x

bola Indonesia Australia

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 11 Mei 2022 20:27 WIB

Wajah Timnas, Wajah Siapa?

Pemerintah, bantu buatkan payung hukum untuk wadah sepak bola akar rumput Indonesia hingga turunannya. Kasihan rakyat Indonesia, menjadi satu di antara publik pecinta sepak bola terbesar di dunia, tetapi hanya terus bermimpi di siang bolong, Timnasnya berprestasi, sebab pondasinya tak diurusi pun tak ada rasa risi. Mustahil tergapai prestasi bila situasi dan kondisi tak signifikan serta tak pernah tercapai signifikansi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah langkah yang berhasil, selalu di dasari oleh pondasi kuat serta proses yang benar sehingga semua signifikan.

(Supartono JW.11052022)

Apa sih signifikan itu? Dalam KBBI maknanya penting, berarti. Juga bermakna, istimewa, relevan, dan substansial. Lalu, signifikansi adalah keadaan yang signifikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Coba kata signifikan dan signifikansi ini kita terapkan pada keberadaan Park Hang-seo (PHs) dan Shin Tae-yong (STy) dalam keberadaannya dalam Timnas Vietnam dan Indonesia.

Lalu kita terapkan dalam keberadaan wadah sepak bola akar rumput dan Timnas Vietnam. Kita terapkan dalam keberadaan wadah sepak akar rumput Indonesia dan Timnas Indonesia.

Berikutnya kita terapkan pada kepedulian federasi sepak bola dan pemerintah vietnam pada sepak bola akar rumputnya. Pun kita terapkan pada keseriusan PSSI dan Pemerintah Indonesia kepada wadah sepak bola usia dini dan muda.

Mana yang signifikan dan memberikan signifikansi? Saya ulas deskripsinya sebagai berikut.

Dari perhelatan sementara SEA Games@@ Perhelatan sepak bola SEA Games Vietnam 2021, bagi persepak bolaan Asia Tenggara, Asia, dan dunia pada umumnya disadari atau tidak, sedang menjadi panggung bagi keberhasilan sepak bola Korea Selatan.

Musababnya, dua putra di antara yang terbaik di Korea Selatan, kini menjadi sorotan dunia karena menjadi pelatih Timnas Vietnam dan Indonesia.

Apakah Park Hang Seo (PHs) dibilang lebih cerdas dan lebih berhasil dari Shin Tae-yong (STy) yang menakodai Timnas Indonesia? Saya jawab, pasti tidak.

PHs lebih beruntung dan wajib bersyukur karena mengelola Timnas Vietnam yang para pemainnya sudah didik dalam wadah sepak bola akar rumput yang benar dan sangat diurus prioritas baik oleh federasi mau pun pemerintah Vietnam.

Jadi, wajar pekerjaan PHs lebih mudah dan lebih ringan dalam membentuk Timnas Vietnam yang berkualitas, pasalnya SDM pemainnya saya ibaratkan sudah dalam bentuk emas, belum berlian. Sudah lulus TIPS.

Berbeda dengan STy. Tugasnya sangat berat, sebab STy malah harus terjun lagi menjadi pelatih sepak bola akar rumput bagi para pemain Timnas Indonesia, karena dasar elementer sepak bolanya saja masih salah. Siapa yang membikin para pemain Timnas Indonesia tak lulus dasar bermain sepak bola? Jawabnya, ya wadah sepak bola akar rumput yang tak diurus dengan benar.

Pantaslah pasukan Vietnam mampu membantai Indonesia 3 gol tanpa balas, saat STy juga masih coba-coba pemain, pun memaksakan diri tetap bermain terbuka.

Meski begitu, PHs masih nampak kurang cerdas saat pasukannya harus ditahan imbang Filipina. Kurang apa pasukan Vietnam? Jelas, PHs melempem strategi bila lawan main parkir bus. Kalau lawan parkir bus, pancing saja ikut main parkir bus dan saat lawan lengah dan terpancing ke luar dari parkir, tinggal hajar. Masa 1 gol saja sulit?

Tapi buktinya, pasukan PHs tak mampu bikin gol ke gawang Filipina, tapi Myanmar bisa melesakkan 3 gol dan menang 3-2 atas Filipina.

Sepak bola bukanlah matematik, jadi hasil akhirnya sering sekali ditentukan oleh kecerdasan dan strategi pelatih, sekuat apa pun lawan yang dihadapi atau selemah apa pun lawan yang menghadang.

Untuk itu, sebagai juara bertahan, tuan rumah, dan melimpahnya pemain yang ibarat emas, menggaransi Vietnam menjadi juara lagi. Secara metematis jawabnya, harusnya ya. Pondasi, proses, dan hasil harusnya siginifikan.

Apakah mimpi Indonesia meraih emas tapi ibaratnya para pemainnya masih kategori bebatuan, belum emas, dapat terwujud? Secara matematis, jawabnya tidak. Sebab, pondasi dan proses tak signifikan.

Tapi sekali lagi, Filipina ternyata mampu membikin Vietnam imbang, tapi kalah oleh Myanmar. Itulah sepak bola.

Bisa jadi, benar Vietnam yang meraih emas. Atau Indonesia akan bisa meraih emas? Atau mungkin malah Malaysia atau Thailand atau yang lain? Semua tergantung dari kecerdasan pelatih dan para pemain.

Fakta di depan mata, apakah Indonesia akan mampu menentukan nasib diri sendiri lolos ke semi final dengan menyingkirkan Filipina dan Myanmar? Harapannya ya. Aamiin.

Tapi perjalanan menuju partai final dan berharap meraih emas, masih berat. Optimis saja, semoga dengan dukungan moril dan doa, mimpi emas itu dapat terwujud. Kalau kembali gagal raih emas. Sederhana, ayo mawas diri.

Wawas diri, introspeksi, atau refleksi diri adalah proses pengamatan terhadap diri sendiri dan pengungkapan pemikiran dalam yang disadari, keinginan, dan sensasi. Proses tersebut berupa proses mental yang disadari berlandaskan pada pikiran dan perasaannya (intelegensi dan personality) yang cerdas.

Dari sudut otak versi Johan Cruijff@@ Meski menang, tetap banyak sekali, publik sepak bola nasional yang mengeluhkan permainan dan sepak terjang para pemain dalam laga tersebut.

Sepanjang laga berlangsung, wa saya terus berisik, sebab terus masuk pesan dari berbagai pihak yang isinya pertanyaan menyoal penampilan pemain Timnas U-23 yang sedang terjadi di lapangan tapi tetap tak sesuai bayangan, harapan, ekspetasi.

Simpulnya, bila dibuat statistik, tentu hasilnya memilukan bagi tim yang bercita-cita meraih medali emas ini.

Hasil laga memang menang 4-1, tapi catatan utamanya adalah tetap ada fakta kualitas passing-control masih ada beberapa pemain yang di bawah standar kelas Timnas. Banyak kesempatan emas terbuang. Jarak antar lini. Masih ada yang egois. Masih ada yang kampungan. Panik saat diserang. Kalang kabut hadapi serangan balik sampai kasih hadiah gol lawan, padahal kualitas lawan jauh segalanya di bawah pemain Indonesia.

Apa pondasi dari semua drama yang dipertunjukkan oleh para pemain kita? Jawabnya intelegensi dan personality. Otak dan mental yang memang nampak tak cerdas!

Persoalan ini, rasanya entah akan sampai kapan menjadi problem para pemain yang direkrut ke Timnas Indonesia. Karena persoalan ini, bahkan sebelum laga pasukan Garuda versus Timor Leste U-23, Fakhri Husaini, mengunggah status di Instagramnya, @coachfakhri, quote yang dicipta legenda sepak bola dunia dari Belanda, Johan Cruijff (JC)

Dalam permainan sepak bola yang bekerja terlebih dahulu adalah otak, baru kaki. Jika otak tidak mampu bekerja dengan baik, maka lupakan saja kaki. (Johan Cruijff)

Apa yang ditulis JC sebagai quote, tentu menjadi pendidikan bagi siapa pun yang menggeluti sepak bola sebagai olahraga permainan, apalagi sebagai olahraga prestasi dan profesional (untuk lahan hidup, cari makan).

Artinya, bila selama ini, saya selalu menggaungkan tentang standar TIPS bagi pegiat/praktisi hingga para pesepak bolanya, itu adalah bekal dan harga mati di olah raga apa pun, termasuk sepak bola.

Dan bila saya bilang Intelektual, Sosial, Emosional, Analisis, Kreatif-Imanjinati-Inovatif-Iman (Iseaki) adalah pedoman untuk bekal kehidupan nyata umumnya di dunia dan menuju akhirat.

Jadi, keberadaan pemain Timnas kita, tentu signifikan dengan apa yang mereka peroleh di wadah sepak bola akar rumput kita yang masih tak terurus.

Antara STy dan PHs

Dari persolan tersebut, wajar bila STy teriak TIPS pemain Timnas kita jeblok. STy pun bukan menjadi pelatih seperti Park Hang Seo (PHs) yang nyaman tinggal menggarap Timnas Vietnam dari segi kualitas permainan tim, skema permainan, komposisi tim, dan lainnya. Lalu, tinggal pasang startegi apa, karena pasukan yang diampunya, hampir semuanya sudah lulus kompetensi pemain Timnas dengan nilai Rapor TIPS di atas rata-rata.

Ibaratnya, bila STy menangani Timnas Indonesia masih harus bertanya, bisa main atau tidak, sih? Bisa paham perintah atau tidak? Bisa ikuti skema atau tidak? Dll.

Maka, PHs sebaliknya, mau main gaya apa? Mau pakai skema apa? Mau pola apa? Mau menang atau imbang? Semua bisa tinggal maunya, karena SDM yang dihadapi berkompeten dan lulus standar TIPS mau pun Iseaki.

Simpulnya, bila PHs meraih prestasi bersama Vietnam, itu signifikan. Sementara saat STy gagal bersama Timnas Indonesia, juga signifikan.

Dari wajah Timnas@@ Atas kondisi yang konsisten dalam berbagai masalah, penampilan Timnas Sepak Bola kita adalah deskripsi Wajah Sepak Bola Nasional yang terus berkubang dalam sengkarut dan benang kusut. Sebab, saya sebut, sejatinya PSSI tak berdaya.

Bila, saya atau publik sepak bola nasional terus memberi masukan, saran, dan alternatif solusi pemecahan masalah benang kusut, khususnya dalam meletakkan dan menangani pondasi Timnas dengan benar, maka sepak bola akar rumput adalah PRIORITAS.

Namun, saya dan kita juga harus berbesar hati bahwa PSSI itu bukan wadah para akademisi. Lebih banyak menampung praktisi dan tujuannya bergabung ke PSSI juga untuk apa. Publik paham.

Karenanya, pantas saja, wadah sepak bola akar rumput Indonesia sebagai pondasi Timnas, hingga kini terus dibiarkan salah kaprah. Sebab, meski menjadi tanggungjawabnya, tapi tak ada Divisi PSSI yang kompeten dan layak mengurus hal ini.

PSSI bisa membuat regulasi wadah sepak bola akar rumput yang baku dan standar. Namun, bila sudah dikaitkan dengan embel-embel sekolah, akademi, sampai diklat, itu bukan wewenang PSSI. Itu wewenang pemerintah sesuai stakeholder terkait. Kecuali embel-embel sekolah, akademi, hingga diklat dan lain-lain, mengekor model sepak bola akar rumput di negara Asia yang sepak bolanya maju atau negara-negara Eropa dan Amerika yang semua dasarnya menomorsatukan kecerdasan intelegensi dan personality serta paham pedagogi, pendidikan.

Artinya, mimpi PSSI, Timnas meraih prestasi tak signifikan dengan sikap dan perbuatannya.

Pemerintah?

Atas kondisi ini, seharusnya, Pemerintah Republik Indonesia (RI) melalui stakeholder terkait, minimal merasa risi, merasa malu merasa tidak enak dengan keadaan ini, sebab wadah-wadah tersebut tanpa ada payung hukum atau minimal regulasi dari PSSI dibiarkan terus menjamur dan berserakan. Tapi tak signifikan membantu para pemain yang direkrut ke Timnas cerdas otak. Ini jelas wilayah Pemerintah.

Lihatlah, Timnas Sepak Bola kita terus tampil dengan kekurangan yang sama, siapa pun pelatih yang mengampunya, lokal mau pun asing, padahal usia PSSI sudah 92 tahun.

Analoginya, lihat hasil pendidikan formal rakyat Indonesia, jelang usia RI berusia 77 tahun. Juga terus tercecer dari bangsa lain, bahkan tercecer pula di Asia Tenggara.

Kurang apa Pemerintah mengurus pendidikan? Payung Hukum ada, jelas. Kementeriannya ada. Anggarannya besar dari APBN. Tapi sampai sekarang masalah pendidikan juga terus menjadi benang kusut negeri bernama Indonesia.

Bagaimana dengan wadah sepak bola akar rumput sebagai pondasi agar lahir pemain Timnas berkualitas? Pakai embel-embel sekolah, akademi, diklat, tapi memahami apa, siapa, mengapa, kapan, bagaimana, di mana yang harus ada dalam sekolah/akademi/diklat saja tidak. Apakah selama ini PSSI "ngeh," sadar dengan hal ini?

Mirisnya, wadah bernama Sekolah Sepak Bola (SSB) atau Akademi Sepak Bola (ASB) atau Diklat Sepak Bola (DSB) yang didirikan oleh perorangan atau kelompok atau pihak swasta, malah dibiarkan terus menjamur. Malah ada yang didaftarkan ke notaris segala.

Mereka paham tidak sih, apa itu sekolah, akademi, diklat? Sudah berkali-kali hal ini saya tulis, lho.

Selain itu, meski keberadaannya meramaikan sepak bola nasional, sebab karena tak ada payung hukum, didirikan tak sesuai prasyarat dan standar yang benar, hasilnya, siapa pun pelatih Timnas yang mengampu Garuda, tentu akan teriak kelemahan elementer pemain Timnas di segala kelompok umur.

Masalah tersebut terus berkutat pada persoalan yang secara urutan tak menghasilkan pemain Timnas yang cerdas intelegensi, personality, teknik, dan speed. Atau istilah yang sering saya ungkap dengan akronim TIPS.

Pangkalnya jelas, sudah pakai nama sekolah atau akademi atau diklat hanya untuk tempelan dan gaya-gaya-an, tapi para pegiatnnya terus asyik masyuk dalam euforia merasa hebat, tetapi salah kaprah. Sudah begitu tak sadar diri pula karena tak kompeten ada dalam wadah yang pakai embel-embel akademis.

Jelas, menggunakan istilah sekolah, akademi, diklat, dan lainnya, wajib paham dan menguasai keilmuan, dunia ilmiah, kompetensi pendidik (pedagogik), kompetensi kepemimpinan, kompetensi organisasi, dll. Ada pendidikannya, ada ijazahnya, dll.

Harus mengikuti dan patuh pada kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti, patokan, dalil dll. Lihat payung hukum.

Andai payung hukum=dasar hukumnya sudah ada dan lengkap. Tentu, sekolah atau akademi atau diklat yang diembel-embeli sepak bola, yang mau dibuat atau didirikan, wajib memenuhi syarat dan payung hukum.

Setelah berhasil berdiri, keberadaannya pun akan ada bimbingan, penilaian, hingga supervisi, ujungnya ada akreditasi dari Lembaga terkait yang berwenang sesuai peraturan pemerintah.

Maaf, bila di dunia pendidikan formal yang sudah lengkap dasar hukum dan aturannya, regulasinya, supervisinya, akreditasinya dll, keberadaan sekolah, akademi, hingga diklat formal saja masih belum signifikan mengangkat pendidikan Indonesia yang terus terpuruk, Bagaimana dengan wadah sepak bola nasional yang masih saya sebut liar?

Sepak bola adalah olahraga rakyat. Bahkan Indonesia menjadi salah satu publik pecinta sepak bola terbesar di dunia. Makanya, sepak bola juga dijadikan kendaraan politik karena bagi siapa saja yang terjun ke politik, biasanya memanfaatkan sepak bola demi mengais perolehan SUARA.

Sayang, sepak bola akar rumput Indonesia terus dibiarkan merana. Tak diurus dengan benar oleh PSSI. PSSI pun tak berwenang bila masuk ranah sekolah, akademi, hingga diklat, bila mengacu pada khasanah pendidikan Indonesia.

Setali tiga uang, Pemerintah pun tak pernah risi menyaksikan SALAH KAPRAH yang terus terjadi dalam wadah sepak bola akar rumput Indonesia.

Kira-kira, apakah ada pihak yang akan sadar lalu tergerak? Atau akan tetap membiarkan para pelatih Timnas merekrut pemain yang tak lulus TIPS masuk gerbong Timnas hingga seabad usia PSSI (100 tahun)?

Dengan demikian, signifikankah Pemerintah mendukung sepak bola nasional berprestasi? Tapi tak risi dengan keberadaan wadah sepak bola akar rumput yang salah kaprah?

Ayo Pemerintah, bantu buatkan payung hukum untuk wadah sepak bola akar rumput Indonesia hingga turunannya. Kasihan rakyat Indonesia, menjadi satu di antara publik pecinta sepak bola terbesar di dunia, tetapi hanya terus bermimpi di siang bolong, Timnasnya berprestasi, sebab pondasinya tak diurusi pun tak ada rasa risi.

Mustahil tergapai prestasi bila situasi dan kondisi tak signifikan serta tak pernah tercapai signifikansi.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB