x

Iklan

Bayu W |kuatbaca

Penulis Manis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Maret 2022

Sabtu, 26 Maret 2022 12:13 WIB

Awal Ketika Pembentukan TNI

Pseudo-pejuang. Demikian Jemderal A.H. Nasution mengistilahkan sebutan bagi orang-orang biasa keliaran memakai atribut layaknya kombatan. Tetapi orang-orang ini segera menghilang entah kemana saat Belanda datang menyerbu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menurut Nugroho Notosusanto, sumber rekruitmen TNI berasal dari tiga katagori, yaitu orang-orang yang di didik dan dilatih Belanda, didikan dan dilatih Jepang, dan orang-orang yang tidak pernah menerima pendidikan atau latihan militer profesional. Peneliti lain lebih tegas menyatakan bahwa, personel TNI berasal dari PETA, KNIL, dan Laskar.

Satu golongan lagi yang perlu mendapat perhatian dan pengakuan sebagai penyumbang personil dalam tubuh tentara, yaitu pelajar dan mahasiswa. Namun, tampaknya prajurit yang berasal dari eks PETA begitu dominan, terutama dalam tubuh Angktan Darat.

Dalam sebuah wawancaranya dengan majalah Tempo tahun 1992, GPH Djatikusumo (lulusan PETA) pernah menyampaikan; “Hanya dalam 18 bulan, Jepang berhasil membentuk pasukan siap tempur dari para prajurit PETA. Ini yang saya kagumi dari orang Jepang. Padahal prajurit- prajuritnya direkrut dari orang-orang desa yang cuma sekolah rakyat tiga tahun. Bayangkan, bagaimana melatih orang-orang desa yang masih lugu?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lanjutnya; “Kalau saya bandingkan dengan latihan di CORO, latihan di PETA itu luar biasa hebat. CORO itu latihan militer untuk ndoro, priyayi. Lha, wong Jepang sudah sampai di Singapura, tapi latihannya itu-itu juga, baris-berbaris dan menghafal teori. Pelatihnya pun terdiri atas para perwira Londo, Belanda, yang belum pernah berperang. Makanya, waktu Jepang menyerang, ada komandan yang bunuh diri. Juga banyak komandan yang tidak mau lagi memimpin prajurit. Lha, ini komandan apa?!. PETA lain. Kami dilatih oleh perwira-perwira yang terlibat pertempuran di Cina. Hebat. Bayangkan, bila 17 Agustus 1945 tidak ada PETA yang jumlahnya 65 batalion atau kira-kira 70.000 perajurit, mau apa kita? “…. Karena pengalaman mengikuti PETA, Djatikusumo pun ditunjuk menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.

Rupanya Bung Hatta tidak puas terhadap lulusan dari Breda. Dalam kesempatan lain Bung Hatta menyampaikan, “Jangan-jangan mereka nanti mendidik perwira-perwira seperti di Breda, yang bisanya cuma mundur, bubar”.

Pada 24 Januari 1946, Dewan Menteri Republik Indonesia menggelar sidang yang membahas mengenai usaha-usaha untuk menyempurnakan organisasi militer di Indonesia. Sidang ini juga dihadiri oleh para petinggi TKR.

Khusus mengenai ketentaraan, pemerintah sependapat dengan pimpinan TKR mengenai pentingnya penyatuan susunan organisasi militer di Indonesia. Sidang ini kemudian banyak berpengaruh pada kebijakan dan perkembangan TKR selanjutnya. Sehari setelah masalah militer dibahas dalam sidang Dewan Menteri, akhirnya pemerintah RI kembali mengeluarkan keputusan melalui Maklumat tanggal 25 Januari 1946 yang menyatakan Tentara Keselamatan Rakyat diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

Bagi beberapa wilayah di Indonesia, terutama di masa awal perang mempertahankan kemerdekaan, menjadi tentara bukanlah soal kepintaran dan kecakapan semata, melainkan juga soal keberanian. Oleh karena itu, atribut yang melekat pada seorang tentara, ketika itu lebih menggambarkan sosok pemberontak, seperti rambut panjang dengan peluru melingkar di pinggang.

Di masa itu, pangkat dan jabatan bukan pula sesuatu yang dituju. Karena berjuang merupakan panggilan suci sekaligus pengabdian kepada bangsa dan negara.

Dalam tahap rekruitmen para tentara pejuang, sebelumnya mereka dikumpulkan dan ditanya: “Siapa yang mau berjuang?”. Bagi yang sanggup kemudian diberi tugas masing-masing.

Pemberian tugas seringkali melihat pengalaman seorang calon tentara pejuang pada masa sebelum perang mempertahankan kemerdekaan, tetapi seringkali juga penugasan justru tergantung pada kebutuhan. Hal seperti ini dimungkinkan karena situasi revolusi yang terjadi ketika itu, yakni dalam kondisi pemerintahan yang belum mapan dan tingginya ancaman kekuatan asing.

Di satu sisi, ketidakmapanan yang dialami Indonesia amat menyulitkan perjuangan. Namun, kondisi yang serba sulit ini juga menjadi filter utama dalam menyisihkan mana pejuang dan mana yang cuma nampang doang.

Dalam ingatannya saat menulis Pokok-pokok Gerilya, Jenderal A.H. Nasution menyebut betapa repotnya menata gerilya. Banyak pejuang yang tidak mau mundur, sebab pantang bagi mereka menghindar dari musuh, sehingga banyak sekali yang menjadi korban mitraliur Belanda.

Akan tetapi, juga banyak pemuda yang hanya berkeliaran di jalan-jalan memakai atribut pejuang. Dan, kemana mereka ketika Belanda datang, tidak diketahui rimbanya. Untuk golongan yang satu ini Jenderal Nasution menulisnya sebagai "pseudo pejuang".()

Ikuti tulisan menarik Bayu W |kuatbaca lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB