x

artikel ini berisikan tentang proses pembelajaran dengan menggunakan literasi lingkungan sebagai medianya dan siskamling sebagai metodenya sebagai wujud dari merdeka belajar dengan memperhatikan kharakteriktik peserta didik sebagai pribadi yang unik dan humanis dalam mengeksplor diri baik dari segi kreatifitas, pengetahuan, dan keterampilan kecakapan hidup dalam menghadapi tantangan lingkungan di era teknologi abad 21

Iklan

Wahyu Umattulloh AL

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Maret 2022

Minggu, 6 Maret 2022 19:54 WIB

Keseriusan Mencintai Lingkungan

Keseriusan kita untuk mencinta terhadap lingkungan belum sepenuhnya optimal, mulai dari keseriusan kita untuk mencinta terhadap lingkungan sosial seperti menghargai atau menumbuhkan kesadaran untuk setara antar satu sama lainnya tanpa melihat manusia dari segi materialisme. lebih jauh dari lingkungan sosial, lingkungan alam yang menjadi syarat terbentuknya suatu lingkungan masih belum kita hargai dengan memandang alam hanya diisi oleh pola materialisme (uang). tulisan ini akan membahas keseriusan kita untuk mencinta terhadap lingkungan sosial maupun lingkungan alam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KESERIUSAN UNTUK MENCINTA TERHADAP LINGKUNGAN

Lingkungan menjadi dasar bagi manusia untuk berkontemplasi, berpijak, berinteraksi, beristiqomah, dan berempati satu sama lain. Lingkungan sangat dekat dengan cerita-cerita atau pengalaman-pengalaman manusia dalam menapaki hidup di Dunia. Pengalaman diproduksi oleh manusia melewati berbagai macam aksi selama Ia berinteraksi antar manusia satu dengan manusia lainnya. Interaksi tersebut membentuk suatu hegemoni terhadap diri sendiri seperti pengalaman yang tercipta secara lokalitas dan pengelaman yang tercipta melalui intervensi manusia lain, atau disebut dengan ( pengalaman eksternal).  Pengalaman secara lokalitas dapat diproduksi melalui interkasi dirinya dengan pengalaman unsur “uji coba” secara terus menerus hingga tercipta suatu rasa cinta terhadap lokalitas tersebut, contoh manusia memiliki kebiasaan untuk meniru kaidah-kaidah dalam melakukan suatu tindakan.

Kaidah-kaidah tersebut tidak lepas dari pengetahuan-pengetahuan modern yang belum semestinya sesuai dengan kondisi lokalitas disekitar kita, sehingga manusia memaksakan kaidah itu untuk melengkapi tindakannya dalam segala hal sekalipun tidak sesuai dengan keinginan. Ketidak sesuaian itu menjadikan manusia untuk memunculkan sebuah pengetahuan baru berangkat dari unsur “uji coba”  untuk keluar dari kaidah-kaidah dalam melakukan tindakan apapun, sehingga munculah pengetahuan lokal yang diproduksi dari pengalaman secara lokalitas. Pengalaman lokalitas manusia diharapkan mampu memberikan impact atau dampak terhadap lingkungan-lingkungan disekitarnya, sehingga menjadikan pengalaman tersebut berguna bagi lingkungan sosial, dan lingkungan alam, atau dapat menjadikan pengalaman lokalitas menjelma menjadi pengalaman eksternal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengalaman-pengalaman manusia menjelma dari lokalitas berangkat menjadi pengalaman eksternal yang mampu memberikan intervensi terhadap manusia dengan alam, namun dari pengalaman manusia akan hambar apabila tidak dilandasi oleh rasa kasih dan cinta untuk bertindak atas apa yang dimiliki manusia kepada lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Cinta dan kasih menjadi dasar untuk menjelaskan keseriusan eksistensi manusia terhadap lingkungan sosial dan lingkungan alam.

Keseriusan Untuk Cinta Kepada Lingkungan Sosial

Keseriusan adalah kewajiaban bagi setiap umat beragama, entah budha, keristen, katholik, khonghucu, dan islam harus wajib menjadi umat yang memililiki keseriusan dalam menapaki hidup. Keseriusan menjadi modal utama untuk mampu berada dipuncak kompleksitas dalam menjalani setiap tindakan manusia. Tindakan–tindakan dikonfrontasikan untuk berhadapan melawan diri dengan egoisme atau melawan diri untuk tidak takut menebar kasih sayang dan cinta terhadap sesama serta semestinya dalam ranah kedaulatan sebagai manusai. Kedaulatan bukan hanya berada dalam konteks negara, melainkan mampu menjadi konteks yang lebih universal. Kedaulatan selalu diidentikan dengan khazanah kekuasaan tertinggi melebihi puncak Gunung semeru, semua kekuasaan selalu berhimpitan dengan kepentingan dan kekuasaan belaka yang hanya mengimitasikan rasa cinta kepada mereka yang didaulati sebagai bawahannya. Kedaulatan menjadi ujung tombak untuk memperluas keinginnan atas dasar kekuasaan tertinggi di dalam  suatu negara, semestinya jauh sebelum beranjak menuju kedaulatan negara sebaiknya mereka merangkul kedaulatan untuk lingkungan sosial yang lebih beradab dan bermartabat.

Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang penuh akan rasa empati, simpati, dan aksi untuk merangkai sistem di dalam kehidupan masyarakat. Sistem masyarakat membentuk sebuah lingkaran atau circle  peradaban budaya untuk memberikan ekuivalensi kepada identitas sosial, materialisme, pengetahuan, dan juga pilihan setiap individu, namun ekuivalensi atau keadaan sebanding di dalam circle masyarakat hanya sebuah kiasan yang hanya dijadikan etalase kehidupan.  Masyarakat mengkerdilkan ekuivalensi atas identitas sosial, penghasilan, pengetahuan, dan pilihan personal. Kita selalu membicarakan kesetaraan satu sama lain dalam segi apapun dan dimanapun, entah di sektor akademisi, entah disektor media masa, entah disektor keseharian kita sendiri dalam bergaul dengan masyarakat sekitar. Semua sektor tersebut adalah ruang untuk mengkontemplasikan arti kata keadaan sebanding atau kesetaraan lingkungan sosial. Sektor akademisi digadang-gadang menjadi benih-benih munculnya agen of change , but what happenes in side?.

 Sektor akademisi memberikan satandrisasi hanya untuk manut dalane (mengikuti arus) perintah kurikulum yang terus diubah-ubah tanpa tau apakah kurikulum itu mampu mengembangkan potensi atau bahkan mengkerdilkan pemikiran dan kreatifitas anak-anak peserta didik bahkan para pengajar. Mereka terus dirombak dan dibayang-bayangi oleh berbagai macam kurikulum mulai KTSP hingga K13, entah kemana muara kurikulum itu apakah memang menjadi jembatan dalam mengarungi pengetahuan dan bakat atau hanya menjadi pemisah antara bakat minat siswa dengan pengetahuan sains. Keseriusan sektor akademisi hanya mencinta kepada mereka-mereka yang dianggap aktif dalam berilmu sanis, dan mengkerdilkan mereka yang berpikir kritis dan berani melakukan  mobilitas sumber daya. Mereka yang berpikir kritis dianggap sebagai pelajar urakan, pelajar banggel, pelajar jalanan, dan pelajar malas. Bukankah agen of change dimulai dari mereka yang berani memboilisasi?. Mungkin sektor akademisi ingin membentuk perubahan melalui sains dengan menjadikan standar nilai-nilai minimal diatas KKM, agar nantinya ketika mereka memulai memobilisasi sumber daya mampu menjunjung kesetaraan identitas sosial dan kesetaraan pilihan personal tanpa harus terkena HER. Kesetaraaan dan keadaan sebanding harus terus dimunculkan di dalam sektor akademisi, mungkin stakeholders harus mampu mengintegrasikan semua pilihan personal siswa ke dalam wadah yang namanya bahan ajar bagi siswa, seperti membebaskan mereka untuk keluar dari bayang-bayang ilmu sains dan lebih mengutamakan daya intervensi sosial kepada lingkungan-lingkungan sosial. Menumbuhkan rasa mencinta terhadap peristiwa atau fenomena empiris untuk mampu mengintervensi dan memobilisasi dengan ilmu serta pengelaman yang mereka peroleh.

Sektor keseharian kita di ruang lingkup masyarakat turut andil dalam melemahnya kesetaraan atau keadaan sebanding (ekuivalensi). Kita dituntut oleh lingkungan untuk menjadi cermin bagi setiap mereka yang bercermin, sehingga kita harus mampu meniru setiap model dan gayanya. Model dan gaya tidak hanya berupa fashion, melainkan identitas sosial, penghasilan, pengetahuan, dan pilihan personal, model-model itulah yang menjadi bahan perbandingan antar setiap manusia. Mereka menancapkan dan memaksakan semua pemikiran serta sudut pandang secara holistik kepada semua unsur budaya manusia, sekalipun batin kita terus diusik oleh gambaran-gambaran takhayul omong kosong mereka. Gambaran takhayul terus digaungkan kepada sasaran yang di rasa tidak sesuai dengan orang lain atau dianggap lebih rendah dari orang-orang disekitarnya, seperti penghasilan. Penghasilan selalu diukur dengan  kasad mata tanpa menilai tingkat urgensi dan tingkat keprimerannya. Semakin besar penghasilan seseorang semakin tinggi puncak penghormatan kepadanya, semakin rendah penghasilan seseorang semakin merendah pula penghormatan kepada dirinya. Semua itu sudah dipatenkan atau dihakkan secara idealisme di dalam mindset orang-orang, lalu dimanakah letak mencinta kepada sesama jika terus terbangun kontruksi dan hierarki sosial seperti itu?. kita perlu mengudar kembali keseriusan dalam membangun rasa kesataraan dan keadaan sebanding dengan menghancurkan semua idealisme-idealisme kacau dengan perbandingan kalkulasi jumlah perolehan setiap individu.

Perolehan individu hanya dinilai secara materialisme dan mathematics, sekalipun individu memiliki perolehan mobilisasi sumber daya yang lebih dari materialisme. Mobilisasi tersebut meliputi 3 model, pertama mobilisasi budaya yang identik dengan konsep pengetahuan individu. Konsep pengetahuan manusia menjadi pedoman bahwasannya manusia diperintahkan oleh Tuhan untuk mencari ilmu pengetahuan mulai dari buaian ibu hingga liang lahat. Pengetahuan harus dipandang sejajar dengan materialisme karena pengetahuan menjadi alat atau dimensi  dan juga semua mobilisasi sumber daya manusia, sehingga manusia memandang manusia lainnya dari berbagai sudut pandang mulai dari pengetahuan, dan materialisme.  Model mobilisasi kedua yakni mobilisasi pengalaman manusia, merupakan kategori secara personal untuk lebih condong mengarah kepada semua model pengalaman ataupun keterampilan seseorang dan keahlian seseorang secara teknis maupun secara parktik. Mobilisasi pengalaman manusia sangat dibutuhkan sebagai perancang atau hipotesis sementara mengenai pengetahuan yang sudah diperoleh manusia untuk diintervensikan kepada khalayak luas, maka pengalaman manusia turut disejajarkan atau disebandingkan dengan sudut pandang pengetahuan dan materialisme.

Model mobilisasi ketiga merupakan mobilisasi moral manusia, model ini menjadi penutup atau merangkap semua mobilisasi manusia mulai dari materialisme, pengetahuan, dan pengalaman manusia karena moral sebagai khazanah tertinggi untuk memberikan pengakuan kesetraan dan keadaan sebanding kepada semua model dan gaya yang dimilki oleh orang lain. Moral perlu dipahami sebagai mobilisasi yang mengakar kepada semua idealisme-idealisme manusia untuk berani merombak idiom pincang seperti hanya mengakui atau melihat dari satu sisi humanity saja. Diharapkan manusia terus menanam keseriusan secara berkembang untuk memunculkan rasa mencinta kepada model dan gaya dalam memahami manusia dengan menggandeng mulai dari materialisme, pengetahuan, pengalaman dan moral setiap insan manusia, tanpa meninggalkan salah satu dari itu semua demi merestrat ulang lingkungan sosial masyarakat menjadi lebih  menghargai satu sama lainnya.

Keseriusan Untuk Mencinta Terhadap Lingkungan Alam.

Keseriusan adalah dasar fundamentalis manusia untuk mengakar secara radikal dalam sekala yang begitu besar untuk mencita terhadap semua unsur lingkungan. Unsur lingkungan tidak hanya mengomongkan ruang lingkup persoalan kehidupan manusia, melainkan alam adalah unsur yang paling mendasar di dalam konteks lingkungan. Unsur tersebut menjadi alasan primer untuk ikut memasukan alam sebagai hakikat keberpengaruhan terhadap lingkungan, sehingga alam perlu mendapatkan perhatian secara khusus mengenai efektifitas alam , dampak alam, fungsi alam, dan tingkat kebutuhan lingkungan akan adanya alam.  

Alam dielaborasikan sebagai salah satu unsur utama untuk terbentuknya lingkungan karena alam diciptakan sebagai wadah penyeimbang lingkungan, salah satu contoh yakni kejernihan air bagi sistem kehidupan. Kejernihan air sebagai syarat munculnya standarisasi lingkungan yang sehat dengan melibatkan peran alam seperti pohon dan bebatuan untuk menyimpan dan menyaring air menjadi jernih di bagian hulu atau di bagian sumber mata air. Contoh tersebut menjadi salah satu bukti kecil yang mengharuskan kita memberikan keseriusan untuk mencita terhadap unsur terbentuknya lingkungan yakni alam. Menurut falsafah jawa mengenai alam, bahwasannya alam dibentuk oleh Tuhan lebih dahulu daripada manusia dan manusia sejatinya yakni menyawiji (menyatu) dengan keheningan dan keasrian alam tersebut karena fitrahnya alam sebagai ruang kosong, namun kekosongan tersebut tidak dimaknai diisi oleh benda melainkan diisi oleh makhluk-mahkluk hidup yang sejatinya hanya dianggap mati.

Falsafah turun temurun tersebut  memberikan budi luhur untuk seluruh umat manusia berupa mengintegrasikan diri dengan lingkungan alam disekitar kita. Integrasi diri dengan alam dapat kita lakukan sebagaimana mestinya kita memperhatikan atau memperdulikan manusia lainnya, alam sangat perlu kita pandang sama dengan manusia tanpa harus memberikan tendensi atas dua sumber daya ini untuk memicu munculnya sebuah pola. Pola memberikan pemahaman bagi kita mengenai sistem dalam diri manusia dengan alam sebagai syarat terbentuknya suatu lingkungan. Sistem memberikan alur sudut pandang kita untuk melihat dan mencintai alam secara terpola dan secara holistic (Keseluruhan), bahwa alam dan kehidupan manusia tidak akan menjadi sebuah realitas sebagaimana semestinya jika tidak ada pola, keterkaitan, keberpengruhan, dan hubunga timbal balik antara kehidupan manusia dan alam itu sendiri. Namun akhir-akhir ini sudut pandang yang terpola tersebut hanya melihat dan mencinta dari sisi keterkaitannya saja, dalam maksud keterkaitan alam dengan materialisme.

Sudut pandang manusia akhir ini hanya terpola pada satu sisi saja yakni nilai materialisme alam bagi kehidupan manusia. Sudut pandang tersebut membentuk pola untuk mencinta terhadap alam sangatlah pincang, tidak keseluruhan, dan tidak ada keseriusan terhadap salah satu unsur pembentuk lingkungan ini. Kita hanya menjadikan alam sebagai hamparan ladang materialisme (uang) tanpa melihat pola-pola lainnya, sedangkan semua unsur alam melebihi dari itu alam menjadi pembentuk karakterisktik manusia, kepribadian, pengetahuan lokal, hingga pengaman bagi umat manusia. Apa penyebab manusia hanya mencita dari sudut padang materialisme (uang) saja? Hingga merelakan semua manfaat yang ada di dalam alam tersebut. Penyebab manusia hanya melihat dari pola materialisme karena beberapa faktor.  Faktor pertama yakni tekanan dan momentum, faktor ini memaksa manusia untuk meyakini bahwa dirinya adalah makhluk hidup yang berkuasa atas segala makhluk hidup.  Keyakinan itu menjadi momentum bagi manusia untuk melakukan apapun terhadap alam, sebab alam hanya dipandangnya sebagai makhluk hidup pemuas bagi manusia dengan berbuat semena-mena termasuk memunculkan rasa mencinta kepadanya berdasarkan pola materialisme saja tanpa melibatkan pola-pola lainnya.

Penyebab lainnya tidak hanya momentum, meliankan faktor tekanan bagi manusia modern yang mengharuskannya berpikir untuk memenuhi kebudayaan objektif seperti gaya hidup, dan martabad berdasarkan kelas sosial, sehingga apapun yang dia lihat serta dilakukannya harus berdasarkan nilai mata uang untuk memenuhi gaya hidup dan meraih martabad kelas sosial sekalipun harus membrangus alam sebagai medianya.  Faktor kedua yakni faktor kesadaran sosial atas alam. kesadaran sosial bagi masyarakat atas keberpengaruhan alam hanya dipandang sebagai perumpamaan yang tidak subsatsial. Perumpaan tersebut melahirkan kesadaran sosial untuk mendominasi alam sebagai mahkluk hidup yang tidak memiliki nilai, sehingga memunculkan konsep antroposentrism ( manusia sebagai penguasa diatas mahkluk hidupa lainnya).

Kedua faktor  penyebab masyarakat untuk tidak mencinta dan tidak melihat pola pada alam secara keseluruhan memberikan kita pemahamaan, bahwasannya manusia modern saat ini hanya melihat dari satu pola tanpa melibatkan pola-pola lainnya. Keseriusan kita untuk memberikan natural environment speace ( ruang lingkungan alam) hanyalah angan-angan belaka, seharunya mulai saat ini kita benar-benar serius untuk mencinta terhadap alam sebagai salah satu unsur lingkungan. Keseriusan kita dengan merangkap semua keseluruhan pola-pola mulai dari pola keterkaitan, pola keberpengruhan, dan pola hubunga timbal balik antara manusia dengan alam. Konfigurasi penyatuan pola secara keseluruhan akan membuat paradigma sistematik dari keseluruhan menjadi lebih penting bahwa dalam memahami hakikat alam secara universal harus meunculkan hubungan-hubungan yang tertata atau terpola dan terikat satu sama lainnya.

*Biodata Penulis:
Nama    : Wahyu Umattulloh AL.
Profesi : Mahasiswa Prodi Sosiologi
              Fakultas FISIP
             Universitas Muhammadiyah Malang
*.

 

 

  

Ikuti tulisan menarik Wahyu Umattulloh AL lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu