x

Ilustrasi rapat di DPR. TEMPO/Fakhri Hermansyah

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 28 Januari 2022 09:58 WIB

DPR yang Enggan Jadi Wakil Sejati Rakyat

Salah satu masalah pokok yang dihadapi rakyat saat ini ialah kecondongan DPR yang lebih kuat kepada pemerintah ketimbang memperjuangkan apa yang dipikirkan dan dikehendaki rakyat. Bergabungnya banyak partai politik ke dalam kabinet pemerintahan menjadikan para anggota DPR tidak ubahnya wakil partai yang duduk di parlemen, alih-alih menjadi wakil rakyat yang sejati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Setelah berlarut-larut, akhirnya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disepakati sebagai RUU inisiatif DPR. Permintaan Presiden Jokowi agar RUU ini segera dibahas dan bahkan disahkan tampaknya menjadi pendorong yang menggerakkan anggota DPR. Entah kenapa mesti seperti itu, sedangkan sebelumnya tuntutan masyarakat agar rancangan itu segera dibereskan tidak cukup mendapat perhatian anggota DPR. Namun begitu, belum ada kepastian kapan rancangan yang disusun sejak tahun 2016 itu ditargetkan selesai dibahas.

Bagaimana sebenarnya para anggota DPR menempatkan diri dalam relasi dengan pemerintah, rakyat, serta partai politik? Secara formal, sesuai namanya, DPR menghimpun politisi yang dipilih oleh rakyat untuk mewakili rakyat dalam menjalin relasi dengan pemerintah. Sebagai ‘wakil rakyat’ [dalam tanda kutip], para anggota Dewan semestinya betul-betul mengaktualisasi aspirasi rakyat dengan mengritisi dan mengontrol jalannya pemerintahan demi tercapainya kesejahteraan rakyat banyak lahir dan batin.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Amanah yang diberikan rakyat melalui pemilihan umum mestinya ditunaikan dengan sepenuh hati. Namun agaknya kepatuhan kepada partai politik dan elitenya lebih besar ketimbang kepada rakyat yang memberi amanah. Karena itulah, para anggota Dewan lebih responsif terhadap undang-undang tampaknya merupakan agenda elite, seperti revisi UU KPK, revisi UU Mineral dan Batubara, revisi UU MK, penyusunan UU Cipta Kerja, maupun yang terbaru UU Ibukota Negara.

Semua undang-undang tersebut, termasuk yang revisi, dikerjakan supercepat. Praktis, partisipasi rakyat sangat terbatas karena akses kepada informasi serba terbatas dan perubahan-perubahan isi rancangan berlangsung sangat cepat sehingga sangat tidak mudah bagi rakyat untuk mengetahui perkembangannya dari waktu ke waktu. Tahu-tahu, RUU sudah disetujui oleh paripurna DPR dan kemudian disahkan.

Apakah sesungguhnya yang dikerjakan DPR untuk rakyat? Dalam menjalankan salah satu fungsinya, yaitu legislasi atau pembuatan undang-undang, DPR terlihat bagaikan institusi yang kurang inisiatif. Sikap DPR sangat berbeda manakala pemerintah yang berinisiatif menyusun undang-undang baru maupun melakukan revisi atas undang-undang yang sudah ada. DPR terlihat trengginas manakala diminta segera menyelesaikan rancangan undang-undang usulan pemerintah, sanggup lembur siang malam.

Sayangnya, dalam konteks berbagai contoh penyusunan maupun revisi undang-undang tadi, anggota DPR lebih berfungsi sebagai pembahas, pengoreksi, penambah kelengkapan, dan akhirnya pemberi persetujuan atas RUU maupun revisi yang diusulkan pemerintah. Di saat yang sama, sebagai wakil rakyat, DPR malah enggan melibatkan rakyat banyak dalam menyusun undang-undang, apa lagi menyuarakan aspirasi rakyat. Karena akses informasi yang terbatas, rakyat tidak mengetahui bagaimana dinamika penyusunan undang-undang itu di lingkungan DPR—baik dinamika proses maupun dinamika gagasan yang dibicarakan.

Salah satu masalah pokok yang dihadapi rakyat saat ini ialah kecondongan DPR yang lebih kuat kepada pemerintah ketimbang memperjuangkan apa yang dipikirkan dan dikehendaki rakyat. Bergabungnya banyak partai politik ke dalam kabinet pemerintahan menjadikan para anggota DPR tidak ubahnya wakil partai yang duduk di parlemen, alih-alih menjadi wakil rakyat yang sejati. Partai yang sama menempatkan wakilnya baik di kabinet maupun di parlemen dengan kursi mayoritas. Jumlah kursi partai yang bukan pendukung pemerintah jauh lebih sedikit dibandingkan mayoritas pro-pemerintah, sehingga fungsi DPR sebagai wakil rakyat mengalami kemandulan.

Prakarsa penyusunan undang-undang baru maupun revisi lebih didominasi oleh pemerintah, sedangkan DPR lebih banyak berperan sebagai penerima supres, mempelajari rancangan, membahasnya bersama wakil pemerintah, mengoreksi secukupnya, lalu menyetujuinya untuk disahkan dalam waktu sangat cepat. Bagaimana mungkin yang disebut ‘wakil rakyat’ menyerap dan menyuarakan aspirasi rakyat terkait undang-undang yang sedang dibahas bila para anggota Dewan itu enggan membuka pintu lebar-lebar bagi rakyat yang, katanya, mereka wakili?

Lihatlah, nasib rancangan undang-undang lain yang kurang memperoleh perhatian dari parlemen maupun pemerintah, meskipun ada desakan dari masyarakat luas. Contohnya, RUU TPKS yang tertunda-tunda penyelesaiannya sehingga tidak kunjung disahkan, sementara banyak kasus ditemukan. Jika ada perbedaan pendapat di antara mereka, ya sebaiknya segera diselesaikan. Sejauh ini, RUU ini baru saja ditetapkan sebagai inisiatif DPR, sedangkan penyelesaiannya belum tahu sampai kapan.

Sungguh hebat bila DPR juga menunjukkan antusiasmenya dalam membangun prakarsa pembuatan undang-undang yang berpihak kepada rakyat banyak dan antusias mengambil inisiatif menyusun undang-undang buah pikir sendiri, bukan menunggu kiriman rancangan dari pemerintah. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler