x

Ilustrasi logo partai. Foto-Akurat.

Iklan

Muhamad Syaiful Rifki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 April 2022

Minggu, 3 Juli 2022 15:26 WIB

Seperti Apa Kriteria Parpol yang Dipilih Masyarakat?

Pemilu 2024 kian dekat, partai politik sudah mulai tancap gas. Namun kepercayaan publik terhadap partai politik kian menurun. Bagaimana para partai politik berbenah diri agar dipilih oleh masyarakat?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilu 2024 masih 21 bulan lagi, namun banyak partai yang sudah tancap gas dalam bermanuver untuk menarik suara di masyarakat. Tebaru, tiga partai politik Gokar, PPP, dan PKS memutuskan untuk berkoalisi dengan mengusung koalisi bertajuk Koalisi Indonesia Bersatu.  Sebagai salah satu potensi perolehan suara yang besar, pemilih pemula terpenuhi merupakan salah satu unsur krusial yang banyak diperebutkan oleh banyak partai politik. Berbagai cara dan strategi ditempuh untuk menggaet pemilih pemula yang notabenenya merupakan kaum – kaum milenial agar suara partai naik dan menang dalam pemilu. Pertanyannya, partai politik seperti apa yang diidamkan dan hampir pasti dipilih oleh pemilih pemula tersebut?

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Charta Politika, hanya 59,7% responden menyatakan telah mengetahui informasi Pemilu 2024. Hal tersebut berarti, sebanyak 40,3% responden belum tahu pemilihan umum digelar serentak pada 2024. Survei tersebut baru menyangkut mengenai perhelatan pemilu 2024, belum merambah kepada tugas KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, serta partai politik sebagai pesertanya. Untuk menggaet suara pemilih pemula, tentu diperlukan sebuah strategi yang komprehensif antara KPU, Bawaslu, pemerintah, dan Partai politik agar angka partisipasi pemilih pemula dalam pemilu 2024 naik. Hasil klaim oleh KPU menyatakan bahwa tingkat partisipasi pemilih pada pemilu 2019 sebesar 81% di mana presentasenya masih didominasi oleh pemilih yang berusia 30 tahun ke atas.

Data Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu 2019 menyatakan bahwa pemilih di bawah usia 20 tahun adalah 17,5 juta orang. Jumlah tersebut mencapai 10% dari total DPT nasional sebanyak 192,83 jiwa. Angka yang cukup lumayan untuk menambah suara partai untuk memenangkan pemilu. Selain itu, jumlah tersebut tentu akan meningkat seiring banyaknya masyarakat yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih pada tahun 2024. Data dari Kompas mengungkapkan bahwa sampai dengan bulan Januari 2022, terdapat 202 juta penduduk Indonesia tersambung dengan internet dan 107 juta orang di antaranya aktif di media sosial (medsos). Media sosial ini dapat digunakan oleh pemerintah dan partai politik untuk menggaet suara kaum milenial agar mau berpartisipasi dalam pemilu. Namun, di sisi lain potensi penyebaran kampanye gelap yang sering mengarah kepada isu SARA juga menjadi meningkat karena persebaran informasi yang sangat cepat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemilih pemula merupakan kaum idealis yang menginginkan pemerintahan bersih, bebas korupsi, dan adanya reformasi birokrasi. Mereka memandang bahwa pemilu merupakan salah satu sarana untuk mengubah wajah pemerintahan di negeri ini, meskipun di sisi lain mereka juga merasa pesimis bahwa pemilu tidak akan merubah apapun. Pemimpin pemberani yang tidak mau berkompromi dengan para cukong merupakan salah satu pemimpin idaman para kaum milenial. Mereka tidak muluk – muluk dalam memilih pemimpin karena pada dasarnya mereka sudah muak akan satu hal yaitu korupsi. Korupsi merupakan akar dari berbagai permasalahan di negeri ini. Banyak masyarakat yang masih miskin karena anggaran pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraannya dikorupsi oleh para setan rakus yang tidak punya hati nurani. Bagaimana para politisi di negeri ini membangun jika wadah untuk memulainya yaitu partai politik saja sudah menjadi ladang korupsi?. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa partai politik menempati urutan kedua sebagai lembaga paling korup setelah lembaga peradilan.

Oleh karena itu, hendaknya partai politik belajar untuk mengubah citra mereka dengan membina kader – kadernya untuk tidak melakukan korupsi. Meskipun korupsi muncul akibat adanya nafsu bertemu dengan kesempatan, namun sudah menjadi kewajiban partai untuk memberikan doktrin bahwa korupsi dalah musuh bersama yang harus diperangi. Selain itu, partai politik juga harus memberikan sanksi yang tegas kepada anggotanya yang melanggar hukum, utamanya korupsi. Proses perekrutan kader harus dilakukan secara bersih dan transparan, karena tahap ini merupakan pangkal dari karir seorang politisi. Di sisi lain, kita juga tidak bisa menyangkal bahwa ongkos atau tarif politik di negeri ini relatif tinggi. Mental para politisi yang siap menang namun tidak siap kalah berkombinasi dengan masyarakat yang belum banyak teredukasi mengenai bahanya politik uang seakan cocok untuk menyuburkan praktik korupsi di negeri ini.

Wajah partai yang mengedepankan politik identitas dengan fanatik pada unsur tertentu juga harus dirubah. Polarisasi pada kaum milenial menjadi alasannya. Mereka cenderung akan memilih calon yang kinerjanya nyata, terlebih lagi adanya media sosial yang semakin berpengaruh terhadap polarisasi selera kaum milenial. Model strategi yang ramah terhadap kaum milenial serta memberikan edukasi karena adanya kerja yang nyata akan memberikan peluang besar terhadap keterpilihan partai tersebut.

 

Pada akhirnya, rakyat pada umumnya dan kaum milenial sebagai pemilih pemula khususnya hanya akan menjadi sekumpulan orang yang dipanen suaranya setiap lima tahun sekali apabila tidak ada edukasi terhadap mereka dan komitmen partai politik untuk menyelenggarakan pemilu yang bersih. Korupsi akan menjadi sebuah lingkaran setan yang mustahil akan terputus, namun setidaknya kita sebagai pemilih dapat mengurangi keterlibatan banyak orang dalam lingkatan setan tersebut.

Ikuti tulisan menarik Muhamad Syaiful Rifki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler