Menyoal Pelapor Kasus Korupsi Dana Desa yang Dijadikan Tersangka

Sabtu, 26 Februari 2022 15:15 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aparat kepolisian kembali menjadi perbincangan hangat setelah menetapkan Nurhayati, seorang perempuan yang melaporkan kasus dugaan penyelewengan dana desa di desa Citemu, kecamatan Mundu, kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kemudian dijadikan sebagai tersangka. Hal ini dianggap sebagai preseden buruk bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di negeri ini

Sepertinya belakangan ini tengah jadi buah bibir jika pihak aparat kepolisian dianggap sedang menebar ancaman kepada siapa pun yang coba-coba melaporkan kasus korupsi, karena tidak menutup kemungkinan sang pelapor bisa dijadikan sebagai tersangka. 

 

Sebagaimana halnya dengan seorang perempuan bernama Nurhayati, mantan Kepala Urusan Bendahara Desa Citemu, kecamatan Mundu, kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang melaporkan penyalahgunaan Dana Desa yang dilakukan oleh Kuwu (Kepala Desa) Supriyadi ke polisi, akan tetapi alih-alih diberi penghargaan karena kontribusinya melaporkan kasus dugaan korupsi, justru Nurhayati sebagai pelapor itu sendiri ditetapkan sebagai tersangka. 

 

Kasus serupa juga pernah menimpa seorang jurnalis di Sulawesi Selatan. Muhammad Asrul, wartawan berita.news dipenjara karena menulis berita laporan dugaan korupsi putra Wali Kota Palopo, Judas Amir,  yakni Farid Kasim Judas. Asrul dituduh menyiarkan berita bohong dan membuat keonaran di masyarakat. 

 

Jaksa menunutut Asrul dengan Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau tindak pidana ujaran kebencian Pasal 28 ayat (2) atau tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat 3 UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

 

Begitu juga halnya dengan kasus yang menimpa LG, seorang perempuan pedagang di sebuah pasar di Medan, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu yang dipalak, dan dipukuli preman. 

 

LG melaporkan kejadian yang menimpa dirinya itu ke Polisi. Akan tetapi kemudian polisi menetapkan LG, yang dianiaya oleh preman berinisial BS di Pajak Gambir Tembung, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, jadi tersangka. Kasusnya bermula ketika ia menolak memberikan uang Rp500 ribu kepada si pemalak, 5 September 2021. 

 

Demikian juga dengan kasus yang terjadi di tahun 2020, dan menimpa seorang wanita muda yang menjadi korban penganiayaan ayahnya sendiri, dan kebetulan ayahnya itu seorang perwira menengah Polri. 

 

Aurellia Renatha, anak dari Kombes Pol Rachmat Widodo, mengaku diduga dianiaya oleh ayahnya, Juni 2020. Dugaan tindak pidana itu lantaran diduga sang ayah memiliki hubungan asmara dengan perempuan lain. Kala itu, Aurellia menemukan isi pesan siAungkat ayahnya dengan seorang perempuan. 

 

Akhirnya Polres Metro Jakarta Utara menetapkan Aurellia sebagai tersangka. Kasus penganiayaan oleh Rachmat disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. 

 

Padahal semestinya pihak kepolisian tidak bisa langsung menetapkan Nurhayati, Muhammad Asrul, LG,  maupun  Aurellia sebagai tersangka sebab dia berstatus saksi pelapor dalam kasus tersebut di atas. 

 

Kecuali jika kemudian dalam pemeriksaan di pengadilan terbukti ada peran atau perbuatan saksi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, maka atas dasar fakta persidangan itu saksi bisa ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 184 dan Pasal 185 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan aturan yang tertuang dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan korban. 

 

Bahkan dalam kasus Nurhayati, dan Muhammad Asrul yang membuka pintu dugaan kasus korupsi yang selama ini disebut sebagai extraordinary crime, atau kejahatan yang luar biasa, pelapor seperti Nurhayati dan Muhammad Asrul sudah seharusnya mendapatkan penghargaan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018. 

 

Terlepas dari itu, cukup menarik dengan dalih yang dikemukakan Kapolres kota Cirebon, AKBP Fahri Siregar, terkait ditetapkannya Nurhayati sebagai tersangka, lantaran sudah sesuai kaidah hukum karena perbuatan yang bersangkutan menyerahkan uang dana desa langsung ke kepala desa bisa dikategorikan melawan hukum. 

 

Bisa jadi penetapan Nurhayati menjadi tersangka itu juga yang menimbulkan polemik di tengah publik belakangan ini. Polresta Cirebon dianggap memandang kasus tersebut dengan menggunakan kacamata kuda. 

 

Padahal di samping harus memperhatikan Pasal 184 dan Pasal 185 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sudah selayaknya mempertimbangkan jika masyarakat di pedesaan pada umumnya masih dianggap memiliki keterbatasan terhadap seluk-beluk prosedur, dan aturan perundang-undangan. 

 

Demikian juga halnya dengan hierarki pemerintahan di desa yang memiliki ciri khas tersendiri, bahwa sosok seorang kepala desa yang dianggap memiliki kekuasaan penuh sebagai orang nomor satu di desanya, secara otomatis segala sesuatu yang terjadi di dalam kegiatan pemerintahannya harus diketahui oleh dirinya. 

 

Secara prosedural, Nurhayati memang harus menyerahkan dana desa yang dicairkannya langsung kepada aparat desa yang menjadi pelaksana. Akan tetapi dalam serah-terima tersebut, kepala desa harus menyaksikannya. Karena itu juga apabila seorang kepala desa yang memiliki iktikad tidak baik, maka yang bersangkutan pun akan menunjukkan kekuasaannya. 

 

Ditambah lagi dengan faktor gender. Secara psikologis, Nurhayati, seorang perempuan yang berasal dari pelosok desa, bisa jadi memiliki rasa segan bercampur takut ketika berhadapan dengan kepala desa yang berlainan jenis dengan dirinya. 

Selain itu, kita pun diingatkan bahwa dalam dunia hukum dikenal suatu prinsip Nemo judex idoneus in proporia causa yang berarti bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkara tersendiri.

 

Di sinilah kiranya tantangan bagi aparat penegak hukum, baik kepolisian, jaksa, dan hakim kudu mampu bersikap objektif, dan mempertimbangkan dari berbagai aspek dalam memutuskan suatu perkara. 

 

Apa lagi dengan perkara penyelewengan dana desa di desa Citemu, kecamatan Mundu, kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ini bisa jadi merupakan puncak gunung es yang hingga saat ini masih banyak yang belum terungkap ke permukaan. 

 

Atau kalau pun ada warga yang berniat untuk melaporkan dugaan penyelewengan dana desa di kampungnya, jangan-jangan akan urung dilakukan lantaran takut dijadikan sebagai tersangka... ***

Bagikan Artikel Ini
img-content
Adjat R. Sudradjat

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler