x

Iklan

Namirah intan suri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Juni 2022

Jumat, 3 Juni 2022 20:31 WIB

Upaya Pemerintah Melindungi Hak Anak sebagai Genarasi Bangsa

Opini Nama : Namirah Intan Suri NIM : 2174201073 Mahasiswa Universitas Lancang Kuning

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak kompleks dan efek domino bagi maraknya kasus pelanggaran hak anak. Pandemi Covid-19 selanjutnya menyebabkan terjadinya keterpurukan ekonomi keluarga, menurunnya kualitas kesehatan, tidak terpenuhinya pendidikan yang berkualitas yang kemudian berdampak bagi kondisi psikologis orangtua dan menimbulkan kerentanan ragam pelanggaran hak anak.

Akhir-akhir ini, banyak diberitakan soal kekerasan terhadap anak. Ada yang dipukul, disiram dengan air panas, hingga ada juga yang tubuhnya disetrika. Kenyataan itu sangat memprihatinkan dan makin meneguhkan persepsi bahwa kekerasan terhadap anak belum bisa diselesaikan, walaupun dengan aturan hukum dan perundang-undangan.

Selain adanya kekerasan fisik terhadap anak, ada pula bentuk kekerasan yang dialami anak-anak. Misalnya, penjualan anak untuk tujuan komersial. Baru-baru ini kita mendengar berita di Batam, kepolisian berhasil menggagalkan penjualan beberapa bayi ke Singapura. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, saat ini tercatat lebih dari 3.800 anak menjadi korban kekerasan dan diperdagangkan di beberapa negara, seperti Malaysia, Filipina, dan Singapura.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Indonesia, kekerasan terhadap anak sudah membudaya dan dilakukan turun-temurun. Akibatnya, dari tahun ke tahun kasus kekerasan terhadap anak terus bertambah. Salah satu pemicunya adalah kemiskinan atau kesulitan ekonomi yang dihadapi para orang tua.

Namun, faktor tersebut bukan satu-satunya faktor pemicu kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak terkait erat dengan faktor kultural dan struktural dalam masyarakat.

Dari faktor kultural, misalnya, adanya pandangan bahwa anak adalah harta kekayaan orang tua atau pandangan bahwa anak harus patuh kepada orang tua seolah-olah menjadi alat pembenaran atas tindak kekerasan terhadap anak. Bila si anak dianggap lalai, rewel, tidak patuh, dan menentang kehendak orang tua, dia akan memperoleh sanksi atau hukuman, yang kemudian dapat berubah menjadi kekerasan.

Faktor struktural diakibatkan adanya hubungan yang tidak seimbang, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Di sini, anak berada dalam posisi lebih lemah, lebih rendah karena secara fisik, mereka memang lebih lemah daripada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya.

Belum lagi, persoalan kekerasan terhadap anak, baik yang dipekerjakan di sektor pekerjaan terburuk, diperdagangkan, maupun korban eksploitasi seksual. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan, di Indonesia terdapat 4.201.452 anak (berusia di bawah 18 tahun) terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta orang di antaranya anak perempuan.

Bahkan, data IPEC/ILO memperkirakan, terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83 persen tergolong anak. Sekitar 93 persen anak perempuan (Kompas, 2/7/05). Pekerja rumah tangga anak perempuan berada dalam posisi rentan, mulai situasi kerja buruk, eksploitasi, hingga kekerasan seksual.

Hal itu dapat dikatakan bahwa negara belum mampu menjamin hak-hak anak dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Hadirnya pemerintah adalah sebagai solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada rakyat nya termasuk usia anak. Kenyataannya usia 2-14 tahun anak cenderung sangat lemah dan belum terbentuk, baik kondisi psikis maupun fisiknya. Hal itu didorong melalui usianya yang sangat belia dan proses pertumbuhannya.

Selain itu, kecekatan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi diharapkan dapat membantu menekan angka kekerasan anak. Kerena itu, pemerintah harus menjadikan masalah kemiskinan dan penyediaan lapangan pekerjaan sebagai prioritas utama.

Secara yuridis formal, pemerintah telah memiliki Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Meski demikian, realitas kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Busung lapar yang hingga kini masih dialami sejumlah balita di beberapa daerah menegaskan buruknya kondisi anak di Indonesia.

Anak yang mendapat kekerasan akan tumbuh menjadi pribadi penuh kecemasan, kurang percaya diri, pesimis, atau sebaliknya menjadi anak penuh dengan pemberontakan, dan ada kecenderungan berperilaku buruk di masa depan. Hak- Hak anak penting dilakukan dan dipenuhi karena anak-anak indonesia merupakan tunas bangsa yang memiliki potensi serta generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa untuk berpartisipasi dalam membangun Indonesia menjadi negara yang berdaulat, maju, adil dan makmur.

Karena itu, penulis berharap Pemerintah juga harus memberikan infrastruktur yang baik, fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai, dan dana untuk pembiayaan bantuan, perlindungan hukum bagi anak korban tindak kekerasan. Serta peran para orang tua di lingkungan keluarga sangat penting untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

 

Ikuti tulisan menarik Namirah intan suri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu