x

sejarah dan poskolonial

Iklan

Maulina nur choirunisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Juni 2022

Jumat, 10 Juni 2022 14:44 WIB

Peristiwa Lembaga Kebudayaan Rakyat Periode Pascakemerdekaan

Menyadari bahwa masyarakat merupakan satu-satunya pencipta kebudayaan dan bahwa pembentukan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disingkat Lekra didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950. Berdirinya Lekra tidak dapat dipisahkan. hingga geliat waktu guna menciptakan “budaya baru”, sebuah istilah yang masih samar-samar saat itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lembaga Kebudayaan Rakyat lahir dari buaian berjuang. Perjuangan kemerdekaan diri sebagai objek di tengah-tengah masyarakat bangsa, serta perjuangan menemukan jati diri sebagai subjek di tengah-tengah masyarakat antar bangsa. Kata “rakyat” yang merupakan subjek dari kata “lembaga” dan “kebudayaan” yang mendahuluinya, tentu yang dimaksud adalah bangsa Indonesia. Kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya tercapai di membebaskan orang dari penderitaan. Sikap masyarakat yang merasa terbelakang dan tertindas dan takut akan perubahan adalah dampak dari penjajahan bangsa luar negeri.
 
Pada tahun 60-an terjadi pertarungan dalam politik kebudayaan Indonesia. Landasan ideologis organisasi, serta rencana taktik untuk menjalankan pola keseniannya, ditentukan oleh pertarungan politik budaya pada saat itu. Lekra dan organisasi lain memainkan karakter yang dapat memperjelas garis budaya yang perlu dibangun. Karikatur Warta Bhakti, 27 Februari 1964 menyinggung perjuangan untuk keyakinan ini.
 
Kubu Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa itu memungkinkan Lekra untuk memperluas jaringan budaya yang pro rakyat, mendominasi dunia film, sastra, seni rupa, seni pertunjukan, buku, tari, dan musik, terutama ketika PKI mendukung ideologi Presiden Soekarno. Dukungan terhadap kebijakan dekrit pengesahan UUD 1945 sangat kuat. Hal itu diakui salah satu aktivis Lesbumi, H. Misbach Yusa Biran. LKN juga mendukung badan pengganyangan Manikebu dan mengklaim bahwa retorika tinggi Manikebu membahayakan dan mengaburkan kemajuan revolusi sebagai fondasi mutlak bagi masyarakat komunis Indonesia.
 
Pertentangan politik kebudayaan hilang seiring dengan peristiwa yang dikenal Gerakan 30 september 1965. Dalam peristiwa G 30 September 1965 itu,tidak hanya pendukung Marxis diberangus, tetapi para seniman Lekra juga menjadi korban rezim Orde Baru. Tidak sedikit yang dibunuh dan ada pula yang dikirim ke Pulau Buru tanpa melalui proses peradilan, jika dilihat dari perjalanannya, Lekra jelas menolak ketika hendak dimerahkan oleh PKI. Penolakan ini ditulis oleh Sekjen Lekra Joebaar Ajoeb dalam Buku Kebudayaan Macapat Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) Gagasan untuk mengadakan KSSR lahir dari Sidang Paripurna ke-11 CC PKI pada akhir tahun 1963 yang menetapkan pentingnya memberikan semacam garis fundamental bagi penciptaan sastra dan seni revolusioner dan mengaitkan pola dengan penerapan prinsip, moral.
 
Basuki Resobowo ketua Les Rupa dan anggota pengurus sekretariat pusat lekra memberikan sambutan pidato bahwa Ia hadir dengan membawa perhatian pada persoalan-persoalan dalam kehidupan dan pertumbuhan seni rupa, serta menekankan bahwa politik tidak membunuh kreativitas, melainkan memperkuatnya. Sementara itu, Sugiarti Siswadi, anggota Pengurus Pusat Lekra, menekankan pentingnya pendidikan ideologis untuk dapat menghasilkan karya yang berkualitas, serta pentingnya mengintegrasikan diri dengan rakyat, khususnya petani, dan menyambut penulisan revolusi Agustus, yang merupakan tugas sastrawan pada saat ini.
 
Menurut Lekra dan kaum realis sosialis lainnya, kebudayaan tidak hanya terkait erat dengan politik, tetapi juga merupakan bagian dari politik. Akibatnya, sastra merupakan aspek politik. Perspektif ini menganggap sastra semata-mata sebagai alat politik. Marxisme-Leninisme harus diterapkan pada sastra, termasuk teori dan kritik sastra. Konsep realisme sosialis ini telah digunakan dalam berbagai karya sastra Indonesia, meskipun kemudian akan anti-Muslim, seperti karya Utuy Tatan Sontani Si Kampeng dan karya Pramoedya Ananta Toer Si Manis bergigi Emas, yang menggambarkan kyai dan haji sebagai tokoh yang mengeksploitasi rakyat.
 
Tinjauan Pustaka
 
Steven,Fajar.,”Dinamika Lembaga Kebudayaan Rakyat di Indonesia: Aktivitas dan Peran (1950-1965)”, S1 fakultas ilmu budaya, USU. 2018.
 
Hariansyah,Yayan.,”Realisme Sosialis Dalam Karya Seni Rupa Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA): tinjauan filsafat seni”, S1 Seni Murni, ISI. 2010.
 
Bahtiar, A. Sejarah Sastra Indonesia. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.
 

Ikuti tulisan menarik Maulina nur choirunisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler