x

Para pekerja sedang beraktivitas di sebuah pembangkit listrik pada 1921. Pembangkit listrik bertenaga batu bara ini miliki perusahaan ANIEM cabang Surabaya.

Iklan

Histografer

Sejarah bukan masa lalu, tetapi seperti foto yang merepresentasikan masa lalu
Bergabung Sejak: 29 April 2022

Sabtu, 25 Juni 2022 18:34 WIB

Politik Listrik Kolonial Mengorbankan Kepentingan Kaum Bumiputera

Sebenarnya, kebijakan di sektor listrik yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat sudah terjadi pada era kolonial. Ketika itu, persaingan antara perusahaan-perusahaan swasta dan pemerintah Hindia-Belanda dalam memperebutkan pasokan listrik mengorbankan kepentingan masyarakat tanah jajahan. Kelompok yang paling dirugikan adalah kaum Bumiputera yang jatah pasokan listriknya harus berbagi beban dengan kepentingan publik dan penduduk Eropa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif  dasar listrik untuk lima golongan non-subsidi (3.500-6.600 VA) dan pemerintah per 1 Juli 2022 akan berdampak pada kondisi makro ekonomi dan psikologis konsumen. Seperti dilaporkan Tempo kebijakan ini berpotensi menyebabkan kenaikan inflasi secara terbatas, memaksa pelaku usaha untuk menaikkan harga bahan-bahan kebutuhan pokok, dan menghambat konsumsi rumah tangga.

Kebijakan untuk menaikkan tarif dasar listrik ini juga akan berdampak ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk yang memiliki kemampuan ekonomi lemah. Alasannya, menurut   Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, listrik merupakan kebutuhan primer yang tidak memandang kelas ekonomi tertentu. Kebijakan ini akan mengurangi daya beli kelas pekerja pekerja hingga 30 % karena menurut PP Nomor 36 Tahun 2021, tidak akan ada kenaikan upah dalam tiga tahun ke depan.

Sebenarnya, kebijakan di sektor listrik yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat sudah terjadi pada era kolonial.  Ketika itu, persaingan antara perusahaan-perusahaan  swasta dan pemerintah Hindia-Belanda dalam memperebutkan pasokan listrik mengorbankan kepentingan masyarakat tanah jajahan. Kelompok yang paling dirugikan adalah kaum Bumiputera yang jatah pasokan listriknya harus berbagi beban dengan kepentingan publik dan penduduk Eropa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berebut Jatah Listrik

Kehadiran teknologi listrik di Hindia-Belanda pada mulanya diusahakan secara mandiri dan eksklusif oleh perusahaan-perusahaan perkebunan swasta yang menjamur sejak diberlakukannya UU Agraria 1870. Baru pada akhir abad ke-19 penggunaan teknologi ini mulai meluas. Pada Mei 1897,  Nederlandsch-Indisch Electriciteits Maatschappij (NIEM) tercatat melakukan penjualan pertama kepada publik di Batavia.

Namun hingga 1910-an, pengguna utama teknologi listrik adalah  perusahaan-perusahaan perkebunan dan pabrik-pabrik swasta. Namun menurut sejarawan ekonomi Peter McCawley (1971) dalam kurun waktu ini, teknologi listrik juga pada skala yang lebih kecil digunakan untuk  di fasilitas-fasilitas dan  sarana publik milik  pemerintah kota.

Pada mulanya, penyedia utama  layanan jasa di sektor ini adalah pihak swasta. Selain NIEM di Batavia,  terdapat pula Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken (GEBEO) yang beroperasi di wilayah Bandung, dan Algemeene Nederlandsch-Tndische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) yang melayani kebutuhan listrik di Jawa bagian  Tengah dan Timur.

Pemerintah Hindia baru belakangan saja memerhatikan sektor ini. Hal ini bermula pada 1915, ketika penguasa kolonial mulai menunjukkan kekhawatiran ihwal eksploitasi tak terkontrol dalam sektor energi air, yang menjadi sumber penyedia utama teknologi listrik pada masa itu. Namun baru dua tahun kemudian, pada Agustus 1917, dibentuk Dienst voor Waterkracht en Electriciteit in Nederlandsch-Indië , sebuah departemen  independen di bawah sebuah  perusahaan milik pemerintah.

Dalam Handbook of the Netherlands East-Indies (1920), seperti dikutip oleh McCawley, badan ini memiliki berberapa tugas.  Mulai dari mempromosikan  pasokan energi listrik yang ekonomis ke berbagai wilayah  hingga mengefektifkan penggunaan sumber daya air untuk menghasilkan listrik yang menyokong pembangunan industri secara umum di tanah koloni dan industri-industri lain yang bersifat khusus.

Lembaga ini juga diberi kewenangan yang luas untuk mengawasi dunia kelistrikan, terutama pembangunan pembangkit listrik tenaga air. Badan ini juga diharapkan melakukan serangkaian survei sumber-sumber tenaga air yang potensial, menyediakan informasi yang relevan bagi para investor, mendorong  ekspansi sektor industri.

Belakangan wewenang mengontrol perizinan pembangunan pembangkit listrik lokal dan perencanaan pembangunan pembangkit listrik tenaga air milik pemerintah juga dibebankan pada badan ini. Setelah Perang Dunia I kerja lembaga ini kian berat karena Pemerintah Hindia Belanda menargetkan kapasitas listrik keseluruhan di tanah koloni—di luar Papua— mencapai 4.400 megawatt.

Pemerintah sampai saat ini masih mengandalkan keterlibatan perusahaan-perusahaan swasta untuk membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik. Namun izin yang diberikan kini lebih diperketat karena hanya mencakup pembangkit-pembangkit kecil yang diperuntukkan bagi kalangan sendiri dan lisensi untuk pembangkit listrik besar untuk perkebunan dan industri swasta yang berlaku selama 40 tahun.

Namun sejak awal kehadirannya, lembaga ini justru dianggap sebagai ancaman bagi perusahaan-perusahaan swasta yang berkiprah di sektor ketenagalistrikan. Pasalnya, badan ini diproyeksikan  untuk  ikut membangun pembangkit listrik berskala kecil dan besar. Bahkan dalam waktu singkat tercatat beberapa di antaranya sudah hampir selesai.

Kekhawatiran ini tentu saja bukan tanpa alasan. Dalam laporan tahunan lembaga ini ihwal kapasitas instalasi listrik yang dikelola swasta dan pemerintah pada 1914-1940, sejak 1920-an,  kapasitas itu terus ditingkatkan. Tak heran bila  pada  akhir masa kolonial  jumlahnya  hanya sedikit di bawah  pembangkit listrik partikelir.

Peningkatan kapasitas listrik  itu terjadi karena pemerintah kolonial memang cukup ekspansif membangun pembangkit listrik di sejumlah wilayah, terutama pulau Jawa. Dalam Staatsblad No. 419 Tahun 1927, pemerintah telah memiliki sejumlah pembangkit listrik tenaga uap , seperti Plenengan, Lamajang, Bengkok-Dago, Ubrug, Kraca di Jawa Barat, Giringan (Madiun), dan Tonsea Lama (Sulawesi Utara). Di luar itu, terdapat pula pembangkit listrik tenaga uap di Batavia.

Mengorbankan Kepentingan Rakyat

Sampai 1940, secara keseluruhan pasokan listrik yang tersedia di Hindia-Belanda mencapai 209,1 megawatt. Dari jumlah itu, pembangkit milik swasta sedikit lebih banyak mendominasi produksi listrik yang mencapai 115,3 megawatt. Sementara pembangkit milik pemerintah menghasilkan lebih sedikit listrik, yaitu  93,8 megawatt (McCawley,1971).

Meskipun begitu, hampir sebagian besar, pasokan listrik yang ada diperuntukkan bagi  perkebunan-perkebunan swasta yang mendapatkannya dari pembangkit listrik berkapasitas besar (di atas 75 Kilowatt). Rata-rata korporasi-korporasi milik orang-orang Eropa itu mendapatkan pasokan listrik hingga 37,5 Kilowatt).

Sementara untuk kepentingan rakyat Bumiputera hanya disediakan pembangkit listrik kecil (di bawah 75 Kilowatt). Itupun harus berbagai dengan kebutuhan publik dan rumah tangga Eropa. Wajar bila pasokan listrik yang tersedia hanya 4,5 Kilowatt. Hal itulah yang menyebabkan hingga akhir masa kolonial, hanya segelintir saja penduduk Bumiputera yang menikmati pasokan listrik.

Dalam catatan seorang penulis Belanda, Willem Walraven, seperti dikutip dari Mrazek (2006), pada 1930 hanya terdapat 76.000 penduduk Bumiputera di pula Jawa (0,2 dari keseluruhan populasi) yang  telah menggunakan listrik. Jumlah itu bahkan menurun menjadi 54.000 jiwa ketika depresi global mulai melanda pulau yang memiliki teknologi penerangan terbaik di Hindia-Belanda itu.

Selain itu, harga yang mahal juga menjadi penyebab lain rendahnya konsumen listrik Bumiputera pada masa ltu. Pada 1938, misalnya,   biaya terendah yang harus dibayarkan untuk  menghidupakan dua buah lampu berdaya  10 watt adalah 25 sen per minggu. Tentu saja biaya ini terbilang mahal bagi rakyat jelata dan segera menuai kritik dari berbagai pihak.

Sebuah majalah mahasiswa insinyur-sipil di Hindia-Belanda yang terbit pada 1935, seperti dikutip dari Mrazek (2006),  menyebut tarif ini merupakan salah satu yang termahal di dunia. Namun menurut direktur perusahaan listrik negara beralasan tarif yang tinggi disebabkan karena teknologi kelistrikan  di tanah jajahan menggunakan standar Barat, meskipun banyak wilayah seperti Jepang, Cina, Australia, dan Amerika Serikat yang menggunakan teknologi sederhana untuk menekan tarif listrik.

Meskipun  bisnis listrik di Hindia-Belanda dapat bertahan pada masa krisis ekonomi global, namun bukan berarti tidak ada dampak  yang muncul akibat malaise. Seperti yang telah disinggung di atas, yang paling terlihat adalah jumlah pelanggan listrik yang menurun. Strategi penurunan tarif memang berhasil mendongkrak kembali jumlah pelanggan listrik, namun tidak menghalangi perusahaan-perusahaan kecil dapat bertahan sehingga harus melakukan merger dengan perusahaan yang lebih besar.

Krisis ekonomi global juga membuat pemerintah Hindia-Belanda tidak dapat mengulirkan proyek-proyek pembangkit listrik tenaga baru. Situasi ini kian sulit ketika Perang Dunia ke-2 pecah di Eropa dan berimbas ke Asia, melalui ekspansi yang dilakukan oleh pemerintah militer Jepang. Hampir semua tanah-tanah koloni milik Eropa jatuh ke tangan tentara Dai Nippon.

Ketika  pasukan Jepang mulai menguasai Indonesia pada 1942, mereka sempat melanjutkan proyek pembangunan pembangkit listrik yang sebelumnya terbengkalai karena pecahnya Perang Dunia II. Pemerintah militer negara berjuluk matahari terbit itu juga memutuskan untuk menyatukan seluruh perusahaan listrik di bawah sebuah organisasi tunggal.

Namun penahanan yang dilakukan terhadap para tenaga ahli kelistrikan berkebangsaan Eropa membuat  perawatan pembangkit-pembangkit listrik menjadi terbengkalai. Selain itu kapasitas produksi listrik di beberapa pembangkit pun menurun. Walhasil hingga 1945 pasokan listrik di seluruh Hindia-Belanda mengalami degradasi dalam jumlah yang cukup besar (McCawley,1971).

Ikuti tulisan menarik Histografer lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu