x

Harga minyak goreng dalam kemasan masih cukup tinggi dan belum stabil. Foto Ist.

Iklan

djohan chan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2019

Selasa, 26 April 2022 19:26 WIB

Pro dan Kontra Larangan Ekspor CPO atau RBD

Para pengusaha industri minyak goreng berharap, pemerintah mengeluarkan larangan ekspor untuk RBT, tapi bukan CPO.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejumlah pengusaha industri minyak goreng dalam negri mulai merengek meminta pemerintah melarang ekspor Refined, Bleached, Deodorized (RBD), bukan Crude Palm Olein CPO, agar usahanya dapat berjalan seperti biasa.   

Pada hari Jum’at yang lalu, (22/04/2022) di Istana Negara Presiden Joko Widodo menyatakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng crude palm oil (CPO) dan minyak goreng, mulai hari Kamis mendatang, 28 April 2022, hingga batas waktu yang belum ditentukan.   

Rencana itu diterapkan oleh Presiden Jokowi terkait dengan tingginya harga minyak goreng yang dijual di pangsa pasar (Minyak kemasan) dan terjadinya kelangkaan minyak curah. Hal itu mengakibatkan para kaum Ibu dan UMKM antrian untuk mendapatkan minyak goreng yang dijual dengan harga tinggi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Peristiwa kelangkaan minyak goreng itu terjadi sejak November 2021 hingga saat ini, April 2022. Walapun pemerintah, melalui Kementrian Perdagangan sudah bergonta-ganti kebijakan untuk menstabilkan harga dan pasokan minyak goreng tersebut, tetap tidak dihiraukan oleh Pengusaha dan Industri minyak goreng dalam negri. 

Terkait dengan rencana akan disetopnya ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng pada 28 April 2022 mendatang, mencuat isu yang berkembang dan mengatakan bahwa, yang akan dilarang ekspornya itu adalah bahan baku minyak Refined, Bleached, Deodorized (RBD), bukan Crude Palm Olein. Sedangkan minyak sawit mentah atau CPO masih akan bebas ekspor.

Alasannya, Produk olahan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ini tidak termasuk dalam kategori RBD Palm Olein. Selain mampu memberikan masukan kontribusi Pendapatan Domistik Regional Bruto (PDRB) bagi negara.

Sehubungan pro dan kontra pendapat, tentang akan diberlakukannya larangan khusus untuk bahan baku minyak goreng dari RBD, atau termasuk dengan crude palm oil (CPO) itu. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Veri Anggrijono mengatakan, secara pasti belum mengetahui hal itu.

"Mohon bersabar dulu. Masalahnya Kemendag masih melakukan kajian dalam rapat, menggodok peraturan larangan Ekspor bahan Baku Minyak goreng tersebut. Kemudian akan di diskusikan pada Presiden, dan pemerintah belum juga mengumumkan aturan secara rinci, tentang larangan ekspor itu jenis produk olahan apa saja,” kata Veri kepada wartawan, di ruangkerjanya Jakarta, Selasa (26/4). 

Sementara itu. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menilai, larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng yang dilakukan pemerintah, demi menjaga pasokan dan stabilitas harga minyak goreng dalam negeri, dan larangan ekspor CPO atau minyak sawit mentah itu tidak memberikan dampak pada investasi industri minyak goreng.

"Pelarangan ini tidak ada pengaruh apa-apa, karena sifatnya sementara. Ketika semua stok sudah ada, baru kemudian kita buka lagi," kata Bahlil di Jakarta, Senin (25/4). Bahlil mengakui, Presiden Jokowi sangat berhati-hati saat membuat keputusan untuk melarang ekspor CPO. Pasalnya, ekspor CPO di satu sisi memang memberikan dampak positif terhadap kinerja ekonomi.

Namun, di sisi lain, jumlah ekspor yang tinggi itu membuat pasokan bahan baku minyak goreng untuk kepentingan dalam negeri terkesan sangat minim, sehingga harganya melonjak. Bahkan sempat terjadinya kelangkaan minyak goreng, membuat para kaum ibu dan pengusaha kecil jadi keteter, jelas Bahlil.

"Sebenarnya kalau pengusaha itu tertib, dan mau bergotong royong, harga domestik itu bisa dijaga Rp14 ribu per liternya. Sehinga, kemungkinan larang ekspor itu itu dak akan terjadi. Tetapi DMO terkesan dimain-mainin oleh pengusaha dan indsutri minyak goreng, dengan demikian terkesan, pengusaha tidak punya kepedulian dengan masyarakat di negaranya sendiri,” kata Bahlil.  

Menurut Bahlil. Kelangkaan minyak goreng terjadi, karena pengusaha minyak sawit lebih memilih untuk mengekspor, ketimbang melakukan produksi di dalam negeri. Berdasarkan hasil penelitian terungkap, jumlah industri minyak goreng untuk kebutuhan hilir (dalam negri) nilainya lebih dari cukup. 

Namun dalam pendistribusiannya di pangsa pasar terjadi kekurangan. Akhirnya ditemukan, banyak minyak goreng dalam kemasan dan bahan baku minyak goreng yang di ekspor keluar negri, seperti yang ditimbun pada sejumlah gudang, dan disimpan dalam kontainer, untuk di jual ke luar negri. Sehingga menimbulkan terjadinya kelangkaan minyak goreng dalam negri, jelas Bahlil.

Ikuti tulisan menarik djohan chan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler