x

Iklan

Hesti

Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Bergabung Sejak: 12 April 2022

Senin, 13 Juni 2022 22:06 WIB

Sastrawan Feminis; NH Dini

Gender menjadi alat analisis yang penting untuk melihat posisi dalam struktur sosial di masyarakat. Di sisi lain, patriarki muncul dengan istilah untuk menjelaskan mengapa laki-laki mendominasi peran-peran dan posisi penting dalam masyarakat mulai dari institusi hukum, politik, ekonomi hingga sosial. Sastrawan perempuan hadir dengan segala pandangannya mengenaai feminisme.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendahuluan

Feminisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu, gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Gender menjadi alat analisis yang penting untuk melihat posisi dalam struktur sosial di masyarakat. Gender dalam hal ini mencakup ekspresi, identitas dan peran.

Di sisi lain, patriarki muncul dengan istilah untuk menjelaskan mengapa laki-laki mendominasi peran-peran dan posisi penting dalam masyarakat mulai dari institusi hukum, politik, ekonomi hingga sosial. Feminisme hadir untuk mengubahnya, melawan patriarki untuk membuat perempuan dan gender non-maskulin lainnya diakui sebagai manusia seutuhnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada artikel ini, penulis akan membahas salah satu dari banyaknya tokoh kesusastraan pada angkatan 50, sastrawan feminis yaitu, NH Dini.

Pembahasan

NH Dini adalah seorang sastrawan, yang memiliki nama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin. Lahir di Semarang, Jawa Tengah 29 Februari 1936. Sebagai sastrawan, NH Dini menulis berbagai jenis sastra, yaitu puisi, drama, cerita pendek, dan novel. NH Dini dikenal sebagai novelis dan banyak karyanya menggunakan latar negara-negara luar Indonesia.

NH Dini merupakan putri bungsu dari pasangan Salyowijiyo, seorang pegawai perusahaan kereta api, dan Kusaminah. Selain berdarah Jawa, NH Dini juga berdarah Bugis. Memiliki empat orang kakak, yaitu Heratih, Mohamad Nugroho, Siti Maryam, dan Teguh Asmar. Teguh Asmar merupakan saudara yang paling akrab dengan NH Dini, karena keduanya sama-sama seniman. Ia juga sangat dekat dengan ayahnya yang telah membimbing dalam mencintai seni.

Dini mengaku tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan, tulisan tersebut berisi ungkapan pikiran serta perasaannya sendiri. NH Dini juga mengakui bahwa tulisan itu seperti pelampiasan hati. Sebelum tutup usia, ayahnya berpesan agar Dini belajar menari serta memukul gamelan dengan tujuan untuk mendidiknya supaya Dini menguasai kelembutan dalam kehidupan. Itu sebabnya, mengapa tokoh utama perempuan dalam novelnya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, dalam novel tersebut sangat menonjol sifat kelembutannya.

Ibunya NH Dini, harus bekerja keras sebagai buruh batik setelah kematian suaminya. Menurutnya, sang ibu memiliki pengaruh  besar dalam membentuk sifat serta pemahamannya terhadap lingkungan. Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita telah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan oleh ibunya kepadanya, nyatanya NH Dini mau menjadi tukang cerita. Ia bercita-cita menjadi sopir lokomotif atau pun masinis. Tetapi cita-citanya tidak terwujud, pada akhirnya ia menjadi penulis, karena ia memang suka cerita, suka membaca, dan terkadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca suatu karya, biasanya dia berpikir ‘jika hanya begini saya pun mampu membuatnya.’ Dalam realitasnya ia memanglah mampu dalam menulis.

NH Dini tidak tidak sempat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, karena di usia tiga belas tahun ayahnya meninggal dunia. Namun, ia sangat haus akan ilmu. Oleh sebab itu, jika terdapat peluang, ia akan menyempatkan diri untuk mengikuti pendidikan, semacam mengikuti pendidikan untuk menjadi pegawai GIA. Di samping itu pula dengan kelincahannya, dia pula mengikuti Kursus B – 1 Sejarah dan Bahasa Asing pada tahun 1957 di Semarang. NH Dini sempat bekerja sebagai penyiar RRI Semarang, sehabis lulus pendidikan di GIA, ia bekerja sebagai pramugari di Jakarta (1957-1960).

Pada tahun 1960 NH Dini berhenti dari pekerjaannya dan dipersunting oleh seorang diplomat Perancis, Yves Coffin, yang pada saat itu sedang bertugas selama empat tahun di Indonesia. Selama menikah kurang lebih selama dua puluh tahun, akhirnya mereka bercerai. Dini kembali ke tanah air dalam kondisi sakit kanker, sehabis kesehatannya pulih, NH. Dini aktif menulis. Bakat kepengarangannya yang terbina sejak kecil, terutama karena dorongan ayahnya yang selalu menyediakan bacaan bagi putri bungsunya ini. NH Dini menyadari bahwa talenta menulisnya ada saat gurunya di sekolah mengatakan bahwa tulisannya adalah yang terbaik di antara tulisan kawan-kawannya dan tulisannya dijadikan sebagai contoh tulisan yang baik.

NH Dini memupuk bakatnya dengan mengisi majalah dinding di sekolahnya. Dia juga menulis esai dan sajak secara teratur di buku hariannya. Sebagai sastrawan, NH Dini kerap disebut sebagai penulis yang aktif menyuarakan kesetaraan gender. Sebab, karya-karya NH Dini banyak menyuarakan kritik sosial, termasuk perlawanan perempuan terhadap tradisi patriarki yang ada di seluruh aspek kehidupan. Pada 1952, sajak NH Dini dimuat dalam majalah Budaya dan Gadjah Mada di Yogyakarta.

Cerpen-cerpen nya juga semakin sering mengisi halaman-halaman sastra di Majalah Kisah dan Mimbar Indonesia. Kemudian pada 1956, kumpulan cerpen pertama NH Dini yang berjudul Dua Dunia diterbitkan. Meski sudah mulai menjadi penulis sejak 1950-an, karya monumental NH Dini baru lahir sekitar 20 tahun kemudian, tepatnya pada 1972. Pada saat itu, NH Dini menerbitkan novel pertamanya berjudul Pada Sebuah Kapal.

Setelah itu, NH Dini terus produktif melahirkan berbagai karya. Beberapa judul novelnya yang terus dikenang dan mendapat banyak apresiasi di antaranya, La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1978), dan Keberangkatan (1987).  Misalnya, di novel Pada Sebuah Kapal (1972), NH Dini berani mendobrak konsepsi mengenai sifat yang subjektif dan tidak tepat tentang sosok perempuan dan istri ideal dalam tradisi patriarki. Lewat tokoh utama bernama Sri, NH Dini menampilkan gambaran tentang perempuan yang kerap kali dikekang oleh masyarakat yang menjunjung tradisi patriarki, tetapi berusaha melawan dan menentukan jalan hidupnya sendiri.

Dalam karya-karyanya, NH Dini juga memerangi anggapan bahwa perempuan tidak perawan dan tidak bersuami bukanlah perempuan yang tidak suci, termasuk janda. Begitu pula dengan pandangan tentang perempuan bekerja yang masih dianggap tabu saat itu. Banyak yang mengatakannya feminis walau ia menolaknya karena baginya ia hanya menuntut kesetaraan, bukan keistimewaan. Dalam novel tersebut juga terdapat kebebasan perempuan untuk menentukan hidupnya sendiri juga diaplikasikan NH Dini pada kehidupannya. Misalnya, dengan terus bekerja dan aktif menulis hingga akhir hayatnya.

Selain memperjuangkan kesetaraan gender, NH Dini juga memperhatikan pendidikan anak-anak. Hal tersebut tercermin dari beberapa karya sastra anak yang ditulisnya, seperti Cerita Rakyat dari Prancis 1 dan 2, Genevieve Dari Paris, serta Cernunnos Dewa Menjangan. Sayangnya karya-karya sastra anak yang ditulis NH Dini itu tidak banyak diketahui dan nyaris dilupakan. Padahal, karya tersebut memiliki pandangan yang berbeda dari buku-buku anak lainnya. Gaya penulisan yang digunakan oleh NH Dini dalam membuat karya sastra anak tidak memberikan kesan memerintah yang kerap kali ditemukan pada buku cerita anak. NH Dini juga mahir menyajikan makna dari nilai dan moral yang ingin disampaikan.

Kesimpulan

Feminisme sebagai gerakan sosial mempunyai tujuan kesetaraan dengan prinsip kolaborasi. Untuk itu dibutuhkan paradigma yang benar-benar baru dari feminisme. Kebijakan responsif gender tidak sekedar memasukkan kata perempuan, melainkan ada cara pandang baru dan menyeluruh dengan tujuan keadilan. Feminisme merupakan cara pandang yang dapat digunakan ke dalam seluruh bidang, institusi, serta keilmuan. Tetapi, terlebih dulu feminisme membedah apa yang disebut pengetahuan, cara mengetahui, prinsip, dan tujuan.

Terkait karya, NH Dini memiliki ciri khas dalam  semua  karyanya. Tokoh utamanya tokoh utamanya yang hampir selalu perempuan. Ia pun pernah dikritik karena secara terbuka membicarakan tentang perselingkuhan dan seks sebagai sesuatu yang wajar. Baginya, mengungkapkan persoalan dan perjalanan hidup akan membuat karyanya lebih dekat dengan para pembaca.

Ikuti tulisan menarik Hesti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu