga eksistensinya menjadi pudar karena menginternalisasi eksistensi orang lain pada dirinya.

Sartre juga pernah mengungkapkan bahwa ‘neraka adalah orang lain’, atau “Dosa asal saya adalah adanya orang lain’, dalam bukunya Being and Nothingness. Bagi Sartre, hubungan dengan orang lain adalah "neraka". Tidak setiap individu  akan memberikan kesempatan untuk menjadi individu yang sama. Setiap hubungan antara subjek selalu terganggu satu sama lain karena yang dipertimbangkan sebenarnya adalah objek daripada subjek yang mana tindakan objektifikasi sebenarnya membunuh subjektivitas orang lain

Ikuti tulisan menarik Romie Mukti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler