x

cover buku Warga baru

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 13 Maret 2022 09:03 WIB

Warga Baru - Kasus Cina di Indonesia Dari Kacamata Siswono Yudo Husodo

Paparan masalah Cina di Indonesia dan gagasan untuk menyelesaikan masalah tersebut dari pandangan Siswono Yudo Husodo.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Warga Baru – Kasus Cina di Indonesia

Penulis: Siswono Yudo Husodo

Tahun Terbit: 1986 (cetakan ketiga)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Lembaga Penerbitan Yayasan Padamu Negeri

Tebal: x + 162

ISBN:

Masalah Cina adalah masalah yang harus diselesaikan dalam rangka membangun Bangsa Indonesia yang seutuhnya. Masalah yang sudah ada sejak sebelum Indonesia lahir ini masih terus menjadi penyakit yang tak kunjung bisa disembuhkan. Keterpisahan orang-orang Cina (yang sepenuhnya adalah bagian tak terpisahkan dari Bangsa Indonesia) masih terus berlangsung. Bahkan masalah ini sering menimbulkan kerusuhan yang membawa korban harta dan jiwa.

Padahal jika masalah ini bisa diselesaikan, kita bisa memanfaatkan keunggulan orang Cina, bersama dengan keunggulan-keunggulan etnis lainnya bagi kemajuan Indonesia.

Buku yang berjudul “Warga Baru – Kasus Cina di Indonesia” adalah paparan sang penulis tentang masalah kebangsaan dengan mengambil kasus Cina sebagai ceruk bahasan. Siswono secara sengaja menggunakan kata “Cina” dalam buku ini bukan bermaksud untuk merendahkan etnis tertentu, tetapi penggunaan kata “Cina” dimaksudkan “supaya masalahnya menjadi lebih jelas, bahwa masalah ini tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan negara leluhur Cina (hal. x).

Siswono mengawali bukunya dengan memberikan deskripsi interaksi antara orang lokal (pribumi) dengan orang Cina. Ia memaparkan kisah-kisah dimana orang-orang Cina mempunyai perilaku yang sama sekali tidak berbeda dengan orang-orang pribumi. Baik kenakalannya, kebandelannya, kedermawanannya dan sebagainya. Orang-orang Cina ini sama sekali tidak berbeda dengan orang-orang pribumi, kecuali penampilan fisiknya. Namun ada juga orang Cina yang tidak mau membaur. Dari kisah-kisah tersebut Siswono menyimpulkan bahwa permasalahan Cina tidak hanya sebatas stereotitik.

Siswono menengarai setidaknya ada 8 penyebab pokok mengapa masalah Cina begitu dalam di Indonesia (hal. 34-40). Siswono mengajak kita untuk memeriksa masalah-masalah pokok tersebut. Siswono secara seimbang melihat berbagai masalah tersebut. Dengan memperhatikan kepentingan Nation Building, Siswono memaparkan pandangannya tentang masalah-masalah tersebut.

Contohnya adalah tentang pemihakan orang-orang Cina terhadap gerakan kemerdekaan (penyebab nomor 3). Tak bisa dipungkiri bahwa ada orang-orang Cina yang sama sekali tidak mendukung kemerdekaan. Tetapi sikap tidak mendukung kemerdekaan itu juga terjadi di semua etnis di Indonesia pada saat itu. Bahkan etnis lokal juga ada yang pro Belanda. Sedangkan orang-orang Cina yang gigih ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia juga cukup banyak.

Contoh kedua bahwa 8 penyebab pokok itu yang dibahas oleh Siswono adalah tentang kesenjangan eknonomi dan persaingan usaha (penyebab nomor 4, 5 dan 6). Siswono sendiri sebenarnya tidak melihat masalah kesenjangan ekonomi yang menjadi penyebab. Tetapi lebih kepada stereotipik yang sudah terlanjur tertanam tentang hal ini.

Meski demikian Siswono mengakui bahwa orang-orang Cina mempunyai kemampuan berusaha yang pada umumnya lebih baik daripada orang-orang pribumi. Keunggulan ini dilihat oleh Siswono sebagai aset yang perlu digunakan oleh Indonesia untuk menuju kejayaan ke depan (hal. 141). Di sisi lain Siswono juga mendorong supaya kemampuan berusaha (ekonomi) penduduk pribumi untuk terus ditingkatkan, sambil belajar dari kegagalan kebijakan politik ekonomi tentang hal ini di masa lalu (hal. 71). Program yang membatasi peran orang Cina di bidang eknomi demi menumbuhkan pelaku eknomoni pribumi selalu gagal di masa lalu.

Dalam buku ini Siswono juga mengungkap penyebab melebarnya jarak antara etnis Cina dengan pribumi (hal 55). Tak berbeda dengan Pendapat Onghokham dan Peter Carey, Siswono juga merujuk kepada kebijakan Belanda di masa kolonial yang memberi previlage kepada orang Cina sebagai awal dari mandegnya pembauran orang Cina di Indonesia, khususnya di Jawa. Siswono menambahkan bahwa masalah kepercayaan juga menjadi penyebab keterpisahan ini (hal 62).  

Dengan menganalisis penyebab pokok dan asal muasal keterpisahan, Siswono menawarkan strategi penyelesaian sebagai berikut (hal. 139): 1. Membahas masalah membaurnya golongan non pribumi Cina kedalam golongan pribumi, harus dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana, jangan sampai justru mempertegas pri dan non pri; 2. Segala usaha pembauran haruslah dalam rangka memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa; 3. Kunci sukses terletak pada golongan non pri Cina sendiri untuk membaur; 4. Orang-orang non pri Cina tidak hidup menggerombol dan tidak ekslusif; 5. Penguatan ekonomi pribumi tidak boleh mengekang peran orang Cina.

Dari kelima usulan pemecahan masalah Cina di atas, Siswono kurang mendorong peran pribumi. Proses pembauran tidak akan bisa terjadi jika hanya berjalan dari satu pihak. Pendidikan bagi pribumi supaya bisa menerima orang Cina sebagai bagian utuh dari Bangsa Indonesia adalah salah satu strategi yang perlu ditambahkan kepada gagasan Siswono dalam buku ini.

Saya melihat bahwa usulan Siswono dalam buku ini masih terpaku kepada melarutnya orang Cina ke dalam masyarakat pribumi. Meski tidak terang-terangan, Siswono menganggap bahwa pembauran akan sepenuhnya terjadi jika orang-orang Cina meninggalkan budaya dan adat-istiadatnya dan sepenuhnya menjalankan budaya dan adat-istiadat pribumi, termasuk dalam hal beragama.

Usaha untuk melarutkan orang Cina ke dalam Bangsa Indonesia (hal. 73) tentu tak akan berhasil. Atau upaya seperti ini akan memerlukan waktu yang sangat lama. Perlu beberapa generasi. Sebab setiap etnis atau bangsa tentu mempunyai keterikatan dengan kebudayaan leluhurnya. Keterikatan kepada budaya leluhurnya ini bukan hanya dipunyai oleh etnis Cina, tetapi terjadi pada semua etnis/bangsa.

Perjumpaan antar kebudayaan adalah proses saling memberi dan menerima. Selama proses saling memberi dan menerima tidak terjadi, maka yang akan terjadi adalah penolakan dan perasaan saling curiga. Oleh sebab itu, upaya pembauran seharusnya berfokus kepada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.

Maka saya setuju dengan pendapat Siswono di akhir buku ini: “Agaknya memang tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali terus-menerus mencoba dan meneliti kembali langkah-langkah kita dalam usaha membentuk bangsa Indonesia yang bersatu, utuh, besar, dan berwibawa” (hal. 160). 663

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler