x

Foto tersebut merupakan gambaran tulisan kreatif.

Iklan

Elis Susilawati

Mahasiswi UIN Jakarta
Bergabung Sejak: 23 Desember 2021

Senin, 25 April 2022 17:13 WIB

Laki-laki Feminis dalam Novel Kehilangan Mestika Karya Hamidah

Kehilangan Mestika merupakan novel karya Fatimah H. Delais atau biasa dikenal dengan nama penanya, Hamidah. Novel ini terbit di Balai Pustaka pada tahun 1935. Hamidah adalah salah seorang dari sedikitnya pengarang perempuan di antara jajaran laki-laki yang berhasil menerbitkan karyanya di penerbit Balai Pustaka saat usianya menginjak 19 tahun. Pembahasan yang diulas dalam novel Kehilangan Mestika, salah satunya adalah laki-laki feminis yang direpresentasikan oleh tokoh laki laki yang mengisi bagian cerita dalam novel.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Meskipun demikian, gerakan perempuan itu tidak hanya dapat dilakukan oleh perempuan. Laki-laki pun dapat ikut serta mendukung hal tersebut, baik disadari ataupun tidak disadari, seperti membebaskan hak perempuan, bersikap toleransi, menganggap kedudukan setiap manusia setara, dan sebagainya. Orang yang menganut paham feminisme disebut feminis. Dengan demikian, laki-laki yang menjunjung tinggi dan membebaskan hak setiap perempuan disebut laki-laki feminis.

Sejarah Novel Kehilangan Mestika

Kehilangan Mestika merupakan novel karya Fatimah H. Delais atau biasa dikenal dengan nama penanya, Hamidah. Novel ini terbit di Balai Pustaka pada tahun 1935. Hamidah adalah salah seorang dari sedikitnya pengarang perempuan di antara jajaran laki-laki yang berhasil menerbitkan karyanya di penerbit Balai Pustaka saat usianya menginjak 19 tahun. Karya Hamidah dinilai sebagai karya yang menggunakan bahasa sederhana dan mudah dipahami, seperti bahasa sehari-hari. H.B. Jassin menyatakan bahwa di dalam novel Kehilangan Mestika terkandung unsur-unsur biografis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Novel Kehilangan Mestika bercerita tentang perjalanan hidup Hamidah yang penuh dengan lika-liku. Hamidah kawin dengan sahabat kecilnya, Ridhan, namun hanya diterima setengah hati oleh keluarganya. Mereka menjalani hubungan berjarak karena Hamidah bekerja di Palembang. Hamidah hanya dapat berkirim surat dengan Ridhan untuk bertukar kabar, namun surat dari Ridhan tak kunjung diterimanya. Ia mendapatkan kabar dari Ahyar, sahabat Ridhan kalau suaminya itu sedang dioperasi di Rumah Sakit Umum di Jakarta dan beberapa hari kemudian dikabarkan meninggal. Hamidah sedih sampai dirinya sakit di perantauan. Oleh sebab itu, ia dipulangkan ke Mentok.

Hamidah berusaha menata kembali kehidupannya yang terbilang masih muda. Sampai suatu ketika, ia dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit karena dirinya harus memilih salah satu dari dua orang lelaki yang sudah dianggap menjadi sahabatnya untuk beralih status menjadi pasangan hidup. Keduanya adalah Anwar dan Idrus. Akhirnya, Hamidah memilih Idrus dengan penuh pertimbangan, namun sayangnya keluarga Idrus kurang setuju dengan hubungan mereka. Sampai suatu ketika, Hamidah harus pergi ke Jakarta untuk ikut dengan saudaranya karena bapaknya meninggal dunia. Hamidah terpaksa berpisah dengan Idrus dan mereka saling berjanji untuk berkirim surat.

Di Jakarta, Hamidah terus menunggu surat dari Idrus yang tak kunjung datang. Ternyata, surat-surat tersebut diterima dan dibalas oleh saudaranya. Hamidah merasa kesal. Ia menuliskan kekesalannya itu disertai dengan berbagai alasan supaya diterima oleh Idrus, namun surat tersebut tak pernah mendapatkan balasan. Sejak saat itu, Hamidah kecewa. Ia juga dijodohkan oleh seorang laki-laki bernama Rusli. Dengan penuh permohonan, Hamidah meminta waktu satu bulan untuk mempertimbangkan hal tersebut. Ia menggunakan waktu itu untuk menghubungi Idrus. Akan tetapi, saat tiba pada waktunya, Idrus belum saja menjawab. Akhirnya, Hamidah menerima perkawinan itu dengan setengah hati.

Setelah Hamidah dan Rusli kawin, mereka tinggal bersama orang tua Rusli dan ipar-iparnya. Dalam kehidupan itu, Hamidah mengalami banyak duka cita, bahkan saat mereka ingin pisah rumah pun tidak dapat terwujud. Akan tetapi, ada suatu masa di mana ayah Rusli meninggal, tinggallah Hamidah, Rusli, dan ibu Rusli di bawah satu atap yang sama. Setelah beberapa waktu, Ibu Rusli menyusul ayahnya untuk pergi. Hamidah dan Rusli hanya tinggal berdua. Usaha yang mereka jalani naik-turun. Dengan sekuat tenaga dan atas bantuan paman Idrus, mereka kembali membangun usaha. Setelah itu, mereka hidup dalam kecukupan, namun belum dikaruniai oleh seorang anak. Akhirnya, Rusli meminta izin kepada Hamidah untuk kembali menikah dengan perjanjian bahwa anak yang dihasilkan nantinya diurus oleh Hamidah. Hamidah menyetujui hal tersebut. Rusli berlaku adil kepada kedua istrinya, namun lama-kelamaan Hamidah merasa bahwa dirinya tidak diperhatikan. Ia mengajukan cerai dengan Rusli, lalu kembali pulang ke Mentok. Setelah itu, ia bertemu dengan Idrus yang sakit dan meninggal di hadapannya.

Laki-laki Feminis dalam Novel Kehilangan Mestika

Hamidah merupakan salah satu tokoh perempuan yang beruntung karena setiap visi dalam hidupnya tidak lepas dari dukungan ayahnya. Ayah Hamidah merupakan tokoh laki-laki feminis karena tidak membatasi hak Hamidah sebagai perempuan. Ia rela dianggap sebagai orang tua yang tidak berhasil dan dicemooh oleh sekitarnya karena tidak membatasi gerak anak perempuannya itu. Beberapa bukti bahwa Ayah Hamidah merupakan seorang lelaki feminis, yaitu:

  1. Mendukung dalam hal pendidikan

Hamidah merupakan anak terakhir dari enam bersaudara, salah satu diantaranya laki-laki. Keluarga Hamidah bukan orang yang terbilang mampu. Akan tetapi, ayah Hamidah berhasil menyekolahkan seluruh anaknya, baik perempuan ataupun laki-laki, tanpa adanya perbedaan. Jika kita kaitkan dengan zaman kolonial, masyarakat pribumi sangat sulit untuk mendapatkan pendidikan. Pada masa itu, hanya golongan kelas atas saja yang dapat menempuh pendidikan formal karena biaya pendidikan yang begitu tinggi serta belum majunya pemikiran masyarakat tentang pendidikan. Hal itu menjadi bukti bahwa ayah Hamidah merupakan sosok laki-laki feminis karena berhasil menyekolahkan Hamidah dan ketiga saudaranya, meskipun bukan berasal dari keluarga yang mampu. Jika dilihat dari teks, hal tersebut tampak pada kutipan berikut.

Karena ayah kami bukan seorang yang beradat kuno benar, dapatlah juga kami menduduki bangku sekolah, meskipun hanya sekolah Melayu rendah saja, oleh sebab kami bukan orang yang mampu. (halaman 1)

Dari kutipan di atas juga dapat kita ketahui bahwa ayah Hamidah bukan merupakan sosok yang beradat kuno. Artinya, ayah Hamidah memiliki pikiran yang maju.

  1. Mendukung pilihan Hamidah

Ayah Hamidah merupakan salah satu sosok laki-laki yang membiarkan anak perempuannya untuk bepergian bebas, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Pada saat itu, masyarakat menganggap bahwa anak perempuan harus dijaga, bahkan mereka harus menggunakan penutup kepala saat keluar rumah. Anak perempuan dianjurkan untuk tidak bepergian jauh dan menunggu jodohnya datang melamar, berbeda dengan anggapan laki-laki diperbolehkan untuk merantau, baik di negeri sendiri ataupun orang lain. Anak perempuan dianggap tidak memiliki kemerdekaan yang luas saat mereka belum memiliki pasangan. Oleh sebab itu, hal yang dilakukan oleh ayah Hamidah berbanding terbalik dengan masyarakat pada umumnya di masa itu. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh ketidaksukaan paman Ridhan dan keluarga Idrus terhadap Hamidah yang bersekolah jauh di Padang Panjang, lalu sempat kerja di Palembang, dan sebagainya. Jika dilihat dari teks, hal lain yang mendukung masyarakat umum pada masa itu adalah sebagai berikut.

“Kami berbuat begini untuk keselamatan dan kesenanganmu. Engkau boleh bebas ke sana kemari dengan tak mendapat fitnah karena penjagamu telah ada.” (halaman 82)

Dengan demikian, ayah Hamidah mengangkat hak wanita, Hamidah yang memiliki kedudukan setara dengan laki-laki. Artinya, perihal menjaga tidak hanya dapat dilakukan oleh laki-laki, perempuan pun dapat melakukan hal tersebut.

  1. Rela mendapatkan cacian

Beberapa hal yang menyebabkan ayah Hamidah mendapatkan cemooh dari orang sekitar, yakni mengantar dan menjemput Hamidah ke sekolah, makan di pinggir laut, dan menonton bioskop. Hal tersebut dipandang terlalu kebarat-baratan dan melanggar norma agama. Padahal, kegiatan tersebut merupakan hal yang biasa, apalagi untuk sekadar menjernihkan pikiran. Jika kita bandingkan dengan zaman sekarang, masyarakat yang sudah berpikiran maju. Banyak di antara mereka yang menonton bioskop, piknik di pinggir laut dan taman, serta mengantar jemput anaknya ke sekolah. Oleh karena itu, ayah Hamidah merupakan sosok laki-laki yang berpikiran maju. Hamidah dan ayahnya mendiamkan hal tersebut karena berpikir bahwa waktu yang berjalan akan membuat mereka bosan mencaci. Suatu ketika, atas sikap Hamidah dan ayahnya, banyak surat tanpa nama datang kepada mereka untu mencaci dan parahnya lagi, ayah Hamidah diminta untuk turun dari jabatannya sebagai anggota dewan agama.

Dengan tiga hal di atas, Hamidah merasa dirinya kuat dan terbantu atas dukungan ayahnya. Sampai suatu ketika, Hamidah merasa dirinya hancur dan terpuruk karena ayahnya dipanggil tuhan. Hal tersebut terbukti dalam kutipan berikut.

Aku kehilangan dahan gantungan, seorang yang menjaga diriku, menanggung baik jahatnya perbuatanku. Bapakku yang kukasihi telah kembali ke tempat perhentiannya yang kekal. (halaman 66)

Dengan demikian, Fatimah H. Delais berhasil menggambarkan tokoh laki-laki yang dapat mengangkat hak wanita pada masa itu, yakni Ayah Hamidah. Ayah Hamidah merupakan gambaran laki-laki feminis yang memiliki pikiran maju. Ia rela menanggung akibat dari perbuatan anaknya. Ia juga menjadi tokoh yang membangun perempuan modern yang dapat memilih haknya sendiri. Oleh sebab perbuatannya, maka Hamidah dapat menjadi perempuan yang mandiri, berguna bagi masyarakat sekitar, meskipun dalam prosesnya tidak disukai oleh masyarakat sekitar karena dianggap bahwa perempuan tidak pantas untuk berjalan jauh sendirian. Ayah hamidah berhasil menjadi tokoh laki-laki feminis yang membangun bagian dari kesatuan cerita Kehilangan Mestika.

 

Objek Kajian

Hamidah. Kehilangan Mestika. Jakarta: Balai Pustaka. 2011

Daftar Pustaka

Ensiklopedia Sastra Indonesia Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Hamidah (1915-1953) diakses pada 22 April 2022 pukul 02.51 WIB.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Feminis diakses pada 22 April 2022 pukul 02.11 WIB.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Feminisme diakses pada 22 April 2022 pukul 02.04 WIB.

Ikuti tulisan menarik Elis Susilawati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler