x

Ilustrasi Persekonglolan Politik. Ilustrasi oleh Gerd Altmann dari Pixabay.com

Iklan

Sujana Donandi Sinuraya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2019

Sabtu, 28 Mei 2022 16:43 WIB

Mengenal Beberapa Sikap Pihak dalam Mediasi

Penyelesaian perkara perdata wajib didahului proses mediasi untuk menyepakati solusi tanpa harus menunggu proses peradilan. Sesungguhnya mediasi adalah forum musyawarah dan para pihak dijembatani mediator. Bisa hakim atau non-hakim. Setidaknya ada dua sikap para pihak dalam menghadapi mediasi dalam penyelesaian perkara perdata.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Sujana Donandi S, Dosen Program Studi Hukum, Universitas Presiden

 

Penyelesaian perkara perdata wajib didahului dengan adanya proses mediasi. Dalam proses mediasi diharapkan para pihak dapat mendapatkan solusi yang disepakati tanpa harus menunggu perkara bergulir dalam proses peradilan dan menunggu putusan hakim. Sesungguhnya mediasi dalam proses penyelesaian perkara perdata adalah suatu forum musyarah dan dalam forum ini, para pihak dibantu oleh mediator, baik hakim atau non-hakim yang coba menjembatani kepentingan para pihak. Setidaknya ada dua sikap para pihak dalam menghadapi mediasi dalam penyelesaian perkara perdata:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

  1. Tidak ingin berdamai sama sekali

Dalam tahap ini, salah atau seluruh pihak memang tidak ingin berdamai dan ingin segera melanjutkan perkara ke proses peradilan di pengadilan. Dalam situasi ini, pihak tersebut hanya ingin berdamai apabila keinginannya sebagaimana dimasukkan dalam gugatan (apabila ia penggugat) disetujui seutuhnya oleh Tergugat, dan apabila ia tergugat, ia sama sekali tidak ingin berdamai dengan Penggugat. Dalam situasi ini, Alasan lain sikap ini ialah karena pihak tersebut sesungguhnya lebih mengutamakan munculnya efek jera bagi pihak lawan yang ia harapkan muncul dari adanya putusan pengadilan. Apabila salah satu atau kedua pihak masuk ke dalam forum mediasi, maka sesungguhnya forum mediasi menjadi tidak bermanfaat karena para pihak memang sedari awal tidak berniat untuk mencari jalan tengah guna memperoleh perdamaian. Dalam kondisi ini, mediasi hanya akan dapat berubah menjadi forum yang bermanfaat apabila mediator mampu menggugah hati para pihak untuk kemudian mau berdiskusi guna mencari jalan keluar bersama. Apabila hal ini dapat terjadi, maka mediasi akan kembali berfungsi sebagai forum pendahuluan yang bisa pula menjadi solusi tanpa menjalani proses beracara di peradilan;

 

 

  1. Para Pihak Berniat Berdamai dengan Syarat-Syarat Tertentu

Dalam kondisi ini, salah satu pihak atau para pihak tidak berkeras diri pada apa yang menjadi isi gugatannya (apabila ia Penggugat) dan tidak seutuhnya menutup diri terhadap tuntutan penggugat (apabila ia tergugat). Hanya saja, dalam kondisi ini, pihak tersebut hanya akan berdamai apabila ada hal-hal yang bisa disetujui bersama lawannya. Dalam situasi ini, apabila pihak dengan kondisi ini adalah penggugat, maka ia tidak seutuhnya ingin memaksakan tergugat untuk mengikuti seluruh isi gugatannya. Akan tetapi, ada hal-hal yang baginya harus bisa disetujui oleh tergugat agar kemudian ia mau berdamai. Hal-hal ini bisa disebut sebagai ‘hal-hal prinsip’. Misalkan, terhadap gugatan atas suatu perbuatan melawan hukum karena tergugat membangun rumah di atas tanah milik penggugat. Apabila dalam gugatannya, penggugat menuntut agar rumah itu diruntuhkan dan dikembalikan ke kondisi semula, serta adanya gugatan immaterial, bisa jadi sesungguhnya hal yang paling prinsip bagi penggugat adalah agar rumah yang telah dibangun diruntuhkan dan dikembalikan ke posisi semula. Sehingga apabila dalam mediasi tergugat menyanggupi hal itu, meskipun tanpa kesanggupan membayar ganti rugi immaterial, bisa jadi perdamaian tercapai karena hal yang prinsip bagi Pengugut telah tercapai. Demikian pula bagi Tergugat, apabila ada hal-hal yang baginya bisa ia penuhi namun tidak semua isi gugatan, dan itu disetujui oleh Penggugat, maka perdamaian bisa terjadi. Situasi ini bisa juga disebut situasi dimana masing-masing pihak membuat ‘batas atas’ dan ‘batas bawahnya’. Misalkan, dalam gugatan senilai 100 juta, Penggugat telah menetapkan dalam dirinya, apabila sekurang-kurangnya tergugat menyanggupi setidaknya ganti rugi sebesar 70 juta, maka ia akan berdamai, meskipun sesungguhnya kerugiannya adalah 100 juta. Baginya, 70 juta sudah cukup demi menghindarkan proses peradilan yang berkepanjangan dan adanya potensi kekalahan. Meskipun demikian, ia tentu akan memulai dengan ‘batas atasnya’ dulu, yaitu meminta agar tegugat membayar 100 juta rupiah.

 

Kedua sikap ini menjadi kunci berjalannya mediasi serta berhasil atau tidaknya suatu mediasi. Apabila para pihak hadir denga sikap tidak berniat berdamai, maka mediasi hanya akan menjadi forum yang memperpanjang penyelesaian perkara. Dalam situasi ini ada pihak yang dating dengan sikap ‘Take it or leave it’, yaitu turuti semua yang saya mau, atau tidak sama sekali. Apabila ia penggugat, maka hal ini dapat dimaknai: lakukan semua tuntutan dalam gugatan saya, atau tidak ada perdamaian sama sekali.

Mediator dalam hal ini kembali dituntut menjadi seseorang yang professional dan arif dalam memberikan pemahaman bagi para pihak betapa baiknya perkara diselesaikan melalui mediasi tanpa perlu menempuh proses persidangan. Mediator dituntut untuk mampu menyentuh hati nurani masing-masing pihak sekaligus mencari kesamaan kepentingan yang kemudian bisa dijadikan modal awal untuk melaksanakan diskusi lebih lanjut untuk dapat menemukan solusi yang disepakati oleh para pihak.

Ikuti tulisan menarik Sujana Donandi Sinuraya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler