Tornado Pragmatisme Pendidikan dan Kesadaran Berpikir Kritis

Selasa, 31 Mei 2022 06:36 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tarik menarik kepentingan antara idealisme yang berbasis pada nilai-nilai akademis berbenturan dengan kepentingan pragmatisme yang berbasis pada nilai-nilai korporasi ekonomis dalam dunia pendidikan, Sejalan dengan pernyataan Dr.M.Agus .Nuryatno dalam artikelnya berjudul " Urgensi Filsafat Dalam Pusaran Pragmatisme , adanya kontradiksi antara dua kutub kepentingan ini, menimbulkan semacam relasi dengan konsekuensi masing-masing.

Prolog

        Di era modern ini, pola pikir konvensional masyarakat tentang makna dan tujuan pendidikan identik dengan memperoleh pekerjaan. Filosofi dan pertimbangan orangtua  menyekolahkan anak adalah agar anak memperoleh ijazah dan pekerjaan yang layak dan bahkan mumpuni  sesuai dengan investasi yang ditanamkan di sekolah. Menyekolahkan anak adalah investasi jangka panjang untuk memperoleh pekerjaan yang memadai. 

        Sebetulnya persepsi demikian tidaklah salah karena muara dari proses pendidikan itu salah satunya adalah memperoleh pekerjaan sesuai kompetensi dan bidang keahliannya.  Namun yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa asumsi masyarakat atau kita semua  sudah sedemikian mengakar, memegang anggapan bahwa tujuan sekolah adalah semata-mata untuk mencari kerja? Hakikatnya persepsi ini timbul dikarenakan budaya pragmatisme di kalangan masyarakat dan institusi pendidikan kita. Pragmatism sendiri sebetulnya adalah habitus ekonomi yang telah menjalar ke dalam dunia pendidikan.

Arus  Posisi Pragmatisme dan Idealisme Pendidikan

      Tarik menarik kepentingan antara idealisme yang berbasis pada nilai-nilai akademis berbenturan dengan kepentingan pragmatisme yang berbasis pada nilai-nilai korporasi ekonomis dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan pernyataan Dr.M.Agus .Nuryatno dalam artikelnya berjudul Urgensi Filsafat Dalam Pusaran Pragmatisme, adanya kontradiksi antara dua kutub kepentingan ini, menimbulkan semacam relasi dengan konsekuensi masing-masing. 

Kemungkinan pertama,menjadikan nilai-nilai akademis bagai basis institusi pendidikan. Kedua, menjadikan nilai-nilai korporasi sebagai basis institusi pendidikan dan ketiga; menyatukan nilai akademis dan korporasi dalam basis institusi pendidikan. Kedua nilai tersebut diposisikan egaliter dalam institusi pendidikan.

       Memosisikan kedua nilai kepentingan antara idealisme dan pragmatisme dalam institusi pendidikan memerlukan kejernihan berpikir dan kritisisme yang matang karena keduanya memiliki implikasi yang amat serius jika diimplementasikan dalam institusi Pendidikan, Implementasi konkrit dari kedua nilai kepentingan ini bermuara bagaimana  hakikat dan makna pendidikan mempengaruhi realitas sosial ataupun sebaliknya.

      Nyatanya, kedua nilai tersebut berkontribusi dalam membentuk kehidupan masyarakat, dan pendidikan, bahkan gagasan yang lebih menohok adalah, "Format kehidupan seperti apa yang akan dihadirkan oleh dunia Pendidikan?" Pertanyaan retoris ini timbul atas dasar pemahaman kritis atas keyakinan kita bagaimana pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan budaya masyarakat. 

      Jika menelisik  lebih dalam nilai idealisme dan pragmatisme juga berkontribusi dalam membentuk format Pendidikan bangsa Indonesia, paling tidak terdapat dua implikasi pragmatisme dalam dunia Pendidikan;pertama, ideologi kompetisi  dijadikan filosofi praksis Pendidikan, Ketika ini terjadi,  Pendidikan kita hanya menelurkan "pemenang" dan "pecundang", karena ideologi kompetisi menekankan pada aspek  fight with enemy, maka akan ada yang menang (anak orang kaya dan pintar) dan  yang kalah (anak miskin dan kurang pintar),Jika ini terjadi tentu akan menimbulkan ketidakadilan dalam dunia Pendidikan serta justru melahirkan struktur sosial konvensional/ yang lama. 

       Kedua; orientasi dunia Pendidikan kita cenderung meningkatkan jurusan ataupun fakultas yang praktis-pragmatis yang hanya mengutamakan cara cepat mendapatkan pekerjaan,imbasnya  fakultas-fakultas,jurusan ataupun basis Pendidikan yang bernuansa filosofis ataupun yang berbau filsafat diabaikan, padahal secara akademis, nilai-nilai pemikiran yang berasal dari  dunia filsafat cenderung  biasa memproduksi sesuatu ,teoritis, dan bahkan bisa bernilai praktis jika  pemikiran-pemikiran itu digagas dan disusun secara sistematis.

      Budaya Pragmatisme saat ini dalam dunia Pendidikan kita amat dominan,gejala-gejala itu ditandai dengan pergeseran  academic values  menuju corporate values dalam institusi Pendidikan kita, nyatanya  academic values  seharusnya menjadi basis institusi Pendidikan kita.bagaimanapun  nilai-nilai yang berasal dari domain ekonomi telah menggerogoti  jantung dunia pendidikan bangsa  Indonesia, sehingga tidaklah mengherankan jika banyak institusi Pendidikan di Indonesia berbondong-bondong mengejar sertifikasi ISO, ataupun akreditasi untuk kepentingan subsidi, Institusi Pendidikan kita ngiler dan fasih Ketika berdiskusi tentang efisiensi,profit,produk, dan minimalisasi biaya ,pasar kerja,dll ketimbang berbicara tentang keadilan mengakses Pendidikan, penderitaan ,solidaritas,filantropis,dll. Ini disebabkan karena ideologi Pendidikan kita mengalami pejorative dari basis ideologi koperasi(kerja sama) /idealisme menuju basis ideologi kompetisi yang diadopsi dari nilai-nilai pragmatis.

      Budaya pragmatis dalam dunia Pendidikan juga berimplikasi pada proses pedagogis.Ada tiga kategori pengetahuan menurut Jurgen Habermas (1971): teknis,praktis dan emansipatoris, Jika budaya pragmatis yang mendominasi dunia Pendidikan maka pengetahuan Teknik-praktis lah yang akan didisipasikan dalam proses  pembelajaran, proses diseminasi Pengetahuan seolah dipisahkan dari proses pembentukannya, dan akibatnya justru menghilangkan proses-proses edukatif yang  substantif seperti menumbuhkan curiosity,bertanya,berdialog, dan berdiskusi. 

       Model pedagogis seperti ini tentu akan sangat sulit melahirkan critical subjectivity, yaitu , pertama; peserta didik yang bisa membedakan antara  keinginan dan kebutuhan;kedua, subjek yang yang bisa membedakan fakta riil dan fakta yang didapatkan di media; dan peserta didik yang   mampu memahami struktur terdalam dari suatu realitas (M.Agus Nuryanto,2008).Sebaliknya yang akan dilahirkan oleh proses pedagogis seperti ini adalah pribadi yang passive subject, yang mana kelompok ini hanya adaptif dan konformitas dengan realitas kehidupan yang sudah mengakar, ketimbang merumuskan asumsi baru yang mampu mempertanyakan realitas dan implikasi dari perubahan yang ada.

        Jika hal ini berlangsung secara terus menerus, tentu Pendidikan kita akan disangsikan,dalam menghasilkan generasi  yang berkualitas,kritis dan inovatif, justru Pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai pragmatis akan membentuk dunia Pendidikan seperti layaknya pasar, yang hanya mengutamakan mekanisme untung rugi ketimbang kualitas output dari generasi yang dididik

        Berbeda halnya dengan ideologi pragmatisme, orientasi Pendidikan dalam ideologi idealisme tidak hanya menekankan pada kapasitas pengetahuan instrumental, tetapi juga pengetahuan moral-emansipatoris , penekanan utama pada aspek pedagogis ini adalah bagaimana generasi mampu memahami,mengkritisi,memproduksi dan memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mengkonstruksi realitas kehidupannya sesuai koridor pendidikan yang hakiki.

       Dalam bingkai persepsi ideologi idealisme ini,proses pedagogis dan edukasi mengarahkan peserta didik pada pengembangan  kesadaran  berpikir kritis dan penguasaan keterampilan-keterampilan teknis yang dibutuhkan dalam konteks ruang lingkup pendidikannya. Sebab pada galibnya penindasan,dominasi,dan eksploitasi dalam dunia  Pendidikan timbul akibat  terdegradasinya fakultas berpikir kritis manusia untuk mempertanyakan berbagai konsekuensi dari realitas Pendidikan dan pola pikir yang menganggap investasi di dunia Pendidikan diyakini akan menjadikan peserta didik untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

Budaya  Kesadaran Berpikir Kritis

       Berpikir kritis pada dasarnya  mengandung gagasan dimensi politik dan kultural, hakikat kemampuan berpikir kritis tidak sekadar mengacu pada "keterampilan berpikir". Dalam perspektif berpikir kritis, takaran keberhasilan  lebih ditekankan pada sejauh mana peserta didik mampu menjadi warga negara yang kritis,aktif,dan inovatif.

       Gagasan berpikir kritis dapat juga dijadikan sebagai motor penggerak perubahan sosial kearah yang lebih baik dan humanis, mesti disadari , Tarik menarik kepentingan antara memegang tradisi lama dengan perlunya beradaptasi dengan nilai tersebut dengan perubahan yang ada menjadi suatu rumusan gagasan yang perlu dimaknai secara mendalam. 

        Dengan kesadaran berpikir kritis masyarakat dapat memfilter mana tradisi/budaya/pola pikir  yang perlu dipegang terus sebagai acuan dalam mengkritisi dunia Pendidikan,dan mana nilai yang harus diadaptasi atau bahkan ditinggalkan karena sudah tidak kontekstual dengan perubahan yang ada.pertanyaan  kritisnya adalah apakah kita akan terus  menerus mengikuti irama tradisi konvensional yang menganggap bahwa investasi dunia pendidikan semata-mata hanya difokuskan pada upaya memperoleh pekerjaan.

        Dengan membudayakan  berpikir kritis, masyarakat dapat mempunyai aset dalam menginterpretasi dan mengevaluasi makna dan hakikat serta tujuan dari Pendidikan itu sendiri, bahwasanya ,Pendidikan itu tak semata soal penguasaan keterampilan untuk memperoleh pekerjaan, tetapi lebih dari itu makna filosofis dan praktis dari pendidikan berjalan beriringan, pendidikan juga dapat dimaknai sebagai proses pedagogis untuk menghasilkan generasi yang mampu kritis dalam melihat segala realitas sosial dari berbagai perspektif untuk kemudian menyaring mana yang perlu dijadikan acuan dan mana yang perlu diubah.

Bagikan Artikel Ini
img-content
jendry Kremilo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler