x

cover buku Ketika Semakin Terbuka

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 8 Maret 2022 13:03 WIB

Ketika Semakin Terbuka - Pergumulan Gereja Etnis Tionghoa di Indonesia

Kembali terbukanya bagi orang tionghoa menggunakan tradisi dan budaya di ruang publik sejak reformasi, membuat gereja etnis tionghoa menghadapi pergumulan baru. Meski hak-hak untuk menjalankan tradisi dan budaya telah kembali, namun stereotipe terhadap orang tionghoa masih cuku kuat. Buku ini membahas apa-apa yang menjadi pergumulan gereja etnis tionghoa supaya kehadirannya diterima dan menjadi berkat bagi Bangsa Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Ketika Semakin Terbuka – Dinamika Keberadaan Etnis Tionghoa di Indonesia dan Implikasinya Bagi Pelayanan Gereja Etnis Tionghoa

Penulis: Sia Kok Sin

Tahun Terbit: 2014

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Buyamedia Publishing bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Theologia Alethea

Tebal: xvi + 90

ISBN: 978-602-284-070-1

 

 

Salah satu topik yang jarang disinggung saat kita membahas permasalahan tionghoa adalah tentang gereja etnis tionghoa. Topik ini seakan tenggelam dalam hiruk-pikuk topik-topik ekonomi, kerusuhan, kecemburuan sosial dan ketidakharmonisan hubungan antara etnis tionghoa dengan mereka yang merasa lebih asli Indonesia. Padahal topik gereja etnis tionghoa adalah sangat penting, karena setuju tidak setuju, orang tionghoa banyak yang memilih kekristenan sebagai keyakinannya. Kekristenan telah menjadi identitas bagu bagi kebanyakan orang tionghoa di Indonesia, meski tidak semua.

Buku “Ketika Semakin Terbuka” ini ditulis oleh Sia Kok Sin, seorang Hamba Tuhan beretnis tionghoa di era reformasi. Setelah membuka bukunya dengan memaparkan jatidirinya, Kok Sin membeberkan permasalah orang tionghoa di Indonesia, termasuk kerusuhan-kerusuhan yang dihadapi oleh etnis tionghoa.

Di bagian kedua buku ini, Kok Sin secara khusus membahas tentang bagaimana seharusnya gereja-gereja yang memberi pelayanan kepada etnis tionghoa harus bersikap. Ia membahas beberapa isu yang sangat relevan bagi pelayanan gereja etnis tionghoa. Isu-isu tersebut adalah: (1) ekskusivif-inklusif, (2) budaya dan tradisi tionghoa, serta (3) pengelolaan keuangan. Harapannya, melalui pelayanan gereja, orang-orang tionghoa Kristen bisa mengubah pengalaman negative yang dialaminya menjadi sebuah kekuatan positi, serta kehadirannya menjadi berkat bagi Bangsa Indonesia dimana mereka menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Sia Kok Sin lahir dari seorang imigran Hok Cia bernama Sia Boen Soei. Ibunya bernama Tjoa Mien Nio. Itulah sebabnya ia lahir sebagai seorang warga negara asing. Ia dibesarkan di komunitas campuran dan berteman dengan berbagai etnis di masa kecilnya. Pengalaman diskriminasi dan menyaksikan berbagai kerusuhan yang dialami oleh etnisnya, membuat Kok Sin bertekat untuk meninggalkan Indonesia dan pergi ke Jerman. Namun iman kristennya telah membuat ia memilih untuk melayani sebagai Hamba Tuhan di negeri dimana ia dilahirkan.

Bagian pertama buku ini sebenarnya sudah sangat sering dibahas di berbagai buku tentang orang tionghoa di Indonesia. Pembahasan tentang etnis tionghoa sebagai etnis pendatang dan sudah lama berada di Indonesia, bahkan sebelum negeri ini lahir, posisinya yang selalu dianggap sebagai kelompok asing sehigga kerap menjadi kambing hitam, serta kedudukannya dalam hukum yang sebenarnya menjadi bagian tak terpisahkan dari Bangsa Indonesia adalah hal-hal yang sudah banyak diketahui. Kok Sin perlu menuliskannya kembali supaya para pembaca bisa mendapatkan konteks tentang apa yang dia bahas di bagian kedua.

Bagian kedua buku ini justru sangat menarik. Sebab Kok Sin berani secara terbuka membahas beberapa isu sensitif yang menjadi batu sandungan bagi gereja etnis tionghoa selama ini. Permasalahan eksklusifisme, masalah budaya dan tradisi tionghoa dan masalah keuangan gereja adalah tiga isu yang selama ini ada di gereja etnis tionghoa, tetapi sangat jarang dibahas tuntas.

Mau tidak mau, gereja etnis tionghoa, seperti Gereja Kristus Tuhan (dulu bernama Gereja Kristen Tionghoa) adalah sebuah institusi eksklusif. Meski penamaan Gereja Kristen Tionghoa tidak bermaksud membangun eksklusifisme, namun nama itu disadari bernuansa eksklusif. Penamaan gereja-gereja suku adalah lazim di awal perkembangan kekristenan di Indonesia. Itulah sebabnya mereka yang secara khusus terpanggil untuk melayani etnis tionghoapun memberi nama Gereja Kristen Tionghoa. Nama ini untuk menabalkan kekhususan pelayanan. Tetapi ternyata Gereja Kristen Tionghoa bernuansa eksklusif, maka nama ini berganti menjadi Gereja Kristus Tuhan. Sebenarnya banyak misi yang secara khusus melayani orang tionghoa. Bukan hanya GKT. Beberapa misi telah memilih untuk menjadi inklusif membuka diri kepada pelayanan lintasetnis. Pergumulan akan fokus misi dan kenyataan sosial ini menjadi pergumulan gereja etnis tionghoa. Kok Sin menyarankan supaya gereja etnis tionghoa “tetap eksklusif berkaitan dengan fokus dan misi pelayanan, namun tetap inklusif bagi semua orang yang mau bergaung dengannya” (hal. 33).

Seiring terbukanya orang tionghoa memeragakan budaya dan tradisinya di ruang publik, di era reformasi, orang-orang tionghoa sangat tertarik untuk mempelajari dan mempraktikkan tradisi dan budayanya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tak terluput orang-orang tionghoa Kristen. Tradisi dan budaya tionghoa sangatlah luas. Tradisi dan budaya ini sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai yang diyakini. Tradisi dan budaya ini juga berkelindan erat dengan sistem kepercayaan. Sayang sekali Kok Sin hanya membahas sangat sedikit tentang budaya dan tradisi ini. Idenya untuk merespon isu ini hanya terbatas pada “musik gereja yang’tune-nya’ akrab dengan etnis tionghoa (hal. 34). Sementara tradisi dan budaya tionghoa yang tidak sama dengan tradisi dan budaya barat/Kristen belum dibahas secara tuntas. Kok Sin masih menempatkan isu ini sebagai “pergumulan” gereja etnis tionghoa.

Gereja etnis tionghoa memiliki kekuatan keuangan yang besar. Sebab anggota gereja etnis tionghoa kebanyakan berasal dari mereka yang kuat secara ekonomi. Kok Sin menganjurkan supaya kekuatan keuangan gereja ini dikelola untuk mengemban peran gereja di bidang Kesaksian, Persekutuan dan Pelayanan Kasih (hal. 36). Gereja etnis tionghoa perlu membina anggota jemaatnya untuk menggunakan kekuatan keuangannya untuk berperan dalam pembangunan bangsa Indonesia. Gereja etnis tionghoa didorong untuk semakin berperan dalam pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan melalui pendirian sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit.

Kok Sin memberi empat saran bagi gereja etnis tionghoa dalam menghadapi pergumulannya. Keempat saran itu adalah: 1. tetap alkitabiah, 2. berbawasan kebangsaan, 3. mengembangkan pelayanan kasih lintas etnis, gereja dan agama, 4. menjalin kerjasama antar gereja etnis tionghoa untuk mensinergikan pelayanan. 661

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler