x

Hadir

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 15 Desember 2023 13:12 WIB

Perturan SSB Ditunggu Kelahirannya, PSSI!

Semoga Pendidikan Direktur Teknik yang sekarang sedang di tempuh oleh Indra Sjafri, nantinya dapat mencerahkan PSSI kepada lahirnya aturan (regulasi, standarisasi, dan akreditasi) wadah sepak bola akar rumput bagi pondasi sepak bola nasional. Aamiin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendidikan Direktur Teknik (Dirtek) Sepak Bola, sedang digelar FIFA untuk pertama kalinya di dunia. Kuotanya hanya untuk 25 peserta. Indonesia pun dapat berkah, sebab nama Dirtek PSSI, Indra Sjafri ada di dalamnya. Terpilih dan diundang secara pribadi karena prestasi, menjadi peserta pendidikan yang berlangsung selama 18 bulan. Tujuan pendidikan pun disesuaikan dengan Regulasi FIFA. Hasil pendidikan akan sesuai Standarisasi FIFA dan Terakreditasi FIFA.

Regulasi, standarisasi, dan akreditasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), regulasi diartikan sebagai sebuah peraturan, regulasi merupakan cara untuk mengendalikan manusia atau masyarakat dengan suatu aturan atau pembatasan tertentu. Kemudian, standarisasi adalah penyesuaian bentuk (ukuran, kualitas, dan sebagainya) dengan pedoman (standar) yang ditetapkan di bakukan. Sementara, akreditasi adalah pengakuan terhadap lembaga pendidikan yang diberikan oleh badan yang berwenang setelah dinilai bahwa lembaga itu memenuhi syarat kebakuan atau kriteria tertentu. Atau pengakuan oleh suatu jawatan tentang adanya wewenang seseorang untuk melaksanakan atau menjalankan tugasnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jadi, Program Pendidikan Direktur Teknik itu adalah program FIFA yang sesuai Regulasi, sesuai Standarisasi, dan sesuai Akreditasi FIFA. Melihat adanya Program tersebut, saya jadi mengulang ingat tentang kondisi "Wadah Sepak Bola Akar Rumput" di Indonesia. Ibarat aliran air yang deras, menyoal "Wadah Sepak Bola Akar Rumput" di Indonesia, sudah sampai berbuih-buih efek dari artikel yang saya tulis terkait Regulasi, standarisasi, dan akreditasi ini. Namun, sampai saya tulis lagi artikel ini, terkait aturan (Regulasi, standarisasi, dan akreditasi) "Wadah Sepak Bola Akar Rumput" di Indonesia, yang seharusnya di buat oleh PSSI bersama Kemenpora dan Kemendikbudristek, tidak pernah ada. Belum pernah dibuat.

"Wadah Sepak Bola Akar Rumput" di Indonesia, yang basisnya bernama Sekolah Sepak Bola (SSB) yang digaungkan tahun 1999 di kepemimpinan PSSI, zaman Agum Gumelar, dengan Direktur Pembina Usia Muda, Ronny Pattinasarany, benar-benar terus diabaikan keberadaannya oleh PSSI. Tetapi hasilnya diambil.

Atas kondisi ini, meski saya kecewa dan sedih. Tetap tidak patah arang untuk terus membantu ranah sepak bola akar rumput. Bukan hanya melalui pemikiran dan pencerahan melalui artikel-artikel yang bila saya bukukan, sudah berjilid-jilid, tetapi ikut terjun langsung menjadi bagian di sepak bola akar rumput dengan mengelola SSB. Pasalnya, sampai detik ini, PSSI tidak pernah peduli dengan regulasi, standarisasi, dan akreditasi SSB yang terbukti telah menjadi pondasi Timnas sepak bola Indonesia.

Maka, SSB yang saya dirikan sejak 1998, setahun sebelum nama SSB digaungkan secara resmi oleh PSSI tahun 1999, hingga saat ini bentuknya masih saya pertahankan sebagai SSB Kekeluargaan. Percuma dibuat semi atau profesional, karena tidak ada panduaannya. Tidak ada regulasinya, standarisasinya, dan akreditasinya. Bila dibuat profesional, akan mengacu regulasi yang mana? Lalu, siapa yang menstandarisasi dan mengakreditasi? Saya sebut, ribuan SSB yang menjamur di Indonesia, bahkan ada yang pakai nama Diklat, Akademi, dan lainnya. Tidak ada satu pun yang sesuai regulasi, standarisasi, dan akreditasi.

Karena PSSI belum pernah membuatnya. Kekeluargaan SSB Sukmajaya Karena itu, sadar akan aturan yang belum pernah ada dan belum pernah dibuat, karena menggunakan nama (S) sekolah di depan sepak bola, maka SSB Sukmajaya memenuhi syarat (S)-nya dengan pelatih yang berpendidikan minimal Sarjana. Memiliki kompetensi pedagogi, kepribadian, sosial, dan profesional. Lalu, sisi profesionalnya di tambah dengan bukti lisensi kepelatihan dan bukti sebagai praktisi sepak bola. Itu upaya agar nama SSB bukan sekadar untuk gaya-gaya-an, sok-sok-an. Tetapi fakta melibatkan pendidik dan ada kurikulum pendidikannya. Siswa pun mendapat Rapor hasil pendidikan, pelatihan, dan pembinaan sepak bola di Kekeluargaan SSB Sukmajaya, yang konten pendidikan, pelatihan, dan pembinaannya bukan hanya sekadar tentang sepak bola, tetapi juga bekal untuk kehidupan nyata.

Seseuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekeluargaan berarti perihal (yang bersifat, berciri) keluarga. Sementara makna keluarga adalah ibu dan bapak beserta anak-anaknya, seisi rumah. Orang seisi rumah yang menjadi tanggungan. Sanak saudara, kaum kerabat. Satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Sesuai arti itulah, SSB Sukmajaya yang telah melewati usia seperempat abad (25 tahun) senantiasa melakukan program pendidikan, pelatihan, dan pembinaan sepak bola akar rumput (usia dini dan muda) agar tidak salah arah. Sebab ada wadah sepak bola akar rumput yang sudah berbentuk ini dan itu. Ada yang justru dimanfaatkan untuk mencari keuntungan dan kepentingan. Ada yang sekadar gaya-gaya-an. Pangkalnya kebebasan yang terjadi dalam sepak bola akar rumput adalah karena tiadanya Regulasi, standarisasi, dan akreditasi. Untuk itu, SSB Sukmajaya, sebagai satu di antara 16 SSB Pelopor di Indonesia yang dipilih langsung oleh PSSI, saat nama SSB digaungkan oleh PSSI tahun 1998, hingga kini menjelang usia 26 tahun, tetap konsisten dengan pendidikan, pelatihan, dan pembinaan murni. Sudah ribuan siswa dan orangtua, tercatat menjadi bagian dari Keluarga Besar SSB Sukmajaya.

Mereka menjadi bagian keluarga dengan cara yang sederhana. Cukup mengisi formulir pendaftaran, membayar biaya administrasi dan pembelian jersey latihan, maka sudah resmi menjadi bagian dari keluarga SSB Sukmajaya. Tanpa ada seleksi Teknik, Intelegensi, Personality, dan Speed (TIPS) yang menjadi Kurikulum Pendidikan, Pelatihan, dan Pembinaan di SSB Sukmajaya. Setiap siswa yang sudah menjadi bagian dari keluarga SSB Sukmajaya, memiliki hak yang sama dalam kesertaan menjadi bagian Tim SSB Sukmajaya yang diterjunkan di semua jenis event dan Kompetisi.

Pertanyaannya, menuju 26 tahun Kekeluargaan SSB Sukmajaya berproses untuk sepak bola akar rumput Indonesia, sudah ada siswa yang direkrut ke Timnas oleh PSSI, masih akan berapa tahun lagi PSSI membuat regulasi, standarisasi, dan akreditasi wadah sepak bola akar rumput Indonesia?

Bercermin pada Timnas U-17

Lihatlah, akibat tidak pernah memikirkan dan melahirkan regulasi, standarisasi, dan akreditasi wadah sepak bola akar rumput, bagaimana PSSI menyiapkan Timnas Indonesia U-17? Drama persiapan Timnas sepak bola Indonesia, menuju Piala Dunia U-17 sungguh memiriskan hati. Sampai ada seleksi pemain seperti ajang pemilihan artis dangdut di layar kaca. Sibuk mencari pemain diaspora dan lainnya ke manca negara. Ujungnya, Bima Sakti tetap mengedepankan anak-anak Indonesia yang telah ditempa di wadah sepak bola akar rumput Indonesia, yang belum pernah dihargai oleh PSSI. Usai Piala Dunia U-17, saya pun belum melihat pergerakan dan tanda-tanda PSSI akan membuat regulasi, standarisasi, dan akreditasi.

Narasi-narasi yang terus dibangun malah tentang FIFA yang akan banyak memberikan kesempatan kepada Indonesia menjadi tempat penyelenggaraan sepak bola dunia, hasil dari suksesnya menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17. Bukan sukses pada pendidikan, pelatihan, dan pembinaan sepak bola akar rumput yang wadahnya sesuai dengan regulasi, standarisasi, dan akreditasi.

Karena kondisi yang seperti pungguk merindukan bulan, sekali lagi, SSB Sukmajaya akan terus bertahan dengan tajuk Kekeluargaan SSB Sukmajaya, sepanjang PSSI tidak pernah melahirkan regulasi, standarisasi, dan akreditasi terhadap wadah sepak bola akar rumput. Untuk Indonesia, lihatlah akibat yang terus terjadi, wadah-wadah sepak bola akar rumput terus dengan mudah lahir, menjamur. Begitu pun, banyak yang dengan mudah tumbang. Yang pengelolanya masih banyak uang atau ada dukungan, tentu dapat bertahan. Sebaliknya, yang uangnya sudah habis, tidak juga mendapat dukungan, tentu wadah itu tinggal nama. Malah yang masih banyak uang, sekarang dalam ikut event atau kompetisi, tidak perlu wadahnya mendidik, melatih, dan membina, tapi tinggal comot dari wadah lain. Tentunya ada iming-imingnya.

Para orangtua juga sama, tinggal cari enaknya. Seperti dalam kompetisi elite Pro Academy (EPA) Liga 1 yang digagas PSSI. Bisa dihitung klub Liga 1 yang melakukan pendidikan, pelatihan, dan pembinaan pemain untuk EPA. Selebihnya malah ada yang menjual namanya, pemain diisi oleh pihak lain. Siswa SSB pun jadi sasaran seleksi terbuka klub. Ada regulasi jahat yang dibuat PSSI. Pemain yang terpilih seleksi terbuka atau direkrut klub dengan gratisan, justru wajib meminta Surat Keluar dari SSB yang telah mendidik, melatih, dan membina.

Setali tiga uang, para orangtua yang lemah dalam pendidikan formal mau pun sepak bola, miskin pikiran dan miskin hati, sekadar merasa anaknya kompeten (hanya berbakat), lalu bergerilya mencari wadah yang gratis atau beasiswa. Pindah dari wadah satu ke wadah lainnya dengan seenaknya. Tidak pakai etika dan tata krama. Menjadikan anaknya pemain bola aka rumput dengan seribu bendera. Menyedihkan. Sampai kapan? Semoga Pendidikan Direktur Teknik yang sekarang sedang di tempuh oleh Indra Sjafri, nantinya dapat mencerahkan PSSI kepada lahirnya aturan (regulasi, standarisasi, dan akreditasi) wadah sepak bola akar rumput bagi pondasi sepak bola nasional. Aamiin.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler