x

KRL

Iklan

Piu Syarif

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 Januari 2022

Senin, 14 Maret 2022 08:05 WIB

Puisi | Bogor-Jakarta yang Tak Lagi Sama


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tiap pagi kubawa cita, cinta, dan asa pada gerbong yang mengular perkasa.

Meniti puluhan kilo di atas rel baja. Membentang jarak kota hujan menuju metropolitan. Setiap hari. Lima kali seminggu. Pulang pergi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sudah sepuluh tahun berlalu. Sejak aku berikrar denganmu menjadi kita. Membangun rumah dari keringat dan air mata. Meskipun berat tapi bersamamu bisa.

 

Lalu ada saat di mana aku tak tega. Tak rela melihatmu berlarian mengejar lalu terhimpit di dalam kereta. Bogor-Jakarta tak pernah sederhana buat perempuan berbadan dua. 

 

Walau katamu sudah terbiasa. Lalu kita sepakat agar kamu di rumah saja. Demi buah hati tercinta. Agar tak kurang belai ibunda.

 

Bogor-Jakarta selalu ada cerita. Cerita suka maupun duka. Dari anak muda hingga kakek renta. Tentang petugas penjaga atau tentang oleh-oleh titipan buat teman kerja. 

 

Seandainya pilihan itu ada. Aku ingin kita tetap di Banjarnegara. Hidup yang tak tergesa. Dekat buaian ibunda. Tak jauh dari sanak keluarga.

 

Tapi aku abdi negara. Yang harus siap di mana pun berada. Walaupun gaji pas seadanya. Kuturut Sang Punya Rencana.

 

Lalu anak kita jadi dua. Sebagai suami aku mungkin berdosa. Untuk pupurmu pun kadang tak ada. Kamu pun lalu buka usaha. Walau aku tak minta katamu biar tanggung jawab dibagi dua.

 

Tak perlu lama. Usahamu membumbung jaya. Hingga tak perlu lagi kamu minta. Dari gajiku yang tak seberapa. Aku bahagia saat kamu bahagia. 

 

Ternyata lima tahun tak terasa. Kamu pun jadi jauh berbeda. Dengan uang yang kau punya. Aku seperti bukan siapa-siapa. 

 

Aku masih naik kereta. Dari Bogor ke Jakarta. Masih dengan cita, cinta, dan asa yang sama. Tapi suasana sudah berbeda. Jalannya pun terasa beda. Apakah bertahan akan jadi sia-sia?

 

Yang kupikirkan sekarang hanya anak kita. Tak rela jika mereka terluka. Bagaimana pun kita pernah bahagia. Apakah kamu masih merasa?

 

Tak mungkin aku memaksa. Jika hati sudah tak ada rasa. Aku sudah berusaha membuat kita kembali bahagia. Mengingat semua cerita kita tentang asa dan cita-cita. Apa cintamu yang sudah berbeda?

 

Aku tak ingin ada yang terluka. Aku ingin kamu bahagia. Jika aku bukan lagi muara. Mungkin saatnya untuk tidak bersama. 

 

Aku bahagia jika kau bahagia. Walau sesak di dalam dada. Berusaha ikhlas sebisanya. Lalu berjalan kembali seadanya. Pada Bogor-Jakarta yang tak lagi sama. 

 

Ikuti tulisan menarik Piu Syarif lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler